webnovel

Di jodohkan

Hari mulai petang, seluruh karyawan keluar dari ruang kerjanya dan berjalan gontai menuju pintu utama kantor. Aku dan Denada kini sudah berada dalam bus spesial antar jemput karyawan, walaupun tidak di antar sampai rumah setidaknya ini meringankan karyawan-karyawan kantor untuk mengirit biaya bolak-balik kantor.

"Denada" Panggil ku pada Denada yang duduk bersebelahan dengan ku, Denada sibuk melihat kearah kaca bus entah mungkin Dia menikmati perjalanannya. Denada orang yang baik, ramah dan sangat sopan. Pertamanya Aku sempat menduga Dia orang yang dingin, sombong karena gayanya yang sedikit angkuh. Benar saja, Aku tidak bisa menilai seseorang dari luar.

"Kenapa?" Tanya Denada padaku, matanya masih menatap kearah kaca bus.

"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu" Ucapku sedikit canggung.

"Apa itu?" Tanya Denada santai.

"Apa CEO berpacaran dengan sekretaris-nya?" tanyaku memelankan suara.

Denada menatap kearah ku dengan tatapan serius. "Maksud Mu?" Denada masih bingung.

"Ah, Aku sempat melihat mereka berdua tadi di dalam mobil bersama. Mereka berciuman" Jawabku menjelaskan dan masih dengan suara berbisik.

"What?!" Denada terkejut bukan main. Aku mengangguk mengiyakan.

"Kalau tentang satu mobil bersama semua karyawan sudah tau karena itu hal biasa, tapi berciuman? Apa kamu salah melihat? Ah Aku tidak bisa membayangkannya, bagaimana bisa? sejak kapan mereka berpacaran?" Ucap Denada bingung dan memegangi kepalanya, dahinya berkerut.

"Aku yakin tidak salah lihat" Ucapku meyakinkan.

"Kita lihat kembali besok, Aku harus melihatnya dengan mata ku sendiri" Jawab Denada tiba-tiba ambisius.

"Untuk apa? Bukannya itu privasi?" Tanyaku.

"Aku hanya ingin memastikan dan kita tidak melihatnya dari dekat" jelas Denada padaku.

"Baiklah" jawabku singkat.

Bus berhenti di terminal tempat ku, Aku bangkit dari tempat duduk dan bersiap untuk keluar dari dalam bus.

"Sampai jumpa besok" Ucap Denada padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman manis.

Aku berjalan gontai keluar dari dalam bus, kakiku kembali menginjak tanah dan tidak terlalu lama, bus kembali melaju kencang meninggalkan ku sendirian. Di balik kaca bus, terlihat Denada melambaikan tangannya padaku, Aku membalas lambaiannya. Setelah cukup jauh, Aku melangkah dengan cepat berjalan menuju arah pulang ke rumah. Hari semakin gelap dan dunia malam sangat menakutkan bagiku, bukan malamnya yang menakutkan tapi manusia malam yang sering membuat onar dan berdiri di depan gang mencari korban kejahatan mereka. Ah apalagi tempatku rawan mengalami hal itu, banyak sekali anak gadis yang meninggal dunia dengan mengenaskan. Kabarnya korban pembegalan dan pemerkosaan, setelah itu korban di bunuh dengan brutal. Karena di temukan banyak sekali tusukan di perut dan dadanya, apalagi korban tewas telanjang bulat. Benar-benar mengerikan, mengapa ada saja manusia yang hidup dengan tabiat mirip iblis. Tuhan pasti menghukum mereka nanti, dan anehnya kenapa polisi tidak mencari para pelaku? bukankah mereka harus di penjara seumur hidup?

Aku menyusuri jalanan gang yang sepi, hanya ada beberapa lampu yang menyala sempurna. Lampu lainnya berkedip-kedip, kurasa sudah rusak. Angin senja berhembus dan menyapa rambut hitam panjang milikku, hawa dingin membungkus tubuhku. Aku semakin mempercepat langkah, sembari menyeka anak rambut yang sempat menutupi penglihatan ku. Perasaan ku tidak enak dan Aku memilih berlari.

°°°°°

tok-tok!

"Ibu Aku pulang!" Panggil Ku dari depan pintu, Aku kembali mengetuk pintu dengan keras.

