1 Perjodohan

- Ketika lisanmu yang menyapa, terasa seperti lecutan yang menembus hingga ke tulang-belulangku. Dan saat itu pula, hatiku membeku - 

- May -

*****

Pernikahan, salah satu bentuk ibadah yang didamba oleh hampir setiap pasangan manusia untuk menghalalkan ikatan cinta suci di antara mereka. Umumnya setiap wanita dirasuki kebahagiaan ketika mengetahui akan menjalani ikatan sakral tersebut. Tapi tidak untuk seorang wanita dewasa bernama Maira.

Di umurnya yang sudah 29 tahun ini, Maira masih ingin bersenang-senang dengan kehidupannya, mengumpulkan pundi-pundi, dan menghabiskan waktu untuk travelling, keliling dunia jika bisa. Baginya, pernikahan hanyalah pengekangan kebebasan hidup. Seperti yang ia lihat dialami oleh Bundanya.

Dan tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk bersegera menjemput jodohnya, seperti saat ini. Ia akan segera bertemu dengan pria pilihan kedua orangtuanya.

Maira Faizhura, wanita yang tengah sukses meniti karir di sebuah badan donor milik negeri Sakura, Jepang ini sedang berusaha melawan takdir yang diputuskan oleh kedua orangtuanya.

Hari ini Ayahnya, Farhan, dan Bundanya, Fita, memaksanya untuk menghadiri acara perjodohan antara ia dan seorang pria yang merupakan anak dari kenalan orangtuanya.

Sudah sejak sebulan yang lalu kedua orangtuanya mendesaknya agar mau bertemu dengan calon menantu pilihan mereka, namun Maira selalu punya alasan untuk menolak. Tentu saja pekerjaannya yang menjadi alasan utama. Karena dalam seminggu ia bisa menghabiskan waktunya untuk  mengunjungi hutan-hutan di seluruh negeri ini. Tapi kali ini, Maira mulai jengah dengan paksaan orangtuanya. Terutama, Bundanya. Sehingga dua hari yang lalu, ia memutuskan menyetujui untuk menghadiri pertemuan hari ini.

Beberapa jam yang lalu, Maira masih bimbang. Akan tetap menghadiri acara perkenalan itu atau tidak. Namun kemudian Maira mengambil keputusan dengan mantap. Ia memutuskan akan tetap menghadiri pertemuan itu, tapi dengan satu tujuan. Dan tujuannya itu pastinya akan membuat kedua orangtuanya murka padanya.

Maira berlari memasuki lobi Mall terbesar di Jakarta Selatan ini. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah jam tangannya. Waktu menunjukkan ia sudah telat dua puluh menit.

Dalam hatinya berdo'a semoga keterlambatannya kali ini tidak menyebabkan kedua orangtuanya marah padanya. Karena nantinya apa yang akan ia sampaikan, pastinya akan membuat mereka lebih naik pitam lagi.

Maira berlari menyusuri setiap lantai Mall untuk mencari nama restoran yang sudah direservasi oleh Bundanya. Ini pertama kalinya ia melangkahkan kaki masuk ke dalam Mall besar ini. Maklum saja, sejak kecil Maira bukan anak Mall seperti anak perempuan lainnya. Ia lebih suka bermain di luar, melakukan aktivitas outdoor yang menantang dan menguji adrenalinnya.

Sejak kecil, Maira memang anak perempuan yang tomboi. Hal itu dapat terlihat dari penampilannya saat ini. Rambutnya yang panjang sebahu hanya diikat asal, dengan poninya yang terurai kemana-mana.  Mengenakan atasan kemeja dengan lengan digulung hingga sikunya, menggunakan kaos putih polos sebagai inner-nya, celana denim model paku, sepatu hiking, tas backpack yang terpikul di punggungnya, dan tangannya yang dipenuhi aksesoris gelang tali.

Tiba di lantai tiga, ia menemukan restoran yang dicarinya. Maira pun masuk ke dalam dan mencari sosok kedua orangtuanya.

