2 Pernyataan Cinta

Hari - hari yang indah selalu mereka lalui bersama dengan penuh kegembiraan, kesibukan belajar dan kejahilan Putra.

Naya dan Abi selalu bersaing dalam merebut gelar juara di sekolah, sedangkan Putra tidak peduli dengan itu semua.

Putra merasa tidak harus ambil pusing tentang itu semua sebab jalan hidupnya telah ditentukan oleh kedua orang tuanya. Pendidikan, karir bahkan mungkin tentang jodoh pun sudah direncanakan oleh orang tuanya. Jadi Putra merasa cukup nikmati saja saat ini dengan sesuka hatinya, sebelum nanti ruang geraknya dibatasi.

Tanpa terasa ujian kelulusan tiba, semua siswa sibuk melakukan persiapan menghadapi ujian. Tidak terkecuali Abi yang selalu menjadi juara, Naya juga tidak tenang menghadapi ujian. Sementara Putra seperti biasa, dia terlalu santai seperti tidak mempunyai beban hidup.

Dua minggu kemudian berlalu, ujian telah selesai dan kini saatnya pengumuman kelulusan, hari ini di sekolah sedang di adakan upacara kelulusan. Satu jam kemudian acara yang membosankan tersebut berakhir.

"Abi, ikutlah denganku. Ada yang perlu aku beritahukan kepadamu" Naya berbisik kepada sahabatnya itu begitu upacara kelulusan berakhir.

"Tentang apa?" Abi penasaran.

"Ikut saja, nanti kamu juga tahu."

"Jangan berisik, kepala sekolah sedang berkicau" Putra berusaha membuat lelucon tapi tidak mengena.

"Hust, kualat nanti kau! Jelas-jelas beliau sedang memberikan nasehat kelulusan" Abi protes.

"Tau nih kemana otak pemuda satu ini, sudah sekolah tiga tahun masih saja nihil" Naya mengejek.

"Kalian yang mulai berisik, aku kan hanya menambahkan" protesnya.

Putra ingin membalasnya lagi tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Mengharuskannya untuk menjauh agar bisa menerima panggilan. Di dalam aula cukup berisik.

"Halo? halo? iya sebentar, Aku pindah tempat dulu..disini terlalu berisik" Putra pergi ketempat yang lebih sepi.

"Abi, ayo ikut aku" ajak Naya yang tidak mau melewatkan kesempatan. Mumpung Putra sedang sibuk.

"Iya, iya ..." kata Abi yang telah ditarik tangannya oleh Naya.

Naya membawa Abi masuk ke dalam gedung Olahraga. Abi pun hanya bisa menuruti ajakan sahabatnya itu.

"Ehm, Abi ...." ucap Naya ragu.

"Ya?" jawabnya santai.

"Selamat ya atas kelulusannya" kata Naya basa-basi.

"Terima kasih, selamat juga untukmu Naya" balas Abi.

"Sama-sama."

"By the way, kenapa ngajak aku kemari? katanya ada yang mau diomongin? Ada apa?" tanya Abi.

Naya terlihat sangat gugup, dahinya mulai berpeluh.

"Udah nggak apa-apa, ngomong aja" katanya lagi.

"Uhm, Abi. Sebenarnya aku ingin bilang ini sejak lama, Abi itu selalu menjadi contoh dan panutan yang baik untukku, sehingga aku ingin menjadi sepertimu dan ... aku menyukaimu" dengan malu - malu akhirnya Naya menyelesaikan kalimatnya.

Abi tersenyum tipis, "Aku juga menyukaimu."

"Ah, benarkah?" Naya merasa sangat bahagia.

"Ya, aku menyukaimu. Kamu adalah sahabat terbaikku dan juga Putra" dalam hati Abi berucap maafkan aku Naya, kamu akan lebih bahagia jika tidak bersamaku.

Bunga yang baru saja mekar mendadak layu dan kering hingga tak indah lagi untuk dipandang.

"Maksud aku ..." ucapan Naya sengaja dipotong oleh Abi.

"Ohya, aku lupa ada janji dengan guru pembimbing. Maafkan aku Naya, tapi aku harus pergi sekarang" Abi coba menghindar. Abi segera mencari alasan sebelum Naya bertanya lebih lanjut.

"Baiklah" Naya menahan air matanya yang terasa akan tumpah sekuat tenaga.

"Sampai ketemu nanti, Naya."

Naya berjalan gontai keluar dari gesung olahraga yang letaknya tidak jauh dari aula tempat diadakannya upacara kelulusan.

Putra yang melihat Naya berjalan gontai segera menghampirinya.

"Nay, kamu kenapa? Apa kamu baik baik saja? Apa kamu sakit?" Putra mendadak jadi khawatir.

