19 Best Friend

Hallo semuanya!! Maaf baru muncul ke permukaan 🙏🙏 boleh baca part sebelumnya kalau udah lupa 😅

Happy reading !!!

--------------------

"Orang tuaku sudah meninggal dan perusahaan ayahku juga sudah direbut oleh orang lain," ucap Diandra dengan kesedihan di wajahnya, Claire menahan nafas mendengar kenyataan lain yang lebih menyakitkan daripada kehilangan seorang kekasih.

Bagaimana Diandra melewati ini semua?

Claire tidak tau harus menanggapi bagaimana sehingga dia memilih untuk memeluk Diandra dengan erat.

"Hey.. aku tidak apa-apa, itu sudah berlalu sejak lebih dari dua tahun yang lalu."

"Pasti sulit sekali bagimu, Di." Ucap Claire yang masih memeluk Diandra. Tanpa dia sadari, wajah Diandra berubah menjadi murung.

'Memang sulit sekali, Claire," jawab Diandra dalam hati.

Setelah Claire melepaskan pelukannya untuk menatap Diandra, Diandra sudah tersenyum kembali seperti biasa.

"Kau bisa berbagi semuanya kepadaku," ujarnya tulus.

Diandra tersenyum bahagia mendengar ucapan Claire, mengingat ketika dua tahun yang lalu Elina datang mengulurkan tangannya dan juga berkata demikian membuatnya merindukan wanita itu.

"Setelah aku kehilangan jejak Adrian, orang tuaku terus memberiku semangat, mereka bilang bahwa aku harus tetap pergi belajar walau tidak bersama Adrian. Siapa tau ketika aku sudah sukses nanti, aku akan lebih mudah mencari Adrian. Memang pemikiran naif untuk gadis berusia tujuh belas tahun, tapi aku tetap pergi untuk melanjutkan kuliah.

"Saat aku menyelesaikan kuliah, aku harus membantu Papa menghandle perusahaan. Papa mengajariku banyak hal, awalnya aku tidak memikirkan apapun sampai suatu hari Papa bilang dia akan memindahkan perusahaan atas namaku setelah aku menolak perjodohan dengan putra rekan bisnis Papa."

"Perjodohan?" tanya Claire memastikan.

Diandra mengangguk sebagai jawaban sebelum melanjutkan, "saat itu aku baru berumur 22 tahun dan tentu saja aku berniat mencari Adrian maka sudah pasti aku menolaknya. Lagipula orang tuaku tidak memaksa perjodohan itu, tapi sepertinya rekan Papalah yang memaksa."

"Mengapa mereka memaksa?" tanya Claire lagi yang dijawab Diandra dengan mengedikkan bahunya.

"Entahlah, tapi dari yang aku lihat, dia tidaklah seperti teman yang baik bagi Papa, yahh.. mungkin semua pertemanan bisnis memang seperti itu,"

"Saat itu aku mulai yakin bahwa Papa menyembunyikan sesuatu tapi aku tidak berani bertanya. Sampai suatu hari kami terlibat kecelakaan yang disengaja yang menyebabkan.. kedua orang.. orang tuaku... mereka meninggal," lanjut Diandra terbata-bata.

Claire menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia tidak menyangka Diandra harus kehilangan kedua orangtuanya karena orang lain yang haus akan harta.

Flashback on

Darah menetes di matanya. Namun, ia tidak bisa membedakan mana rasa sakit dan rasa perih. Rasanya, semuanya terlalu cepat hingga tubuhnya mati rasa sebelum ia bisa merespon.

Mobil yang mereka tumpangi masih berguling di sepanjang jurang yang cukup tajam, namun ia masih sadar. Setidaknya ia tau apa yang terjadi, mereka kecelakaan.

Diandra masih bisa melihat ibunya yang telah kehilangan kesadaran di jok depan, berlumur darah. Kondisi sang ayah tak jauh berbeda, namun sepertinya pria paruh baya itu masih cukup sadar untuk memanjatkan doa dan meminta keselamatan, setidaknya untuk istri dan anaknya.

