webnovel

Hotel Borneo

Saat matanya terbuka, Elena melihat secercah cahaya mengkilat membuatnya silau.

Sakit yang pertama ia rasakan adalah di bagian bokongnya dan persendian tulang kaki yang sudah sempat berlari beberapa kilometer dengan beban berat di perutnya.

Saat matanya terbuka semakin sadar, ternyata dia sudah berada di ruangan yang tidak asing baginya.

"Sial, kenapa aku jadi di sini lagi sih?" Gerutu Elena tak bisa dia menerimanya.

Kamar berukuran standar, yang jarang di pakai. Bau apek yang sangat menyengat keluar dari sela-sela ranjang saat ia mendudukinya.

Untung saja gerakan kaki kecil yang menonjol di sisi perutnya masih terlihat lincah, pertanda janinnya baik-baik saja.

Ia tahu anak yang ada di dalam perutnya sangat kuat. Sembari mengelus perutnya ia melirik sinis ke arah pintu penuh dendam.

"Lihat saja nanti!" Pekiknya gusar, "Sabar ya, Nak!" lanjutnya melirik ke dasar perut.

Perlahan ia meregangkan tubuhnya, hingga berbunyi suara "Krek." Cukup membuat badannya fit kembali.

Tapi, ingin meronta keluar kamar pun percuma. Hanya akan membuang-buang energi saja. Ia hanya bisa menunggu saja sampai pintu kamar itu terbuka oleh sang tuan.

Elena sedikit terperanjat memutar otak untuk langkah selanjutnya, untuk sementara kini dia melemaskan tubuhnya lagi berbaring di atas ranjang yang sudah lama tidak di pakai tercium dari baunya yang apek.

Tak tahu apakah matahari sudah berdiri, atau masih sembunyi, dia sama sekali tidak bisa melihat alam luar. Semua jendela di tutup rapat oleh papan kayu, tapi suara perut yang ricuh sudah memberi tahunya bahwa dia tak sadarkan diri dalam jangka waktu yang cukup lama.

Kreokkk kreeeookkk!

Seara cacing di perutnya semakin berirama membuat Elena mengernyitkan keningnya dan menatap dalam selurut bulatan di perutnya karena lapar. Sedang tak ada satupun makanan di ruang kosong itu. Jangankan makanan, setetes air mineral pun hanya mimpinya saja. Tenggorokan yang kering terasa seperti di gurun pasir sajaa. Elena hanya menelan air liurnya kosong, untuk meredakan rasa hausnya.

Sedangkan di luar Mami merasa puas telah mendapatkan lagi tambang emasnya.

Meski ada kekecewaan atas pelanggan malam itu yang sama sekali belum sempat mencicipi Elena, hingga Mami harus membayar ganti rugi yang besar atas kecerobohan Elena malam itu.

Kedua kakinya terlentang di angkat ke atas meja, Ia sedang bercengkrama dengan beberapa laki-laki kisaran umur 18 hingga 20 tahunan.

Kalau di lihat dari wanita, lelaki itu sedang ranum-ranumnya.

Ada yang memijat kaki, dan ada pula yang memberikan pelayanan seperti penyajian kopi, rokok dan apapun itu yang di perlukan oleh Mami, sebagai ibu negara.

Anehnya, para lelaki itu seperti telah di jinakan. Tetap setia, walau Mami menunjuk-nunjuk mereka dengan keras, tapi para lelaki tampan bertubuh kekar itu terus mengikuti semua kemauannya.

Padahal kalau di lihat dari kuatnya otot mereka, masih banyak lowongan pekerjaan yang membutuhkan pria tampan, bertubuh tegap dengan otot yang kuat. Bisa kerja wirausaha, karyawan, dan bisa juga bekerja jadi kuli panggul dari pada harus bekerja di bawah telunjuk wanita gahar seperti Mami.

Tapi, tidak bisa di pungkiri lagi, siapapun yang sudah masuk ke arena permainan Mami, maka pilihannya adalah, hidup enak dengan uang haram yang bergelimangan, atau mati saja menyisakan hutang piutang di dunia nyata.

Saat kepulan asap rokok di kibarkan oleh Mami ke atas atap plafon berwarna putih segar, deringan suara handphone terdengar nyaring. Seketika semua mata memandang semua gadget yang berjejer rapi di atas meja.

