webnovel

Dua

POV Devan

Tatapan perempuan itu berubah seketika, ketika menatap diriku dan kursi rodaku.

Aku tahu dia terkejut, tapi ini bukan hal yang perlu aku bahas lagi, semua orang memang seperti itu padaku, aku sudah tak peduli!

Dalam diam, perpisahan untuk sebuah pertemuan tak terduga berakhir, ya... tak pernah terpikirkan untuk bertemu secara langsung dengan pengikut setiaku itu, sebatas melihat foto profilnya, itulah pikiran sederhana yang bisa kusematkan tentang dia, tak lebih, dan tak ada harapan apapun.

Dan sekarang... mungkin saja dia bukan lagi pengikut setiaku, ah... sudahlah!

"manis ya cewek tadi?" Mbak Ana, Kakakku itu menatap sambil melemparkan senyuman.

"hmmm," jawabku.

"jadi kamu udah lama kenal dia?" lirikan Mbak Ana terasa mengintimidasiku.

"kenal sebatas internet." aku terus mendorong kursi rodaku.

"hmmm gitu ya..." Mbak Ana mengangguk-angguk, ia tampak sedang berpikir, entah apa, aku tak tahu.

"oh ya, gimana tentang tawaran Papa Dedi? Kamu jadi kerja di sana?" tanya Mbak Ana sambil menggendong Farel yang mulai rewel.

Untuk seseorang yang cacat sepertiku ini, tawaran sebagai administrasi di resort yang dikelola Ayah tiriku itu adalah hal yang menggiurkan, hanya saja aku masih merasa canggung untuk kembali berinteraksi dengan orang banyak, dengan mereka-mereka yang normal, pengalaman tak menyenangkan waktu itu masih saja membayangiku.

"entahlah." Aku mengendikkan bahu.

"apa yang kamu pikirkan lagi? Kamu gak suka Papa Dedi?" Mbak Ana tiba-tiba berhenti.

Memang benar beliau adalah Ayah tiriku, tapi cerita hidupku bukanlah seperti drama-drama yang menceritakan tentang kejamnya orangtua tiri pada anaknya. Papa Dedi tak seperti itu! dia orang yang baik, seorang pria dewasa yang mencintai Mamaku, bahkan mungkin ia lebih menyayangi Mama dibandingkan Almarhum Papa dulu.

Tapi rasa sayangnya hanya sebatas untuk Mama, bukan untuk kami, dia adalah orang baik yang tak menyayangiku, hubungan kita cenderung dingin tapi minim konflik.

"bukan gitu, Mbak, nanti aku pikirkan lagi." Aku kembali mendorong kursi rodaku, setelah sebelumnya ikut berhenti karena Mbak Ana.

***

POV Ana

Aku ingin adikku ini merasa lebih baik, tapi selalu saja sulit.

Hah... bencana itu benar-benar merenggut banyak hal dari Devan, tak hanya fisik, Devan benar-benar berubah setelah itu. Aku rindu adikku yang dulu, Devan yang mudah tersenyum, optimis, dan selalu menghiburku dengan leluconnya.

Enam tahun semua itu telah lenyap, hingga saat ini aku tak bisa mengembalikannya, itu membuatku sedih.

Aku menyayanginya, tapi aku tak bisa membuatnya bahagia.

***

POV Mira

"yang pake kursi roda itu orangnya, Mir?" tanya Rika dengan raut wajah terkejut ketika aku baru saja duduk di kursiku.

"iya," jawabku singkat.

"padahal orangnya lumayan juga, sayang aja cacat," kata Rika.

Ya... memang benar, aku juga berpikiran seperti itu tadi.

"eh Mir, lu gak usah kecewa gitu, kan untung juga lu udah ketemu orangnya sekarang, jadi lu gak usah terlalu nge-fans lagi sama dia." Rika tersenyum padaku.

"iya Ka, lu bener, asli! Gue kecewa banget tau dia ternyata pake kursi roda tadi, ah... pantas aja IG-nya gak ada fotonya, malu dia kali ya?" aku menatap Rika dengan wajah serius.

"ya iyalah! Itu aja pake nanya segala! Eh tadi temen sekos gue nelfon, dia ketinggalan kunci, jadi nungguin gue pulang, cepetan abisin punya lu, kita pulang abis itu," cecar Rika.

"ya... ya...!" aku sedikit melotot padanya.

***

Seminggu kemudian.

POV Devan

Tak ada komentar dari akun itu, hmmm semua sudah jelas sekarang!

Kekaguman memang selalu melihat fisik.

Kututup layar laptopku dengan kasar!

Mungkin aku tak perlu mengurus web itu lagi, tawaran Papa Dedi sudah waktunya kupikirkan lagi.

Hmmm apa yang sebenarnya ingin kuhindari?

