2 Restu yang Palsu

Mark segera pulang ke rumah setelah lamarannya berhasil dan sudah mengenalkan Megan di depan Papa Justin. Perjuangan belum berhenti sampai di sini, masih ada Mama Maya yang harus ditakhlukan hatinya.

Mark: [ Sayang, jangan lupa istirahat dan makan siang, ya. ]

Mark mengirim pesan Whatsapp kepada Megan meski tahu kekasihnya sangat sibuk, dia tetap memperhatikan secara intens. Mark ingin membahagiakan hati Megan.

Megan: [ Iya, Mark. Tenang saja. Terima kasih banyak. Aku sangat terharu tadi. ]

Megan pun membalas chat Mark di sela waktu yang ada saat rapat. Dia tahu jika Mark akan khawatir menunggu chat balasan darinya.

Mark: [ Aku cinta kamu, Megan. Terima kasih mau menjadi istriku. ]

Megan: [ Aku off dulu Mark. Sebentar lagi rapat dimulai. Nanti aku hubungi kamu lagi, ya. ]

Mark: [ Ok. Siap Bu Dokter calon istriku. I will waiting for you. ]

Mark memasukkan handphone ke kantong celananya sambil tersenyum membayangkan betapa bahagianya ketika Mark menikahi Megan nanti. Dia sudah sampai di rumah, lalu perlahan melangkah kaki masuk ke rumahnya. Rumah yang cukup megah di kawasan perumahan tengah Kota Yogyakarta. Mark masih mencari sosok perempuan yang dirindukannya, yaitu mamanya.

"Mark! Kamu sudah pulang?" seru perempuan yang suaranya berasal dari tangga lantai dua. Wanita setengah baya itu tak menyangka putranya sudah pulang dari Singapura.

"Mama! Miss you, Ma." Mark bergegas hendak menaiki tangga itu.

"Eh, jangan lari. Mama ini mau turun." Mama Maya pun turun perlahan menghampiri Mark.

Mereka berdua melangkahkan kaki ke ruang tamu setelah saling memeluk dalam rindu. Mark memang anak mama karena sangat dekat dengan mamanya, terlebih karena menjadi putra semata wayang.

"Sini, duduk sini. Mark kapan pulang? Kok nggak telepon mama dulu?" Mama Maya duduk sambil mencubit lengan anaknya.

"Aw! Sakit, Ma. Maaf, Mark 'kan ingin kasih suprise buat Mama." Mark mengusap lengannya yang sakit sambil tersenyum.

"Anak mama mau kasih suprise apa, sih?" Mama Maya penasaran dengan penuturan putranya.

"Nanti malam dinner yuk, Ma," bujuk Mark hendak mengenalkan Megan pada mamanya. Dia hendak mencari celah untuk memperkenalkan pujaan hatinya ke Mama Maya.

"Nunggu Papamu sembuh dulu, ya, Mark. Kasihan, tuh, Papa di rumah sakit. Mama sebentar lagi mau ke sana. Baru aja mama pulang meeting. Mark sudah ketemu papa?" tanya Maya kepada lelaki yang kini sudah dewasa.

"Sudah donk, Ma! 'Kan Mark ngenalin calon menantu sama Papa, biar Papa cepet sembuh," lirih Mark perlahan sambil tersenyum manis menunggu respon mamanya.

Mama Maya terkejut. "Apa? Mama nggak salah dengar? Calon menantu?"

Inilah yang Mark khawatirkan mengenai respon mamanya. Karena selama ini Mama Maya selalu membujuk Mark untuk mau dijodohkan. Entah dengan model ternama atau anak dari rekan kerja, tetapi Mark selalu menolak dengan halus. Semua semata karena mempertahankan pujaan hatinya. Hanya Megan yang mampu menarik rasa dan memiliki hati Mark tiga tahun ini. Mark akan berusaha menepati janjinya untuk mempersunting Megan.

"Mah, Mark sudah punya calon. Namanya Megan. Seorang dokter di rumah sakit tempat Papa Justin opname. Maafin Mark baru bilang sekarang. Mark harap mama nggak marah." Mark menatap mata Mama Maya. Berharap mamanya tercinta tidak marah. Hanya satu keinginan Mark, restu mama.

"Mark, kenapa Mark nggak bilang dulu sama mama?" Mama Maya memegang tangan Mark. "Harusnya Mark bilang kalau sudah punya pacar. Apa Mark nggak anggap mama?" imbuh Maya dengan ekspresi kecewa.

"Nggak gitu, Mah. Maafin Mark. Maaf banget. Mark sama Megan sudah janji tidak akan saling mengenalkan ke keluarga jika belum serius. Kami mencoba saling memahami tiga tahun ini, Mah." Mark takut Mama Maya tidak merestui cintanya. Selera dan tuntutan Mama Maya termasuk tinggi.