"Ibu!" Panggil Ku lebih keras.

"Sebentar! Ibu datang" Sahut Ibuku berteriak dari dalam rumah.

kenop pintu diputar, dan pintu terbuka lebar terlihat tubuh renta ibuku yang berdiri di depan pintu dengan handuk yang tersangkut di kepalanya.

"Ibu mandi?" Tanyaku memastikan.

"Iya, Dan Ibu sudah selesai sekarang" Jawab Ibuku rileks.

Aku mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dan menghempaskan tubuh ke sofa empuk yang sudah terletak di ruang tamu.

"Bagaimana kerja pertama Mu?" Tanya Ibuku memulai percakapan sambil menutup pintu.

"Lumayanlah" Jawab Ku singkat. "Apa ayah belum pulang?" Tanyaku.

"Ah iya, Ayahmu pulang lebih larut malam ini. Katanya jangan tidur lebih awal" jawab Ibu menjelaskan, ibu berjalan pelan menuju sofa dan duduk tepat di depan ku.

"Kenapa?" Tanya ku heran sambil memperbaiki posisi duduk.

"Ada tamu datang kemari, jadi bersiaplah membuat hidangan" Jawab ibu sambil beranjak dari duduknya. "Kamu yang masak Ibu ingin pergi ke acara tetangga sebentar" Lanjut Ibu setelah agak jauh dari ku.

"Apa?! Ah Ibu ku mohon Aku lelah" Jawabku meringis, padahal kan Aku baru saja pulang kerja.

" Semua orang lelah, Kamu seorang wanita Jadi sudah pekerjaan mu di dapur" Jawab Ibu judes dan tegas. Tubuh ibu menghilang karena sudah masuk kedalam kamarnya, Aku berdecak kesal.

Aku merasa kata-kata itu hampir setiap hari Ibu katakan padaku, itulah kata-kata ibuku jika Aku beralasan apabila di suruh memasak atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Selain itu Ibuku juga sering mengatakan bahwa Wanita itu harus tegas dan tahan banting, maksudnya jadi wanita itu tidak mudah suatu saat akan punya anak. Mendidik seorang anak adalah tugas seorang wanita, menjadi wanita harus pintar mengurus keuangan karena boros tidaknya tergantung wanita, cukup tidaknya tergantung pada wanita. Tugas seorang suami hanyalah bekerja dan menjadi kepala keluarga yang baik serta bisa menuntun rumah tangganya. Jadi setidaknya seorang Pria harus menghargai wanita, karena tanpa Wanita seorang Pria tidak berharga dan berarti begitu juga sebaliknya.

Aku bangkit dari dudukku dengan malas, berjalan dengan malas menuju kamarku. Aku memutar kenop pintu, dan meletakkan tas hitam ku kedalam lemari koleksi. Ya! Aku teringat sesuatu. Tas hitam baru! dimana tas itu? Aku membelinya mahal-mahal hasil dari tabungan kerja paruh waktu selama enam bulan. Jika tas itu tidak hilang di rumah, lalu dimana? Perasaan Aku tidak pernah membawanya ke tempat lain waktu itu.

"Aesya kamu tidak mandi?" Tanya ibu tiba-tiba berdiri di depan pintu kamarku.

"Ah iya, Aku akan mandi Bu" Jawabku singkat sambil mengambil handuk yang baru ku cuci dari dalam lemari. Ibu berbalik dan meninggalkan ku yang segera masuk kedalam kamar mandi.

Kran air di putar dan keluarlah air hangat dari lubang-lubang shower. Aku berdiri dibawah shower, kepalaku mulai basah. Air mengalir pelan, dan akhirnya membasahi seluruh tubuhku. Pikiran ku masih dengan satu titik, Dimana tas hitam milikku? Ku taruh di mana? Aku menggosok wajah ku pelan, lalu mengambil sabun cair dan mengolesi seluruh kulit tubuh ku dengan sabun cair yang wangi itu. Aku menggosoknya pelan, dan masih memikirkan tas hitam ku. Ah! kurasa tidak, Aku memikirkan tentang CEO dan sekretaris pribadinya.