Tatapan mata orang akan selalu sama padaku, 'si lumpuh berkursi roda'.

Lalu apa lagi?

Mereka tidak akan pernah berhenti berpikiran tentang itu, karena itu adalah kenyataan.

Mereka akan terus membicarakanku seperti itu, karena itu memang diriku.

Percuma terus melawan arus.

Percuma terus bersembunyi, menyangkal diriku yang nyatanya sudah cacat ini.

***

POV Mira

Masih tak ada update-an?

Kenapa ya?

Apa alamat web-nya ada yang baru ya?

Aku terus membolak-balik page website itu, berharap menemukan petunjuk.

Atau jangan-jangan...

Mas Devan yang berkursi roda itu sudah meninggal?

Astaga!!!

Kok aku tak memikirkan sampai ke sana tadi ya?

Eh bentar dulu deh!

Mending aku cek di IG-nya dulu, kalau masih ada update-an postingan, berarti dia belum mati dong, hehehe.

Dengan gesit, jemari lentikku menyentuh layar ponsel, hingga IG yang dicari pun bertemu.

Nah, ini dia!

Postingan terakhir tanggal...

Mana tanggalnya?

Nah, ini dia!

Lima belas, oh... itu kan berarti kemarin dong!

Hmmm tu kan, belum mati orangnya.

Terus... kok dia tak meng-update lagi ya?

"woi....!!!! pagi-pagi udah bengong aja nih Buk!" suara Lisa mengagetkanku seketika.

Tanpa pikir panjang aku segera menceritakannya pada sahabat terbaikku itu.

Beberapa menit kemudian.

"kalo elu penasaran, ya tanya aja! Komen aja di sana, kan lu udah biasa komen." Kalimat pertama Lisa setelah diam beberapa saat.

"tapi gue udah lama gak komen-komen lagi sih," jawabku agak ragu.

"lha, kenapa? Gara-gara dia gak sekeren yang lu pikirin? Dan karna dia cacat juga?" tanya Lisa sedikit sinis.

"enggak gitu Lis! Lu apa-apaan sih! Masa gue segitunya sih!" elakku.

"trus apa? Gue liat-liat, lu tetep baca web-nya dia tiap pagi, tapi lu gak komen, emang apa lagi alasannya?" tanya Lisa sok tahu.

"ya.... gue males aja komen, lagian buat apa juga sih komen-komen segala, norak tau!" aku mencoba meyakinkan Lisa dengan kata-kata yang baru saja kurangkai.

"Mir... gue kenal elu udah lama, gue tau sifat lu, gak usah boong deh sama gue! Lu sebenernya kecewa kan sama orang yang lu idola-in itu, tapi lu berusaha gak mengakuinya." Lisa menatapku lekat-lekat tanpa berkedip.

Aku benci sahabatku bisa menebak diriku semudah ini!

Aku benci dia tahu tentang apa yang kupikirkan!

Aku benci diriku, karena aku membohonginya!

"tapi gue kan tetap baca tulisannya, Lis." Aku masih bersikukuh membela diriku.

"Mir, saran gue ya... lu harus tentuin sikap lu, kalo lu emang gak suka lagi sama idola lu itu, mending lu gak usah ngikutin tulisannya, tapi kalo lu masih suka baca tulisannya, lu harus tetap ngedukung dia, gak tiba-tiba jadi silent reader gitu, dia mungkin juga ngerasa tersinggung gara-gara lu berhenti komen-komen." Lisa bersedekap sok berwibawa.

"tapi Lis..." terputus.

"lu keras kepala amat sih, Mir! Terserah lu deh! Tapi coba kalo lu yang di posisi dia sekarang! Coba lu pikir, apa yang kira-kira dia pikir tentang lu! Gue harus pergi pagi ke kantor hari ini, bisa-bisa telat gue gara-gara lu, dari tadi gak selesai-selesai debatnya!" Lisa bergegas menuju rak sepatu dan menyambar sepasang sepatu high heels hitam.

***

POV Devan

'kok gak ada update-an lagi Mas Devan?'

Sebuah komentar yang baru saja kubaca beberapa menit yang lalu.

Mengapa ia tiba-tiba muncul kembali?

Perlukah aku menjawabnya?

Ah... sudahlah!

Apa yang kupikirkan?

Ini bukan apa-apa!

Lagi pula aku sibuk dengan pekerjaan baruku di resort ini, tak ada waktu untuk mengurus itu!

***

Sebulan kemudian.

POV Mira

"jadi hari ini terakhir lu di sini, Lis? Gue masih gak percaya lu tega ninggalin gua sendirian!" rengekku untuk yang kesekian kalinya sejak dua hari yang lalu.

