Prolog

Adrian POV

Aku tak peduli suara sirine mobil polisi yang mengejar jauh di belakangku. Jantungku memompa lebih cepat sehingga aku merasa seolah dadaku akan meledak. Kemarahan sudah diubun-ubun dan aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini. Buku-buku jariku terlihat memutih di atas kemudi yang kucengkram dengan sangat erat.

Bukan, aku tak marah kepada siapapun melainkan kepapa diriku sendiri. Dengan segala kecerdasan yang orang bilang kumiliki, aku bahkan merasa benar-benar menjadi orang paling bodoh di dunia. Bagaimana bisa aku membohongi diri sendiri selama ini.

Percayalah, berpikir bahwa yang kita lakukan demi kebaikan orang lain tak akan selamanya benar. Bisa jadi hal itu malah membuat orang tersebut menderita. Parahnya, aku telah melakukan kesalahan yang akan kusesali sampai kapanpun.

Aku merutuki kebodohanku yang baru mengetahui semua kebenaran selama ini. Menyesal, tentu saja. Tapi setidaknya aku belum terlambat atau setidaknya itulah yang ingin kupercaya saat ini.

Aku bersumpah aku tak akan melepaskannya lagi sampai kapanpun meski seluruh dunia menentangku. Dan bagaimanapun caranya aku akan memiliki hatinya, lagi. Seperti dulu dia tergila-gila kepadaku, remaja yatim piatu yang beruntung bisa bertemu dengan wanita sepertinya. Hal itu akan kuingat sebagai anugrah terindah selama hidupku.

Suara sirine mobil polisi semakin terdengar dan aku menambah kecepatan mobil yang kukendarai hingga batas maksimal. Saat ini, hanya satu hal yang ada dipikiranku. Wanita yang sudah menguasai hati dan pikiranku sejak sepuluh tahun yang lalu. Kali ini aku akan memilikinya, bagaimanapun caranya.

Setelah hampir tiga puluh menit sampailah aku di sebuah apartemen yang belakangan ini sering kukunjungi. Aku tau polisi masih ada di belakangku tapi sumpah demi apapun aku tak peduli dengan mereka.

Dengan tergesa aku membuka pintu mobil dan membantingnya. Sekarang rasanya jantungku akan meledak. Entah kenapa perasaan yang kurasakan saat ini malah khawatir. Aku sangat takut dan aku tidak tau apa yang kutakutkan.

Berutungnya saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam sehingga aku tidak perlu menunggu lift turun, jika tidak mungkin saja aku akan menghancurkan lift ini.

Polisi masih saja mengejarku dan mencoba untuk segera sampai sebelum lift tertutup, namun sudah bisa kutebak kalau mereka tidak akan berhasil menahan pintu lift ini. Perlahan-lahan mereka hilang dari pandanganku saat pintu lift tertutup.

Ketika pintu lift terbuka aku langsung menerjang keluar dan segera berlari di sepanjang lorong. Tak butuh waktu lama untuk sampai di depan pintu unit yang kutuju.

Oh sial aku sangat gugup!

'Tenang Rian, tenang.' Batinku kepada diri sendiri.

Ingin rasanya aku langsung menerobos masuk dan memeluk wanita yang ada di dalam sana dengan erat. Tapi aku tidak ingin dia salah paham. Setelah aku menormalkan nafasku aku mencoba menekan bel pintu secara perlahan.

Sekali, dua kali, hingga tiga kali masih tak ada jawaban. Kudengar suara langkah kaki semakin mendekat.

Oh shit! Hampir saja aku melupakan mereka. Dengan cepat aku memasukkan sandi pembuka pintu otomatis. Tentu saja aku tahu.

"Diandra." Panggilku dengan lembut, hanya dia orang yang bisa membuatku berbicara selembut ini.

Tak ada jawaban dan aku semakin khawatir. Kulangkahkan kaki panjangku menuju kamarnya. Ketika aku melewati ruang tv, mataku tak sengaja menangkap sesuatu yang tak asing keluar dari belakang sofa. Sepasang kaki! Dan aku tau jelas itu kaki Diandra.

