1 Pindah rumah

Denting jam dinding seakan saling bersahut-sahutan memecah kesunyian malam

Entah sudah malam Jumat yang keberapa pulih kali, pasca ulang tahunku yang menginjak usia dua puluh tahun dan kini aku berusaha tidak terpejam.

Aku sangat muak harus bermimpi hal yang sama, hal yang aneh dan sama sekali aku tidak mengerti.

Aku Karina Permatasari, anak pertama dari Arina dwi wingsih dan Reno Ardiansyah yang berprofesi sebagai seorang abdi negara.

Semasa hidupku aku selalu berpindah rumah karena tuntutan pekerjaan papa. Kini kami sudah lima tahun menetap di kota kelahiran papa di Jawa Tengah.

Sebuah kota kecil yang terkenal dengan kuliner bakso dan penghasil Kacang mede.

Sedangkan aku sendiri masih seorang pengangguran, sejak lulus dari fakultas pertanian di salah satu Universitas negeri di Yogyakarta.

Aku hanya membantu usaha Mama untuk membuka kedai makanan di pinggir jalan, dan juga membantu warga setempat yang tidak mempunyai lahan untuk mengembangkan sistem pertanian hidroponik.

Aku mempunyai seorang adik perempuan bernama Katya Wardani, ia masih berusia enam belas tahun dan duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas.

..........

"Nduk, sarapan dulu?"

Mama mengguncang-guncangkan tubuhku yang masih terbalut selimut tebal, karena udara dingin di desaku terasa begitu menusuk.

"Cah wedok kok masih turu, biar aja rejekinya di pangan pitik!"

(Anak perempuan kok masih tidur, biar rejekinya di makan ayam! )

Tiba-tiba terdengar pekikan suara Mbah Putri yang selalu cerewet.

Aahhh ... suaranya begitu membuatku pusing, aku langsung beranjak untuk mandi dan segera ikut ritual sarapan bersama keluargaku.

Padahal rasanya mataku masih terasa berat dan lengket, bagaimana tidak! Aku tidak tidur, hingga waktu menjelang subuh untuk menghindari mimpi aneh itu.

"Nduk, ada yang mau papa sampaikan!" tutur Papa yang sudah rapih dan terlihat tampan dengan seragam kebanggaannya. Aku menolehkan kepala menatap wajah papa.

"Lusa kita harus pindah ke Sukabumi, papa dipindah tugaskan disana."

Puffftt

Aku tak sengaja menyemburkan secangkir teh tubruk yang sedang ku seruput karena mendengar ucapan papa.

What? Yes! Akhirnya aku bisa lepas dari Mbah uti yang bawelnya Nauzubillah!

Aku senang bukan kepalang, tetapi sekuat tenaga aku berusaha sembunyikan perasaanku.

Karena bagaimanapun, aku merasa kasihan meninggalkan Mbah Putri dan Mbah Kakung di kampung. Walaupun ada Bulik Ningsih yang merupakan adik dari papa, yang memang tinggal di sebelah rumah Mbah.

"Sekolahku gimana pak?" tanya Katya dengan wajah kecewa, mungkin dia berat berpisah dengan teman-temannya.

Kalau aku sih, masa bodo amat! Aku gak punya teman dan aku bisa lepas dari kejaran si Mas Aryo, anak pak RT yang sukanya nempel-nempel kaya benalu kalau melihatku.

"Gak usah dipikirkan, papa udah urus semuanya bahkan untuk rumah tinggal kita," jawab Papa.

"Wah! Kalau begitu aku boleh dong ke Jakarta! Aku mau cari kerja di sana Pa!" ucapku antusias.

Ah! Aku sangat ingin bekerja di kota itu, dan bertemu sahabatku Arini yang sudah terlebih dahulu menetap di sana.

"Boleh, tapi ada syaratnya!" ucap Papa menjawab pertanyaanku.

"Opo Pa?"

"Kamu harus menikah terlebih dahulu, papa dan mama sudah menjodohkanmu dengan anaknya tante Riska!"