"Oh, sudah tiga tahun? Baru bilang sekarang sama mama? Hebat ya, Mark. Bagus kalau wanita itu lebih penting dari mama!" Mama Maya meninggikan suaranya membuat Mark bingung dan serba salah.

"Mah, maafin Mark. Tapi sungguh Megan wanita yang cantik, pintar, baik dan Mark yakin bisa menjadi menantu terbaik untuk mama." Mark tetap membujuk Mama Maya. Mama Maya terdiam sejenak. Mark takut melukai hati Mama Maya.

"Taaarraaa! Kena Prank! Hahaha ...." Mama Maya tertawa sambil memegang perutnya. Melihat raut wajah putra satu-satunya terlihat sangat tegang dan ketakutan tadi.

"Ah, Mama nakal banget! Aku kira Mama marah." Mark lantas memeluk Mama Maya. "Makasih ya, Mah. Mark janji, Megan wanita yang tepat untuk jadi menantu Mama," bisik Mark kepada Mama Maya yang sudah berhenti tertawa.

"Ihh ... pede banget. Emangnya mama sudah bilang setuju?" Mama Maya masih menggoda Mark.

"Tuh, 'kan mama bercanda terus. Ayo kita ke rumah sakit, Mah." Mark melihat jam tangannya lalu bergegas berdiri.

"Iya, ayo kita ke Papa. Nanti mama lihat dulu ya si Megan." Mama Maya mengedipkan matanya.

Mark hanya bisa berharap Mama Maya menerima Megan sebagai menantunya. Mark tidak menginginkan mamanya maupun Megan kecewa. Sepanjang perjalanan, Mark berdoa agar semua berjalan lancar.

Mereka melaju ke rumah sakit menggunakan Alpard hitam yang di kemudikan Pak Jono, supir pribadi Papa Justin. Sejak dokter mendiagnosis sakit jantung, Papa Justin selalu bersama Pak Jono jika bepergian.

***

Akhirnya Mark dan Maya tiba di kamar Papa Justin. Mereka langsung membuka pintu dan masuk ke ruangan. Ternyata, Megan berada di sana sedang berbincang hangat dengan Papa Justin.

"Eghm eghm ... ada yang sudah akrab, nih sama calon mantu," sindir Mama Maya membuat Papa Justin dan Megan terkejut.

"Oh, Mama sudah selesai meeting nya? Papa kira Mama tidak ke sini." Papa Justin mencoba duduk dibantu oleh Megan.

"Sudah. Mark jemput mama tadi di rumah. Ehm, ini ya yang tadi Mark ceritakan?" Nada bicara Mama Maya seolah angkuh. Namun, jika sudah mengenal akrab, Mama Maya sangat lembut hatinya.

"M-maaf, Tante. Perkenalkan saya Megan. Senang berjumpa dengan Tante." Megan segera berdiri dan mengulurkan tangannya ke Mama Maya.

"Emm ... iya. Saya mamanya Mark." Mama Maya menyambut tangan Megan dan segera melepasnya.

Megan merasa kaku berhadapan dengan Mama Maya. Ada rasa tak enak hati karena Mama Maya terlihat sangat cantik dan terawat. Sedangkan Megan cantik alami. Mark pun berusaha mencairkan suasana.

"Nah, sudah ketemu 'kan, Mah. Gimana pilihan Mark? Megan ini dokter tetap di rumah sakit ini, Mah. Lulusan terbaik di universitas dan banyak sekali penggemar, baik pasien maupun lelaki ternama. Tetapi cintanya Cuma untuk Mark," kata Mark agak melantur agar orang tuanya tidak marah.

Mama Maya menatap tajam ke Mark, lalu menatap Megan. Mereka terlihat gugup karena tatapan Mama Maya.

"Ok. Kali ini pilihan Mark tepat! Megan, selamat ya sudah mau menjadi bagian keluarga kami," ucap Mama Maya sambil tersenyum.

Mendengar hal itu, Megan dan Mark saling pandang dan merasa lega. Akhirnya, Mark mendapat restu dari Mama Maya. Satu hal terlewat DNS membawa mereka ke jenjang lebih serius. Tak henti-hentinya Mark mengucap syukur di dalam hati. Mereka pun berbincang banyak hal. Sering kali Papa Justin maupun Mark melemparkan lelucon yang membuat keempat orang tersebut. Tak terasa, hari semakin sore dan menjelang malam.

Mark pun mengajak Megan pulang. Sedangkan Mama Maya menemani Papa Justin di rumah sakit. Mark sangat senang, mampu mengantongi restu dari mamanya. Dia pun menggenggam tangan Megan sangat erat. Berharap semua akan baik-baik saja.

Padahal dalam lubuk hati Maya paling dalam, dia tidak menyukai perempuan seperti Megan. Bagi Maya, dia lebih suka super model atau perempuan dari kelas tinggi seperti mereka. Restu yang palsu itu terpaksa diucapkan demi melihat senyum di wajah putranya.

avataravatar
Next chapter