Naya tidak menjawab, malah dia menangis tersedu-sedu di dada Putra. Putra pun akhirnya merelakan bajunya basah. Putra mendekap Naya, mengusap kepalanya sengan pelan.

"Apa yang terjadi? Katakanlah." Naya masih terus menangis tanpa mempedulikan pertanyaan Putra.

"Ok, tenangkan dirimu. Menangislah sepuasmu" katanya lagi. Akhirnya Putra pasrah bajunya menjadi basah karena air mata Naya.

Saat dirasa tangisan Naya mereda, Putra coba melihat keadaan Naya dengan menatap wajahnya, tapi Naya malah membenamkan kembali wajahnya di dada Putra.

Putra merasa hatinya seperti di aduk-aduk oleh perasaan yang dia sendiri tidak mengerti cara menerjemahkannya. Untuk saat ini dia lebih memilih untuk hanyut mengikuti arus air mengalir.

"Putra, tolong antarkan aku pulang" pinta Naya saat ia sudah bisa mengontrol tangisnya.

"Baiklah, tapi jauhkan dulu wajahmu dari dadaku" Putra menahan nafas untuk sesaat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Maaf, aku sedang merasa kacau."

"Ah, aku sudah terbiasa dengan keadaanmu yang kacau bahkan dalam keadaan kulitmu yang gosong itu, aku dapat menerimanya" Putra coba menghibur Naya.

"Dasar! Kapan kamu berhenti menjahiliku?" Keluh Naya.

"Mungkin jika aku mati" jawab Putra asal.

"Hei! Jaga ucapanmu, karena ucapan itu bisa menjadi doa. Tarik kembali ucapanmu. Cepat!" Bentak Naya.

"Ok, tarikkanlah untukku" Putra berkata asal.

"Putra, stop deh bercandanya."

"Baiklah ...."

"Jadi diantar pulang nggak?"

"Iya, tolong antar Aku pulang."

"Tapi hapus dulu air matamu, aku tidak mau dikira telah menyakitimu."

"Kalaupun orang ingin peduli, mereka tidak akan bisa apa - apa jika kau pelakunya. Sebab tidak ada yang bisa menyentuhmu di sekolah ini."

"Kau pikir aku ini hantu? Hingga tidak bisa disentuh?" Putra terperanjat, gila nih cewek becandanya kelewatan, kurang mundur sesikit. Putra cekikikan sendiri dengan pikirannya.

"Duh!" Naya menepuk jidatnya sendiri. "Aku lupa kalau lagi bicara dengan kutu IQ jongkok" Naya pura pura kesal.

"Apa kau bilang?" Putra mencubit pipi Naya dengan gemas. "Dasar gadis gosong!"

"Aaaww, ampun. Hahahha" Naya mengaduh.

"Ah, syukurlah. Akhirnya kau tertawa juga" Putra merasa lega.

"Ehm, terima kasih Put. Walau kau suka jahil padaku tapi sekarang aku tahu, ternyata kau berguna juga. Tidak sia-sia aku memeliharamu sampai sekarang" Naya tersenyum lebar memamerkan sederet gigi putih rapi.

Putra tersenyum lega, "Kapan kita sampai rumahmu jika kebanyakan bicara?" Putra berjalan ke arah parkiran meninggalkan Naya yang segera mengejar langkahnya yang panjang.

"Hei, tunggu! Jangan tinggalkan aku. Hah! Cepat sekaki kau jalan" keluh Naya.

Di dalam mobil akhirnya Naya menceritakan kejadian yang membuatnya menangis.

"Tadi sewaktu kamu pergi menerima panggilan di ponsel, aku mengajak bicara Abi" Naya coba melihat reaksi Putra.

"Terus aku mengajaknya bicara di gedung olahraga, aku menyatakan perasaanku yang aku pendam selama ini kepadanya" Naya kembali melihat respon sahabatnya itu namun Putra tetap tenang mengemudikan mobil.

"Selanjutnya apa yang terjadi?"

"Abi menolak perasaanku..." Naya mulai berkaca kaca lagi matanya.

"Cup, cup. Jangan menangis, masih banyak persediaan cowok di luar sana" Putra menggunakan tangan kirinya untuk mengusap usap kepala Naya. Dalam hati Putra menyukai berita tersebut.

"Gadis bodoh, gitu saja nangis".

"Perasaan wanita itu lebih sensitif tau".

"Ohya? Aku kok ragu. Kau ini kan bukan wanita?"

"Hah! Apa kau bilang? Sini aku cubit" Naya mulai mencubit pinggang Putra.

"Hei, hentikan. Geli. Hentikan, aku sedang mengemudi."

"Iya.l, iyaaaa"

avataravatar
Next chapter