"iya say... gue mau pulkam untuk selamanya, lu jaga diri di sini baik-baik ya... hehehe." Lisa memelukku sambil bercanda.

"lu jahat Lisa! Harusnya lu ngajak gue juga!" aku memonyongkan bibirku padanya sambil pura-pura mengambek.

"ah ya... sini-sini... mana yang mau ikut sama Mama..." Lisa semakin menjadi-jadi.

Aku pun sontak tertawa mendengarnya.

Tapi tiba-tiba...

Rasa sakit di perutku yang beberapa hari terakhir ini kurasakan, terasa kembali menyerangku, panas seperti terbakar.

Ya Allah...

Ini lebih menyakitkan dari tadi pagi!!!

Aku segera memegangi perutku dengan erat!!!

"lu kenapa Mir???" suara tawa Lisa berubah cemas seketika.

"perut gue Lis...." suaraku terdengar merintih.

"perut lu kenapa?" Lisa meraba-raba perutku, keningku, dan wajahku.

Tanpa berkata apapun, Lisa langsung menggiringku ke kasur, ia meluruskan kakiku, tapi perutku justru bertambah sakit, aku kembali meringkuk, menahan rasa sakit yang menjalar ke punggungku.

***

POV Devan

Lelah berlarian sejak satu jam yang lalu di sekitar poliklinik rumah sakit ini, Farel pun akhirnya duduk malas di pangkuanku dengan mata mengantuk.

"Om Devan... kok Papa gak pulang-pulang?" tanyanya sambil menguap.

"Papa Farel lagi kerja, cari duit untuk Farel dan Mama," jawabku tenang sambil melirik pintu kamar mandi, menunggu kedatangan Mbak Ana yang sudah hampir sepuluh menit di sana.

"Alel kangen Papa..." ujarnya sedih dengan cadel yang masih kentara.

"Farel ingat apa yang Papa Farel bilang waktu itu? jangan sedih, karna Farel harus jagain Mama di sini." Aku mencoba membujuk keponakan kesayanganku itu.

"iya Om Devan, Alel akan jagain Mama dan Om Devan juga..." bocah itu tersenyum manis padaku.

Maafkan aku Farel, harusnya Om-mu ini yang menjagamu, tapi... aku tak bisa melakukannya. Aku hanya menatapnya tanpa berusaha membalas senyumannya.

***

Lalu lalang pasien yang memadati bagian poliklinik rumah sakit ini semakin banyak saja. Mbak Ana yang sedang berkonsultasi di bagian Ibu dan Anak, masih belum keluar dari ruangan.

Aku akan terus menunggunya di sini, dalam diam dan seorang diri.

Meskipun aku tak memiliki kepentingan apapun di sini, tapi aku tetap dibawa oleh Mbak Ana, kekhawatirannya selalu besar padaku, tinggal sendirian di rumah akan membuatnya resah, padahal sudah tak waktunya lagi untuk terlalu memikirkanku, aku sudah terbiasa dengan keadaanku, dan aku tahu bagaimana menjaga diriku, hanya saja tak ada yang percaya dengan itu.

Aku kembali menatap pada layar televisi yang menyiarkan acara berita nasional.

Namun, baru beberapa menit mataku fokus pada layar itu, tiba-tiba sebuah map cokelat terjatuh di sampingku, aku segera meliriknya.

Ku coba meraih map itu dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku berpegang pada bagian roda kursi rodaku, maklum saja, bagian pinggang hingga kakiku sudah tak berfungsi lagi, jadi aku tak memiliki kendali yang baik untuk keseimbangan, jika tak bersandar atau berpegangan.

Tanpa pikir panjang, aku segera mendongak, menyerahkan map itu pada sang pemiliknya.

Oh astaga!!!!

Hatiku tiba-tiba saja berubah tak karuan.

***

POV Mira

Seseorang yang memegang map hasil tes-ku itu masih menatapku lekat-lekat, aku diam dengan jantung yang kocar-kacir.

"Mira..." akhirnya, suara dinginnya menyudahi kesunyian kami.

"Mas Devan..." bibirku yang terasa bergetar hanya bisa menyebutkan kata itu dengan kaku.

"ini punya kamu?" tanya lelaki berkursi roda itu sambil mendekatkan map itu padaku.

"ah iya... makasih Mas..." aku segera meraihnya sambil menyunggingkan senyuman ramah yang lemah.

"kamu sakit?" pertanyaan yang sebenarnya tak ingin aku dengar, tanpa permisi keluar dari mulut Mas Devan.

"hmmm sebenarnya saya tak berharap untuk sakit, tapi kenyataannya iya," jawabku sambil sedikit terkekeh, berusaha menertawakan diri sendiri.

"Mas Devan lagi sakit juga ya?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan kami.