Guncangan mobil berhenti sesaat setelah suara tabrakan yang cukup memekakkan telinga. Mobil itu menghantam batu di pinggir sungai atau mungkin di tengah sungai, tapi bukan itu hal yang penting.

Diandra mencoba membuka mata walau darah terus menetesi mata dan wajahnya yang mulus tanpa cela. Sepersekian detik kemudian barulah ia sadar bahwa.. ia telah kehilangan Ibunya.

Tidak, Ibunya tidak ada di dalam mobil, wanita itu hilang dalam arti yang sebenarnya. Mungkinkan Ibunya terjatuh ke sungai? Atau mungkinkah ia terjatuh saat mobil berguling di sepanjang jurang?

"MAMA…!!!" teriak Diandra dengan sisa tenaga yang ia punya.

"Diann..hh.." lirih pria di balik kemudi yang tak lain adalah ayah Diandra.

"Papa? Astaga!! Papa, are you okey?!!"

Diandra langsung turun dari kursi penumpang belakang dan berusaha membuka pintu kemudi. Namun sepertinya dewi keberuntungan tidak berpihak kepadanya karena pintu itu terhimpit bagian depan mobil yang remuk setelah menabrak batu teramat besar di tepi sungai tersebut sehingga pintu pengemudi tidak bisa dibuka.

"Diann..hh, lari nak.. uhuk.. larii!!"

"No!! Aku nggak akan ninggalin Papa, hiks.. bertahanlah, Papa," ucap Diandra kemudian berputar menuju kursi penumpang depan yang tadi ditempati sang Ibu, namun sayangnya air sungai terlalu deras, sepertinya sungai itu cukup dalam.

"Papa, bertahanlah hiks.. Diandra akan disini bersama Papa," derai air mata tak kunjung berhenti dari manik coklat Diandra.

Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang mendekat, melihat Diandra yang akan mendekati mereka, Harry Mendrofa menggenggam tangan putrinya dengan erat.

"Diandraa.. sayang, dengar Papa, pergi dari sini uhuk.. pergi kemana saja asal..hh, asalkan jangan menemui.. Tony dan putranya uhukk.." Diandra semakin terisak melihat darah yang terus keluar dari tenggorokan ayahnya.

"Kau tidakkhh.. tidak perlu mau.. uhukk.. jangan menikah dengan putranya.. carilah Adrian, nak," tangis Diandra semakin menjadi melihat ayahnya yang seakan menjemput maut.

"Diandra sayanghh.. maafkan Papa.." kalimat terakhir yng diucapkan Harry Mendrofa membuat Diandra berteriak histeris sambil berusaha mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya.

Ia bahkan melupakan perintah sang Ayah untuk lari sampai ia mulai kehilangan kesadarannya perlahan-lahan sebelum semuanya menjadi gelap, segelap takdir yang menantinya di hari esok.

Flashback off

"Apa Tn. Tony tidak memaksamu lagi menikahi putranya?" tanya Claire tanpa basa-basi.

Diandra tersenyum miris sebelum menjawab, "tidak setelah dia mengambil perusahaan Papa, bahkan rumah dan semua properti yang Papa dan Mama punya."

"Bagaimana bisa?!!" teriak Claire yang begitu kaget mendengar hal yang ia anggap cukup gila.

"Jangan berteriak di telingaku, okey?" Claire hanya terkekeh geli.

"Tepat setelah hari pemakaman Papa, Tn. Tony datang dan menunjukkan transaksi jual beli yang ia lakukan bersama Papaku. Tentu saja aku tau dia membuat tanda tangan palsu, tapi aku kalah dalam persidangan setelah menuntutnya atas tuduhan pemalsuan tanda tangan," jelas Diandra.

"Huhh.. sudahlah, lagipula aku belum tentu bahagia dengan harta itu," ucap Diandra setelah menghela nafas lega.