Pandangannya mengitari ke seluruh ruangan restoran yang terlihat berkelas itu. Beberapa detik kemudian, matanya menemukan sosok Bundanya yang duduk dengan posisi membelakanginya. Maira berjalan menghampiri meja yang sudah ditempati oleh kedua orangtuanya dan sosok yang bisa dibilang akan menjadi calon mertuanya.

"Assalamu'alaikum. Yah, Bun, maaf telat!" Maira menyentuh pundak Bundanya dari belakang. Semua yang duduk mengelilingi meja itu pun menolehkan pandangan ke arahnya.

Mereka semua menjawab salam Maira hampir serempak. Namun kedatangan Maira itu disambut dengan mata memicing oleh Bundanya. Tatapan sang Bunda menelanjanginya dari bawah kaki hingga ujung kepala. Maira mengerti arti tatapan wanita yang telah melahirkannya itu. Tadi pagi Bundanya memang sudah berpesan agar ia berpenampilan secantik mungkin seperti layaknya seorang wanita feminim. Bahkan sang Bunda telah membelikannya gaun kasual yang jika dikenakan akan menonjolkan kewanitaannya. Namun gaun itu sengaja Maira tinggal di rumah.

Maira pun hanya membalas tatapan Bundanya dengan setengah tersenyum. Sementara

Ayahnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat penampilan anaknya yang seperti preman itu.

"Kamu pasti Maira ya, silahkan duduk." Seorang wanita yang duduk berhadapan dengan Bundanya menarik kursi disebelahnya untuk diduduki oleh Maira.

"Terima kasih, Tante - Maaf, dengan Tante siapa ya?" Maira bertanya dengan agak cengengesan, terdengar sedikit tidak sopan. Namun ia langsung menduduki kursi yang sudah disediakan itu.

Melihat sikap anaknya itu Fita pun melebarkan matanya yang mengindikasikan rasa terkejutnya. Tidak percaya bahwa anaknya ini sama sekali tidak mengingat nama wanita yang akan menjadi calon besannya itu. Fita sudah berkali-kali menyebutkan nama sahabatnya itu kepada Maira, putri satu-satunya itu. Bahkan info tentang umur, pekerjaan, dan segala bibit, bebet, bobot dari calon suaminya itu telah ia beberkan. Tapi, tentu saja omongannya hanya masuk kiri - keluar kanan di telinga putrinya ini.

"Maira, saya Winda. Tapi, panggil saja saya dengan sebutan Ummi." Winda yang masih tampak cantik di usianya yang sudah lewat kepala lima, bertutur dengan lembut.

"Eh...emmm, sebelumnya mohon maaf ya, Tante Winda. Bukan saya bermaksud kurang ajar, nih. Tapi, saya 'kan belum menerima perjodohan ini, begitu juga dengan anak Tante. Jadi, untuk sekarang mending saya panggil 'Tante' aja ya? Daripada nanti enggak taunya perjodohan batal, tapi saya terlanjur panggil dengan sebutan Ummi. 'Kan nggak enak. Apalagi kalau ternyata takdir berkata mertua saya 'Ummi' yang lain, masa saya punya dua Ummi?" Maira berceloteh sekenanya, mengungkapkan pemikirannya.

"May!" Fita membentak putrinya itu. Tangannya mengepal di atas meja, sedang menahan gemuruh di dadanya. Menurutnya, anaknya ini sudah kelewat batas mempermalukan kedua orangtuanya dengan sikapnya yang tidak sopan itu.

"May, bicara yang sopan!" Kini Ayahnya yang memang pendiam dan jarang marah, turut angkat bicara. Ia menaikkan intonasinya.

"Lho, bagian mana yang nggak sopan, Yah? May sudah minta maaf duluan sebelum bicara. Lagipula, May cuma mengutarakan pendapat kok. Tante Winda aja sepertinya nggak marah 'tuh!" Maira menoleh ke arah Winda yang duduk di samping kanannya yang memang terlihat selalu tersenyum sejak tadi. Meskipun kalimat Maira terkesan menyinggung, namun Winda tidak mempermasalahkan hal itu. Ia sudah mengenal sosok Maira sejak kecil. Ia sudah mengetahui perangai Maira yang memang blak-blakkan dan apa adanya.