Benda elektronik berukuran kecil itu seolah melambai memanggil Mami, tapi dia tetap santai mengepulkan asapnya.

Memang sangat peka Verrel Daniza. Lelaki specialnyalah yang sigap mengambilkan handphone itu, karena tak ada orang lain lagi yang berani memegang handphone raja itu. Jangankan memainkan handphone itu, memegang pun sangat haram menurut Mami, karena itu adalah salah satu perangkat Mami untuk bekerja.

"Handphone-mu?" sodor Verrel.

"Terimakasih sayang!" Mata Mami mengedip sambil mengelus dagu berjambang halus itu dengan senyuman menggoda.

Verrel tersenyum sangat hangat menyambut sentuhan Mami. Di usianya yang muda, dia seolah memberikan warna baru untuk Mami semakin bersemangat bekerja di dunianya.

"Ya, Hallo?"

Kabar baik datang, seorang kolega besar dengan perusahaan ternama di Ibu Kota memesan sebuah melon segar kepadanya.

Melon segar di sini bukan buah-buahan yang sering di blander untuk di minum dan sarinya sangat menyegarkan. Melainkan para wanita nakal Mami yang siap memasang servicenya malam nanti.

Mami tersenyum dan kadang tergelak tertawa ramah menjawab sahutan di balik telponnya. Sengaja ia bertingkah baik untuk memuji-muji semua para pelanggan, dan menurutnya pelanggan ini adalah pelanggan yang paling di tunggu-tunggunya sepekan ini.

"Siap-siap! Pokonya tenang saja, semua akan aku siapkan dengan baik." Sergahnya menelpon berdiri di balik balkon ruang terdepan rumah bertingkat itu. "Yes!" Lanjut Mami setelah handphonenya tertutup sambil mengepal tangan girang.

"Kabar baik?" Tanya Verrel.

"Sayang, kamu tahu 'kan Masterindo corp yang sedang booming di kancah perfilman?"

Verrel mengangguk dengan senyum yang sangat berkelas.

"Dia memesan produck kita untuk salah satu artis ternamanya."

"Benarkah?"

Senyuman Verrel seketika memudar dan hanya senyum palsu saja yang tersisa.

Saat keduanya sedang beradu kalimat, telpon keduanya masuk membuat verell sedikit plong tak harus lagi merangkai kata untuk permaisurinya.

Dengan cepat ia menarik handphone Mami kembali, dan menyuguhkannya tepat di hadapan wanita beralis tegas itu.

"Ya ... Hallo?"

Menganti-anti ada pesanan selanjutnya, Mami bertingkah ramah lagi dengan sambutan yang cukup mengesankan.

Namun tiba-tiba, matanya merah terlihat kesal. Satu alis kanannya terangkat garang bahkan bibirnya meruncing seolah menantang.

"Heh! denger, pokonya saya gak mau tau ya! Ganti semua kerugianku semalam!"

Suasana sudah sangat memanas. Verrel tau sangat siapa orang di balik telponnya itu. Tak mau terlibat adu kalimat lagi dengan Mami, dia sengaja menyelinap keluar dari ruangan. Sedang anak-anak lainnya asik dengan kegiatan mereka yang sedang beradu kartu dan berpesta di sudut ruangan yang lumayan jauh dengan posisi Mami.

Selesai bernegosiasi, Mami menutup telponnya dengan tenang. Jangan di panggil Mami, kalau tidak bisa memenangkan perdebatan di segala negosiasi. Lagi-lagi dia menutup telepon dengan wajah sedikit membaik akan kemenangannya.

Tak mau lama-lama menunggu, matanya segera liar mencari pasangannya untuk mengadu.

"Sayang?" panggilnya mesra. "Sayang ...!" panggilan kedua kali setelah menunggu beberapa detik Verrel tak kunjung datang juga.

"VERREL!" Sambungnya mulai memakai nada kencang dan menekan, Hingga membuat kumpulan anak buahnya terkejut dan segera bubar meninggalkan meja yang berantakan berisi beberapa kartu, minuman, dan ada beberapa uang tergeletak di atasnya.

Bersambung ...

Next chapter