"Kenapa Aku memikirkannya?" Ucapku kesal sambil memukul kepalaku sendiri, berharap bayangan mereka berdua saat dalam mobil tadi hilang terbawa air dari shower. Aku jadi merinding sekaligus bergidik ngeri melihat mereka berdua menikmati ciuman itu.

°°°°°

Malam mulai larut, dan Aku masih berseteru dengan pisau dan beberapa sup yang ku masak saat ini juga beberapa aneka kue sebagai kudapan. seandainya tidak ada tamu dan ibuku tidak pergi meninggalkanku sendiri mungkin aku tidak mau melakukan hal yang benar-benar tidak kusukai, tapi setiap Aku membantah perkataan perkataan Ibu bisa saja yang membuat ku selalu kalah. Dan berakhir diam mendengarkan Omelan beliau.

'tengggggg!'

Lonceng kecil yang tergantung di pintu berbunyi tanda ada seseorang yang datang, Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Ternyata Ibu sudah pulang, Aku sedikit lega sekarang. Karena Aku tidak kerepotan sendiri lagi memasak di dapur.

"Sudah selesai?" Tanya Ibu.

"Belum, bantu Aku Bu" Jawab Ku meringis sambil mempererat tali celemek.

"Kami memang selalu begitu" Jawab Ibuku tenang dan berjalan menuju dapur, Aku mengikutinya dari belakang.

Ibu memasang celemaknya, dan melanjutkan memotong beberapa sayur untuk membuat sup. Sedangkan Aku melanjutkan kegiatan memanggang beberapa kue, juga menggoreng ikan dan beberapa makanan setengah jadi.

"Kamu sudah mencuci piringnya?" Tanya Ibuku, tangannya dengan cekatan memotong sayuran. Aku merasa iri dengannya, Ibu benar-benar hebat dalam hal memasak juga melakukan pekerjaan rumah lainnya. Kalau Aku jadi Beliau, Aku tidak sanggup melakukan pekerjaan rumah sendirian.

" Apa kamu sudah dapat teman di kantor?" Tanya Ibuku penasaran, Aku sudah menduga Ibu akan menayangkan hal ini. Ibu memang sering menanyakan hal ini sejak Aku masih sekolah dasar, jadi ini hal biasa.

"Iya Bu, Namanya Denada Dia sangat baik dan ramah padahal Kami berdua bertemu hanya beberapa jam saja, tapi kami berdua sudah sangat akrab" Jelas ku panjang lebar, ada rasa bahagia saat Aku menceritakan ini pada Ibuku.

"Syukurlah, Aku kira nasibmu masih sama seperti yang dulu" Jawab ibu tetap tenang.

"Mengingat nya membuat ku malu" Jawab Ku sedikit kesal. Iya dulu ketika masih kecil, Aku adalah korban bullying. Aku gadis yang cengeng, sering menangis di dalam WC atau juga gudang sekolah karena di kunci teman-teman ku dari luar. Aku bisa pulang ke rumah sekitar jam empat sore, karena saat itu pak satpam sekolah tau Aku ada di dalam. Bahkan Pak satpam hafal, kalau gudang atau WC sekolah pasti ada Aku disana. Hingga akhirnya Pak satpam sering membukakan pintu ketika teman ku sudah pergi meninggalkan ku, sejak itu Aku tidak lagi menagis kalau di kunci. Karena Pak Satpam langsung membebaskan Ku.

Karena Aku benci menjadi korban bullying di sekolah, Aku ikut latihan silat bersama pamanku. Tapi sekarang paman tidak tinggal di sini lagi, Dia pergi merantau. Saat itu Aku sangat sulit mengingat setiap gerakan silat yang di ajarkan, Tidak terlalu lama Aku mengikuti latihan silat. Akhirnya Aku menyerah sendiri, karena sulit di lakukan bagiku. Suatu hari, ketika teman-teman sekelas ku mulai berulah lagi. Aku sudah memasang niat untuk melawan mereka, benar saja mereka menendang kakiku juga menarik rambutku sambil menghina, karena Aku geram dan sangat marah. Aku menyingkap tangan yang menarik rambutku lalu memutarnya sampai mereka berteriak Aku juga menarik rambut mereka, sampai rontok. Lalu Aku juga mengurung mereka di dalam kelas, rupanya Pak satpam tidak tahu kelima pembully itu ku kunci di kelas, Alhasil mereka terkunci semalaman di dalam kelas. Aku merasa senang karena setelah itu tidak ada lagi yang bisa membully ku, karena mereka takut dan gerakan silat yang sempat ku pelajari pun sudah ku lupakan, padahal Aku ingin membalas mereka dengan gerakan silat itu tapi malah ikut menjambak rambut dan memutar lengan. Jadi tidak keren.