Fita memijat dahinya yang tidak pusing. Sungguh ia malu dengan perangai anaknya ini. Sementara Farhan berusaha mengusap punggung istrinya, memintanya untuk bersabar.

"Om nggak nyangka kamu sudah sedewasa ini sekarang. Tambah cantik!" Pria yang duduk di sebelah kanan Winda berujar. Maira menebak pria paruh baya ini pasti suami dari Winda. Hanya saja wajahnya terlihat lebih muda.

"Maaf, Om siapa ya? Suaminya Tante Winda, ya?" Maira mencondongkan badannya ke depan, sementara kepalanya menoleh ke samping kanan Winda.

"Ini namanya Om Gagas, adiknya Tante. Kalau suami Tante sudah meninggal tiga tahun yang lalu." Winda yang menjawab pertanyaan Maira.

Maira pun menganggukkan kepalanya dengan dihiasi senyum tipis. Ada sedikit rasa tidak enak karena sudah terburu sok tahu.

"Oh ya, Maira belum pesan makanan 'kan? Ayo, pesan dulu." Gagas menyodorkan buku menu kepada Maira.

"Mmm...enggak usah, Om. Terima kasih. Saya juga harus buru-buru balik ke kantor lagi. Mohon maaf juga karena datangnya telat, sebenarnya tadi saya lagi ada kerjaan. Tapi, terpaksa saya tinggalin karena sudah terlanjur janji dengan Ayah dan Bunda. Jadi, kesini cuma mampir sebentar aja." Maira menatap Bundanya tajam. Dalam batin, Maira merasa ini saatnya ia mengutarakan narasi yang sudah tersusun rapi di kepalanya. Saat Maira akan membuka mulut, tiba-tiba Fita duluan membuka suara.

"Oh iya, yang mau jadi calon suami mana nih?" Mendengar pertanyaan Bundanya itu, Maira ikut melihat sekeliling mejanya. Ternyata memang sang pria yang akan dijodohkan dengannya belum hadir disana. Maira telat menyadari kealpaannya.

Tapi, masa bodoh dengan sang pria itu. Hadir atau tidaknya dia di restoran ini, tetap tidak akan merubah keputusan Maira.

"Nah ini, yang ditunggu-tunggu baru datang." Gagas tersenyum sumringah melihat kedatangan keponakannya itu.

Semua mata pun tertuju pada sosok pria berumur 31 tahun itu. Tak terkecuali Maira, bahkan di antara semua pasang mata yang ada di sana, Mairalah yang paling terkejut melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya itu. Saking tercengangnya, Maira bangkit dari kursinya.

Pria itu pun menunjukkan ekspresi sama terkejutnya dengannya.

"Nak, ini Razi, anak Tante." Winda memperkenalkan putranya itu pada Maira yang berdiri membeku di sampingnya.

Namun keduanya tengah saling bersitatap, sama-sama menunjukkan ekspresi yang tak dapat ditebak oleh siapapun.

"Kamu?"

"Kamu 'kan - Jadi, kamu orangnya yang mau dijodohkan sama aku?"

"Sepertinya begitu." Pria yang dipanggil Razi itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Wajahnya terlihat angkuh dan dingin.

"Ck...ternyata kamu enggak berubah ya." Maira balik menatapnya dengan sinis.

"Kamu juga!" Razi menaikkan sebelah alisnya ke atas.

"Bunda, detik ini juga batalkan perjodohan ini! Nggak sudi punya suami manusia gunung kayak dia!" Maira menengadahkan telunjuknya ke arah Razi.

"Enggak nyadar diri ya? Bukannya kamu yang manusia gunung?" Razi menyeringai tawa sinis sembari memperhatikan penampilan Maira dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.

"Razi!" Winda menegur putranya itu.

"Tante Winda, Om Gagas, saya mohon maaf. Tapi sebelum melangkahkan kaki kesini, sebenarnya saya sudah memutuskan untuk menolak perjodohan ini. Dan sekarang, saya semakin yakin untuk menolak perjodohan ini."