"secara teori orang yang cedera tulang belakang seperti saya jelas dikatakan 'orang sakit', tapi saya ke sini hanya menemani Kakak saya konsultasi." Dia membalas kekehanku dengan wajah dingin.

"maaf Mas... saya gak bermaksud seperti itu tadi..." terputus.

"gak usah terlalu dihayati juga, saya hanya mencoba meluruskan tadi," potongnya.

Ah... mengapa aku harus bertemu dengan orang ini sekarang?

Hatiku masih kacau dengan masalahku, dan saat ini malah bertambah kacau karena dia.

"jadi Mira sakit apa?" tanyanya seolah penasaran denganku.

"kalo saya cerita, itu lumayan panjang." Aku bersedekap sambil meliriknya dengan senyuman miring.

"saya punya dua kuping untuk mendengar cerita panjang itu," jawabnya tenang.

Orang sakit bertemu orang sakit, hmmm mari kita lihat apa yang akan kami bicarakan.

Aku pun duduk di samping kursi roda Mas Devan, seseorang yang pernah kukagumi dulu, tapi... mungkin saat ini aku masih mengagumi tulisannya.

***

POV Devan

Takdir yang aneh, ketika mempertemukanku dengan gadis ini saat pertama kali.

Dan sekarang, takdir yang aneh lainnya kembali, kita bertemu di sini.

Seakan semuanya terbalik saat ini, aku yang biasanya menjadi sumber bacaannya, sekarang berubah menjadi pendengar keluh kesahnya, entah mengapa aku mau melakukan ini.

Apakah aku hanya ingin berlama-lama dengannya?

Atau...

Apakah aku begitu senangnya bertemu lagi dengannya?

***

"usus buntu?" tanyaku kaget.

"iya, dan saya harus dioperasi besok, kalo gak ususnya pecah dan menginfeksi tubuh, lalu tinggal nunggu waktu saja untuk mati." Mira terkekeh lesu.

"jangan ngomong tentang kematian seperti itu! kamu bisa sembuh, kenapa berputus asa?" aku mengernyitkan dahi sambil menggeleng-geleng.

"ah... ya... saya bisa sembuh, tapi saya gak punya pekerjaan setelah itu, mereka menyuruh saya untuk mengundurkan diri, ketika saya mengajukan cuti tiga hari, hanya untuk tiga hari!" Dia tersenyum pahit sambil menatap mataku.

Lidahku kelu seketika, tak tahu lagi apa yang akan kukatakan padanya.

Andai aku bisa mengatakan sesuatu yang berguna saat ini, tapi... aku sendiri tak jauh beda dari seorang pecundang sekarang, menggantungkan hidupku pada keluarga yang mengasihaniku.

Aku hanya menatapnya, karena aku tak bisa menolongnya.

***

POV Mira

Mengapa aku berkeluh kesah pada orang ini?

Bukankah dia juga sedang dalam keadaan yang tak beruntung, mungkin aku harusnya bersyukur karena masih bisa menggunakan kedua kakiku dengan normal.

"sepertinya saya terlalu banyak bercerita, maafkan saya Mas..." ujarku berusaha memperbaiki keadaan itu.

"kenapa minta maaf?" tanyanya heran.

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman kecil.

Dari kejauhan, aku melihat Lisa membawa beberapa kertas, sepertinya itu adalah bukti pembayaran yang baru diurusnya untukku.

"ya ampun Mir... rame banget yang ngurus BPJS tadi, antriannya panjang, ini gue baru kelar," ujar Lisa setelah mendekat padaku.

"thanks Lis..." aku tersenyum pada sahabatku itu.

"lu serius gak mau kasih tau Emak sama Bapak lu di kampung? Ntar kalo lu kenapa-napa gimana?" pertanyaan yang kesekian kali diulang Lisa padaku, aku mulai bosan untuk menjawabnya.

"kan gue udah bilang Lis, kalo gue cerita malah tambah kacau yang ada, biarin aja kayak gini, jadi mereka gak banyak pikiran," jelasku.

"tapi Mir..." terpotong.

"udah Lis! Adek gue banyak, gak cuma gue yang dipikirin ortu gue! Gue gak boleh nambah beban mereka lagi!" bentakku dengan suara agak keras.

***

POV Devan

Tak habis pikir aku mendengar kisah Mira ini, tak bisa kubayangkan jika aku berada di posisinya, dengan keadaanku yang seperti ini, hidup jauh dari keluarga dan berusaha tegar dengan beban hidup yang berat.

Terenyuh hatiku.

Rasanya telah lama hati ini tak bergetar mendengar kisah orang lain.

Bagiku, kisahku lebih menyakitkan, dan tak ada yang lebih buruk dari itu.

Tapi sekarang... aku menarik kata-kataku itu.

***

Next chapter