webnovel

MATA KETIGA

Banyak orang mengatakan gue anak Indigo, tapi sebenarnya hanya melihat dunia lain yang tidak bisa dilihat mata manusia ...

pangeran_Biru · Horror
Not enough ratings
20 Chs

Liburan Di Desa 1

Kami menerima usulan pak Husein untuk dapat liburan disini setelah misteri di pabrik selesai, terlepas dari kejadian menimpa pamannya Hasan dengan seorang wanita. Kejadian di pabrik sudah tidak terjadi kesurupan lagi, apa yang terjadi dengan Narti juga sudah ditangani oleh pak Ustad.

Liburan di desa memang sangat menyenangkan, udaranya masih sejuk dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan dengan segala aktifitasnya. Disini seakan semua di freshkan otaknya agar kembali segar setelah kembali ke kota nanti. Gue terus terang ini pertama kalinya ke desa, walau kakek dan nenek gue pun tinggal di desa tapi masih asri disini, dan gue lebih banyak tinggal di pesantren saja.

Kalau kemana-mana selalu jengah karena terlalu di hormati oleh para penduduk desa sekitar sehingga apa yang kita lakukan tidaklah bebas karena menyandang nama besar kakek sebagai ulama yang di segani. Sawah terhampar dimana-mana, sungai dan gunung tak ubahnya lukisan alam. Hasan mengajak gue memancing di sungai, memetik buah atau pun istirahat di pondok tengah sawah.

Bagi Hasan dan Sandi mungkin sudah terbiasa, tapi tidak bagi gue dan Bayu yang tak biasa dan mudah lelah berjalan kemana-mana walau pengalaman ini tak terlupakan.

"Indah banget ya disini, angin berhembus !" ucap Sandi sambil menyender di kayu pondok tempat beristirahat, dan semua mengangguk mengamininya.

"Ga, lo engga lihat sesuatu disini ?" tanya Hasan penasaran, gue menggeleng.

"Engga, kan sudah gue bilang! di desa dan kota lain cerita! disini mereka sembunyi di tempat yang tertentu saja, sedang di kota karena saking padat penduduknya dimana pun pasti ada !" jawab gue.

"Maksud gue, disini tuh dimana saja ?" tanya Hasan.

"Di rumpun bambu yang kita lewati tadi ada tuh! lalu di sungai, lo lihat pohon besar tidak jauh dari jalan itu? nah itu kerajaan jin dan satu lagi kuburan yang sempat dilewati kemarin juga ada !" jelas gue menceritakan yang terjadi, yang gue lihat semua selama berjalan-jalan tadi, semua diam dan bengong.

"Jangan khawatir, disini tidak sembarangan mahluk astral menampakan diri! pertama asal tidak mengganggu mereka, lalu jangan jalan sendirian setelah magrib atau tengah malam dan juga pada malam tertentu saja mereka menampakan diri !" lanjut gue tersenyum.

"Ga, lo pernah di ganggu mahluk astral tanpa sebab ?" tanya Sandi.

"Tanpa sebab itu pasti ada sebabnya! bisa tanpa sengaja kita melewati kawasan milik mahluk astra hanya ketidak tahuan kita! atau menolong seseorang, bisa jadi ada orang yang benci kita! dan gue pernah bertarung untuk pertama kalinya dan mahluk itu sangat berbahaya, sehingga ... " gue pun menarik kaos ke atas.

"Astaga lo seperti di cakar harimau ?" semua terkejut melihat sebuah 3 tanda cakaran di dada gue.

"Bukan, sejenis mahluk yang mempunyai kuku panjang !" jawab gue.

"Ih serem sekali ya !" ujar Sandi bergidik.

"Semua kemampuan spesial pasti mempunyai sesuatu positif dan negatifnya! ataupun resikonya dan itu sudah menjadi jalan takdir gue !" jawab gue. semua terdiam.

Setelah itu kami pun pulang ke rumah pamannya Hasan, karena hari sudah sore. Paman Husein mengajak kami beribadah berjamaah di mesjid kampung. Karena agak berjarak maka kami menggunakan obor dalam perjalanan. Harus melewati pematang sawah yang gelap, ada yang sudah mempunyai listrik dan sebagian lagi belum masih menggunakan lampu tradisional.

--------------------

Setelah Sholat magrib, kami diminta kembali ke rumah oleh pamannya Hasan karena dia ada rapat dahulu dengan yang lain. Kami pun pulang dengan berjalan kaki seperti tadi. Sampai di sebuah belokan ke sungai.

"Hi ... hi ... hi !"

Terdengar suara tawa seperti mba kunti, kami pun berhenti dan semua menatap gue, gue hanya menggeleng kepala.