"Baguslah kalo begitu." Kedua tangan Razi bersedekap di depan dadanya. Matanya berpaling dari Maira.

Maira pun segera mengangkat backpack yang tadi diletakkannya disamping kursinya. Wajahnya menunjukkan amarah yang terpendam. Winda, Gagas, dan kedua orangtuanya bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi

"May, mau kemana kamu?" Fita menegur anaknya.

"Ma-Maira, tunggu sebentar, Nak. Ini ada apa sebenarnya?" Winda menahan lengan Maira, mencoba mencegahnya yang berniat hengkang dari tempat itu.

"Maaf, Tante. Tadi sudah saya katakan sebelumnya, kalau kedatangan saya kesini hanya sebentar saja. Dan saya pun sudah memberikan jawaban. Jadi, saya mohon pada Tante dan Om untuk menghormati keputusan saya."

"Kamu sudah janji sama Bunda dan Ayah untuk datang ke pertemuan ini." Fita meradang pada putrinya.

"May sudah memenuhi janji untuk datang, Bun. Dan tujuan May datang kesini, hanya untuk menyampaikan penolakan terhadap perjodohan ini."

Maira menatap bola mata Bundanya lekat.

"Lho, ini...ada apa sebenarnya di antara kalian?" Winda bertanya semakin penasaran karena melihat sikap Maira yang menjadi dingin. Tatapannya diarahkan pada putranya yang baru saja tiba di tempat itu.

"Ummi yakin mau jodohin Razi dengan cewek nggak sopan model begini?" Razi mendekati Umminya itu.

"Eh, kalo ngomong ngaca! Kamu tuh yang enggak sopan!" Winda memberanikan diri menghadap Razi.

Kini jarak mereka sangat dekat, saling berhadapan, saling menatap tajam.

"Kamu yang harus ngaca! Mana ada cowok yang mau nikah sama cewek berandalan nggak punya sopan santun kayak kamu!"

Plakkk! Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Razi. Meninggalkan ruam kemerahan di pipinya itu.

Pemandangan itu membuat semua orang yang berada di dalam restoran itu terperangah. Termasuk orangtua mereka dan Gagas.

"Kamu!" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari lisan Maira dengan suara setengah parau. Telapak tangannya mengepal. Rahangnya menegang. Ditahannya bulir air mata yang akan menggenang.

"Maira!" Fita menegur putrinya itu dengan lantang. Kini kepalanya terasa cenat-cenut.

"Maaf semuanya, saya pamit dulu. Assalamu'alaikum!" Maira segera berbalik arah meninggalkan restoran itu. Tidak menghiraukan suara Ayah dan Bundanya yang memanggil berkali-kali. Dengan cepat ia berjalan menuruni eskalator Mall tersebut. Tangisan yang tadi ditahannya kini telah tumpah. Sambil berlari, kedua tangannya sibuk menghapus bulir-bulir itu.

Ia bukan tipe wanita cengeng seperti ini. Namun luka menganga dari masa lalu yang telah tertutup itu kini kembali terbuka. Semua gara-gara pertemuannya dengan Razi, pria yang pernah menyakitinya di masa lalu.

Sesampainya di depan lobby Mall, Maira mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia memilih salah satu nomor kontak yang tertera di layar untuk dihubungi.

"Halo, Rur! Malam ini bisa kita ketemuan?"

"Yaaahh! Pliiissss! Gue lagi butuh lo, nih!." Maira berusaha meyakinkan seseorang yang menjadi lawan bicaranya. Ia mencoba menahan isak tangisnya.

"Lo tau nggak sih gue habis ketemu siapa? Si mantan wakil ketua OSIS!"

"Oke! Nanti jam 7 di warung Mang Dadang ya. See you!" Maira menutup panggilannya dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku.

Maira segera berjalan menuju ke lahan parkir, tempat ia memarkir motor bebeknya. Ia akan kembali ke kantornya di daerah Senayan. Meski hatinya masih diliputi dengan kekesalan, Maira tetap harus fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun tidak dipungkiri, bayangan akan pria itu kini melekat di otaknya.

*****

avataravatar
Next chapter