Teng!...

Lonceng berdentang keras, Aku terkejut karena saking seriusnya memanggang kue. Ah tidak Aku rasa Aku melamun karena bernostalgia.

"Mereka sudah datang, lepas celemek mu dan sambut mereka " Perintah Ibu padaku.

"Kenapa tidak Ibu saja?" Jawabku balik menyuruh.

"Lakukan saja apa yang ibu perintahkan" Jawab Ibu mulai meninggi.

Aku menuruti perintah Ibuku, lalu berjalan dengan lumayan Anggun menuju pintu utama.

"Ayah pulang!" ucap Ayah sambil mencium pipi kira kanan ku, lalu melepas sepatunya. Aku menengok kebelakang mencari tamu Ayah yang datang.

"Ayah mana tamu kita?" Tanyaku pelan.

"Mereka masih dalam mobil, mereka satu keluarga" Jawab Ayah antusias dan duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu tamu-tamunya. "Panggil Ibumu Nak" Lanjut Ayah.

Aku mengangguk mengiyakan dan berjalan menuju dapur, terlihat Ibu sedang sibuk membuat minuman. Aku menghampirinya.

"Ibu, Ayah memanggil Ibu" Ucapku padanya.

"Lanjutkan pekerjaan Ibu, Ibu akan segera ke sana" jawab Ibu sambil melepas celemaknya lalu merapikan rambutnya, Ibu berjalan menuju ruang tamu. Dan Aku melanjutkan kegiatan ku membaut minimum, setelah selesai Aku berjalan pelan membawa minuman itu untuk para tamu, Tamu satu keluarga itu ternyata sudah duduk manis di sofa sambil berbincang-bincang. Sedikit malu, Aku meletakkan nampan berisi minuman itu ke atas meja, lalu berbalik kearah dapur untuk mengambil kue kering yang ku buat sendiri. Tak lama Aku kembali dengan membawa nampan berisi kudapan, lalu menaruhnya di atas meja.

"Duduklah bergabung Aesya" Ucap Ayahku pelan padaku. Aku mengangguk dan duduk di dekat Ibuku.

"Apa Dia putri Mu?" Tanya seorang wanita berambut pirang pada Ibuku.

"Iya, namanya Aesya dia anak tunggal" Jawab ibu menjelaskan.

Wanita berambut pirang itu tersenyum kearah Ku, Aku membalasnya dengan senyuman manis yang tulus.

"Aesya gadis yang cantik senang bertemu denganmu Aesya, Perkenalkan ini putraku umurnya tiga puluh tahun" Ucap Wanita berambut pirang itu sambil tersenyum menunjukkan anaknya.

Aku menatap kearah anak berambut hitam dan klimis, Anak itu menunduk. Ah apa? masih pantaskah dia Ku sebut anak? tubuhnya tinggi dan atletis, Anehnya umur tiga puluh tahun tidak berkumis dan jenggot? ah benarkah Dia setua itu?

"Valendo, sapa Aesya. Dia menatap mu, ah maaf ya Valendo memang seperti ini" Jelas Ibunya padaku juga pada Ibuku, sedangkan Ayahku sepertinya berbicara bisnis.

"Angkat Wajahmu" Ucap Ibu itu. Seorang anak yang disebut nya Valendo menurut, lalu menatapku. Tatapannya tajam wajahnya datar dan sikapnya dingin. Aku terkejut ketika menyadari seorang pria berwajah mulus dan tampan itu.

"CEO!?" Ucapku pelan dan sedikit bertanya. CEO di tempat kerja itu, maksud ku Valendo memicingkan matanya lalu perlahan menunjukkan jari tengah nya padaku.

"A-Apa?" Tanyaku terkejut, sekaligus bingung. Aku membuang muka, begitu juga CEO Valendo.

°°°°°

Makan malam bersama keluarga Valendo berjalan dengan khidmat, sesekali Aku melirik kearah CEO Valendo.