"Hei, siapa kamu !" teriak Hasan.

"Ha ... ha ... !" terdengar suara tawa, dan keluarlah empat orang pemuda yang seumuran dengan kami.

"Sialan lo Asep !" Hasan memaki kesal dan setelah tahu siapa mereka.

"Tumben San tidak lari ketakutan seperti biasa !" ejek salah satunya.

"Sekarang mah sudah sering lihat yang gituan !" ujar Hasan masih kesal.

"Oh, karena anak indigo itu ya !" jawab Asep sambil menunjuk gue, rupanya keberadaan gue sudah menjadi buah bibir disini.

"Kalau iya memang kenapa? kamu tuh suka main-main Sep yang begituan apa tidak takut nantinya kejadian ?" ujar Hasan memperingatkan.

"Disini mah udah biasa kali !" Asep terlihat tak takut.

"Maaf San mereka teman-teman kamu ?" tanya gue, Hasan mengangguk.

"Ini Asep dan teman main gue kalau kerumah paman !" katanya, Asep hanya mengangguk tersenyum.

"Teman kamu itu bertiga atau berempat ?" tanya gue lagi, semua terdiam.

"Ya berempat lah !" jawab Asep heran.

"Yakin ?" tanya gue sambil menatap salah satu teman mereka paling belakang.

"Hi ... hi ... !" terdengar lirihan pelan, tentu saja hal itu sontak mengejutkan semuanya membuat siapapun merinding karena keluar dari mulut temannya.

"Hai Jaja kamu teh ngapain !" teriak Asep sambil menepuk pundak temannya yang masih menunduk. Hasan dan Sandi menyadari teman si Asep mirip orang kesurupan yang sama di kelas mereka.

"Ng ... hiks.... hiks ... A Asep jahat !" tiba-tiba Jaja bergerak seperti perempuan dan merangkul lengan Asep.

"Anjir, lepasin aing !"" Asep terkejut dan mengeluarkan kata kasar ( lepasin, gue ).

"Ih Asep mah, pan resep ka nyai ... hi ..hi ... !" muka Asep berubah menjadi ketakutan. (resep- suka, pan-kan)

"Tolong ...!! teriaknya. Semua terdiam kaku ketakutan, gue mendekati Jaja dan kemudian tangan gue memegang kepala Jaja.

Dan tiba-tiba, keduanya pingsan. Semua terkejut dan mencoba menyadarkan keduanya, untunglah tidak apa-apa.

"Sudah kalian pergi pulang saja !" perintah Hasan, setelah keduanya sadar mereka mengangguk dan langsung pergi.

"Apa beneran tadi si mba ?" tanya Sandi.

"Bukan hanya jin iseng !" jawab gue, dan kami pun pulang ke rumah.

----------------

Kersokan harinya kita berencana akan pergi ke sebuah objek wisata air terjun yang terkenal di desa ini. Air terjun putri namanya, konon dulu tempat para bidadari turun dan mandi. Jaraknya cukup jauh, kita menggunakan kendaraan angkot untuk pergi ke sana.

Setelah itu berjalan kaki sekitar 40 menit, tiba-tiba terdengar suara klakson motor dan itu Asep dan teman-temannya yang masing-masing satu motor.

"Kalian mau ke curug putri ?" tanyanya, yang seperti sudah melupakan apa yang terjadi tadi malam, kami mengangguk.

"Ya udah bareng !" ujarnya, kami saling pandang akhirnya mau juga, karena menurut Hasan jalannya agak menanjak.

Hasan berboncengan dengan Asep, gue dengan Jaja yang kerasukan kemarin, sedang Sandi dan Bayu dengan yang lainnya.

Ketika di bonceng Jaja, gue merasakan sesuatu kalau dia mempunyai perasaan yang sensitif alias bisa merasakan mahluk lain, hanya itu tidak bisa melihat seperti gue. Walau tubuhnya kekar seperti anak desa lainnya.

"Ja, kamu bisa merasakan mahluk lain ya ?" tanya gue.

"Ah engga, siapa bilang ?" tanyanya tidak percaya.

"Jangan bohong, kejadian kemarin bukan yang pertama kalinya kamu kerasukan kan? itu karena kamu punya perasaan sensitif dan di sukai mahluk astral untuk memasukinya !" jelas gue.

"Engga tahu aku mah, suka engga ingat !" jawabnya, gue memeluk erat pinggangnya, karena jalannya bergelombang banyak batu, takut gue jatuh.

Akhirnya kami sampai, curug atau air terjunnya tidak besar tapi cukup tinggi ada tiga kolam dengan batu-batu besar di sekelilingnya, sangat indah dan siapa pun akan tergoda untuk berenang di air yang jernih ...

Bersambung ....