"Apa kau yakin tidak ada alasan lain dibalik semua itu? Bisa saja mereka punya dendam lama kepada orangtuamu, kan?" tanya Claire mencoba memastikan.

"Entahlah Claire, kalaupun ada aku tidak tau itu apa. Tapi yang terpenting sekarang dia tidak memaksaku lagi untuk menikahi putranya," jawab Diandra.

"Kau pernah bilang padaku bahwa seseorang telah menghalangimu bekerja di perusahaan manapun. Apa dia yang melakukannya?" tanya Claire lagi yang dijawab anggukan oleh Diandra.

Claire mencoba mencari alasan lain dibalik semua musibah yang menimpa Diandra. Memang alasan yang masuk akal hanya satu, karena harta. Tapi, mengapa mereka juga tega menghalangi Diandra bekerja di perusahaan manapun?

"Wait.. "pemakaman Papa" katamu? Bagaimana dengan Ibumu?" tanya Claire yang baru saja memproses perkataan Diandra sebelumnya di kepalanya.

"Mama.." Diandra menggeleng lemah, "mereka tidak menemukan Mama ditepi jurang ataupun di sungai," air mata sudah membasahi wajah cantik Diandra.

Claire memeluk wanita di sampingnya lalu mengusap punggungnya mencoba menenangkan, ia tidak menyangka ada seorang wanita tangguh yang telah merasakan penderitaan luar biasa selama bertahun-tahun.

Sebagai seorang wanita, Claire seolah bisa merasakan apa yang dialami oleh orang yang kini ia anggap sahabat.

Ya, tanpa ucapan kata Claire sudah menganggapnya sebagai sahabat sejak mereka menghabiskan waktu bersama di jam makan siang kantor maupun di hari libur.

Tanpa mereka sadari hati mereka semakin dekat sampai tahap saling percaya dan saling menguatkan seperti sekarang ini.

Claire melepaskan pelukannya, ia harus mengatakan kepada Diandra bahwa ia sudah menganggap Diandra sebagai seorang sahabat.

"Mengapa kau mempercayakan semua cerita itu padaku? Apa kau tidak takut terjadi sesuatu?"

"Aku tidak punya apa-apa lagi, Claire. Tidak ada yang perlu aku takutkan, lagipula…"

"Lagipula?" tanya Claire tak sabaran melihat Diandra yang mengantung kalimatnya.

"Lagipula bukankah kita bersahabat?" jawab Diandra dengan balik bertanya kepada Claire.

"Tentu saja! Best friend!!" pekik Claire sambil menyodorkan kelingkingnya yang diikuti Diandra dengan senang hati.

Claire bahagia mengetahui bahwa Diandra juga menganggapnya sebagai seorang sahabat. Dan tentunya ia juga sangat bahagia mengingat Diandra adalah sahabat wanita pertama yang ia miliki.

Mereka kembali berpelukan dan tersenyum ceria seolah mengungkapkan bahwa semua masalah akan mereka hadapi bersama-sama.

✏✏✏ Penulis :

Aku mohon maaf karna sudah sangat jarang update cerita ini 🙏🙏 ada beberapa alasan sebenernya..

Pertama, karna kemarin aku kuliah online dan punya banyak banget tugas 😭😭 akhirnya dua hari sebelum puasa aku udah selesai UAS :")

Kedua, karna gk ada yg nyariin? Iya, soalnya gk ada yg nanyain kpn cerita ini update 😅 selain krna sibuk nugas aku juga gk punya motivasi buat nulis walaupun kadang ada waktu sedikit. Percayalah motivasi dari kalian sangat mempengaruhi mood-ku untuk menulis, aku bukan gk ada ide.. cuma gk mood nulis aja, jdi maafkanlah aku yg amatir ini 😢😢 aku gk minta banyak kok, cuma minta vote komen sama review dari kalian sebagai motivasi buat aku

Udah segitu aja dulu bacotan penulis, maaf ya kalau kepanjangan 😂😂😂

avataravatar