"Baiklah kita langsung saja ke acara inti kita" Ucap Ayah Valendo pada Ayahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, Ada acara apa?

"Baiklah semoga acar perjodohan ini berjalan dengan lancar" Jawab Ayah antusias.

"A-apa? Bu?" Bisikku pada Ibu kaget. Ibu mengangguk dan memicingkan matanya padaku, isyarat menyuruhku diam dan mendengarkan.

"Valendo, Apa Kamu setuju menikahi Aesya?". Tanya Ayahnya pada Valendo, Valendo terperanjat. Tak lama kemudian Valendo memperbaiki posisi duduknya, lalu ber-dehem.

"Aku setuju saja" Ucap Valendo mengejutkan ku, Kenapa Dia tidak menolaknya saja? Ah kacau mana mungkin Aku bisa hidup dengan Pria tua dan dingin itu? Aku semakin gelisah.

"Bagaimana dengan Mu Aesya?" Kali ini Ibunya Valendo yang bertanya padaku, wajahnya tidak se-ramah yang tadi, apa karena ini acara serius?

Aku memperbaiki posisi duduk ku, tubuhku sedikit bergetar sekaligus gugup, hah Aku bingung harus jawab apa?

"Aku..." Ucapku terbata dan sambil berpikir, keputusan sekarang ada di tanganku, semua yang ada di meja makan menatap ke arah ku, ini membuat ku semakin gugup dan kurang percaya diri. Apalagi ditambah Valendo yang menatap ku tajam, Dia sangat tampan dan mempesona jika bersikap seperti itu. Aku berharap Valendo menatap ku sinis, dan mengancam ku dengan raut wajah. Tapi Dia malah diam dan bersikap biasa saja.

"Baiklah, Aku sudah memutuskan..." Ucapku semakin gugup"

"Setuju" Ucap Valendo menambahkan, semau mata beralih pada Valendo. Lalu kembali menatapku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi, Aku hanya mengaguk mengiyakan.

"Baiklah, semoga kita besan yang baik dan ber-akuran" Ucap Ayahku bahagia. Aku hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala tidak jelas. Dan kepalaku sedang berpikir keras.

"Jadi kapan pesta pernikahannnya?" Tanya Ibu Valendo girang.

"Kita tunggu saja sampai mereka berdua siap" Jawab Ibuku menimpali.

"Ah iya! Mana cincin tunangannya?" Tanya Ibu Valendo sambil melirik kearah anaknya.

Valendo mengambil sesuatu dari sakunya, lalu mengeluarkan kotak berwarna merah hati dan membukanya, terdapat dua pasang cincin emas putih.

"Wah ini yang paling menegangkan" Ucap Ayahnya Valendo. Semua orang menatap kami berdua, Aku jadi malu.

Valendo mengambil salah satu cincin itu, dan menatapku dingin. Tentu saja Aku jadi enggan mengulur jariku.

"Ulurkan jarimu Nak" Ucap Ibu padaku. Aku menuruti perintah Ibuku, Aku mengulurkan jariku dengan sangat gugup. Valendo menarik tanganku paksa, lalu memasang cincin itu tepat di jari manis ku. Aku menatapnya sebentar, lalu membuang muka. Sekarang giliran ku yang memasangkan cincin itu pada Valendo, tanganku nyaris bergetar saat menyentuh jari-jarinya yang panjang. Aku menatap jari-jarinya bingung yang mana yang akan pas dengan ukuran cincinnya, Aku melirik sedikit kearah Valendo. Valendo menggerakkan jari tengahnya, Aku menatapnya lagi. Dan Valendo menggerakkan jari tengahnya lagi, Aku paham dan memasang cincin itu di jari tengahnya. Entah apa yang Dia pikiran sekarang, Aku tidak perduli.

Tepukan tangan menggema, pertanda acara tersebut sudah selesai. Aku bernapas lega sekarang, Akhirnya berakhir juga acar menjengkelkan ini.

Berikan ulasan Jika kalian suka, dukung Author +62 yang masih pemula ini. Terima kasih sudah membaca, semoga suka. Tunggu chapter berikutnya setiap Akhir pekan. See you

An_Ryecreators' thoughts
Next chapter