Aku melangkah dengan perlahan, takut akan apa yang aku temukan disana. Bagaimana jika dia tidak bernafas lagi? Astaga apa yang kupikirkan?!! Tidak ada alasan untuk hal itu benar-benar terjadi. Dia baik-baik saja tadi siang.

"Adrian.." kudengar suara lirih Diandra memanggil namaku dan dengan cepat aku berlari.

"Dian.." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku ketika aku melihatnya terbaring tak berdaya dengan hidung dan mulut yang mengeluarkan darah. "Dira!!!" teriakku.

Aku membalik tubuhnya yang berbaring menyamping dan mendekapnya. Dia terbatuk dan aku sadar dia kesulitan bernafas karena darah yang mengalir dari hidungnya.

Kumiringkan kembali kepalanya agar menghadap kearahku dan dia langsung saja membenamkan wajahnya ke dadaku.

"Hey.. Dira, dengar aku. Tetaplah sadar dan jangan tutup matamu." Tak peduli apa yang telah terjadi di sini atau siapa lagi yang mencoba membunuhnya, yang kupikirkan saat ini adalah nyawa wanitaku yang mungkin saja berada di ambang batas.

Seolah dia tau bahwa aku akan menggendongnya, dia menahan lenganku dan menggeleng.

"Sayang kita harus ke rumah sakit sekarang, please.." suaraku terdengar serak menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Jujur, aku sangat takut.

"Adrian.. oh tidak, kau.. Aldrich.. aku telah.. uhuk.. kehi.. kehilangan Adrian-ku.." pertahananku hancur dan aku menangis di hadapannya, mendengar dia berkata 'Adrian-ku' membuatku bahagia sekaligus takut. Bahagia karna akhirnya aku tau bahwa aku masih ada di hatinya, takut karna bisa saja saat ini dia akan meninggalkanku selamanya.

"Tidak sayang, tidak. Aku masih Adrian yang dulu yang akan selalu kau miliki." Kukecup punggung tangannya yang mengelus wajahku.

"Ak.. a.. I lost.. you.. and you will.. lost me," kudengar suaranya semakin serak dan berkali-kali ia tersedak darah di mulutnya. "ta.. tapi.. aku.. akan.. se.. selalu.. men.. mencintai.. mu. I love you.. Adrian." Dia terbatuk lagi dan kutau kesadarannya mulai menghilang.

"Dira! Dira! Sayang aku mohon sayang, aku mohon jangan tinggalkan aku, buka matamu." sambil menepuk pipinya aku mulai terisak.

Aku terisak semakin keras dan aku bersumpah aku tidak pernah menangis apalagi terisak di depan siapapun kecuali wanita ini. Hanya dia yang bisa membuatku tak berdaya.

"Dira!! Hey.. Dira!! I love you too, Dira!!" aku sangat panik saat ini, dan mencoba mengguncang bahunya, "Hey.. aku juga mencintaimu maka kau harus bertahan."

Dengan segera aku membawanya keluar menuju mobilku. Akhirnya aku meminta bantuan polisi untuk menyelidiki apa yang terjadi sedangkan aku segera membawa pujaan hatiku ke rumah sakit terdekat.

Dalam perjalanan aku terus menggenggam tangannya dengan erat. Aku sengaja membuat ia duduk di kursi penumpang depan agar nafasnya tak terganggu, "Aku tidak pernah melupakanmu sehari pun. Aku selalu mencintaimu selama ini dan akan selalu begitu selamanya, maka berjanjilah untuk bertahan, Diandra."

Hanya aku dan Tuhan yang tau betapa aku sangat memikirkan Diandra di setiap waktuku.

"Bertahanlah, sayang."

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika dia berhenti bernafas maka tidak ada alasan lagi untuk aku bernafas di dunia ini.

avataravatar
Next chapter