Sontak saja aku membulatkan kedua netraku, mencoba mencerna seluruh perkataan yang di ucapkan papa.

Oh tidak, ini bukan jaman Siti Nurbaya yang masih nge-trend dengan drama perjodohan!

"T-tapi pa?"

"Gak ada tapi-tapian! Kamu pilih, mau dijodohkan dengan anaknya tante Riska atau sama si Aryo, m**onggo!" sambung Mama yang bikin moodku seketika hancur luluh lantah.

Aku mengerucutkan bibirku, aku benar-benar kesal sekali.

Akhhhh! Masa iya aku harus menikah oleh orang yang gak aku kenal!

"Ya kalau kamu gak mau ya gak apa-apa, tapi kamu gak boleh kemana-mana! Kamu tetep ikut Mama dan papa aja terus!" titah papa dengan santainya sambil makan sepotong tempe goreng kesukaannya.

Ih!

Aku berdecak kesal, cari pekerjaan di kota kecil itu sulit! Ujung-ujungnya di pabrik. Aku gak suka itu, terlebih jika harus membuntuti mama dan papa yang pindah-pindah terus.

"Ya wes, terserah Mama dan Papa aku manut!" ucapku ikhlas gak ikhlas, ya ... biar saja nanti aku hasut calon suamiku itu biar memutuskan perjodohan kita.

..........

Hingga hari kepindahan kami tiba, kami hanya membawa barang-barang seadanya. Karena papa telah menyewa sebuah rumah dengan perabotan yang telah lengkap.

Perjalanan memakan waktu kurang lebih empat jam.

Satu jam dari kampungku menuju bandar udara di Solo, satu setengah jam perjalanan kami di pesawat hingga mendarat di Bandar udara Soekarno-Hatta, dan satu setengah jam lebih perjalanan Kami dari bandara menuju rumah baru kami.

Sebenarnya kami tinggal di perbatasan Sukabumi dan Bogor. Jadi tidak terlalu jauh dari Ibu kota sapi karena jalan di sana macet minta ampun, karena banyaknya angkutan kota yang berhenti sembarangan serta mobil-mobil truck dari pabrik-pabrik air mineral yang berlalu lalang, membuat perjalanan kami terhambat.

Sampailah kami di sebuah perumahan yang cukup mewah dengan patung-patung gajah yang terdapat di gerbang masuknya. Berkebetulan rumah yang akan kami tempati, tidak terlalu jauh dari gerbang utama.

Rumah bergaya minimalis dan cukup nyaman dengan taman komplek yang terdapat di samping kiri rumah itu.

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang terus memandangiku, mataku sontak tertuju pada rumah tua bergaya kolonial yang terletak diujung jalan, tepatnya dengan posisi rumah tusuk sate.

Rumah yang tidak terawat, bahkan telah ditumbuhi semak belukar yang lebat di halamannya.

Namun, entah kenapa aku merasa tidak asing dengan rumah tersebut? Bahkan aku merasakan adanya aura kesedihan di tempat itu yang begitu menyayat hati.

Ah, mungkin hanya perasaanku saja, aku kembali menyibukkan diri dengan memilih kamar tidurku.

"Enggak pokonya kamarku di sini!" pekik Katya yang seenaknya menyela masuk kamar utama yang berada di lantai dua.

"Ih bocil ini ! 'Kan mba duluan, ade!" teriakku tak mau kalah dengan bocah yang ngeselin yang keras kepala itu.

"Biarin, toh mba juga bakal nikah dan pindah ke Jakarta sama suami Mba."

Aku berdecak kesal, melawannya juga percuma karena Mama pasti belain dia dan berkata,"Udah dong ngalah sama adeknya."

Huh ... kesal sekali, kenapa aku harus punya adik mengesalkan seperti dia! Apa gak bisa di tukar tambah aja?

Pada akhirnya aku mengalah saja karena tidak ingin memperpanjang perdebatan tidak berguna itu, aku berjalan malas ke kamar kedua di lantai dua.

"Lumayanlah" ucapku saat melihat isi kamar, kamar tersebut terdapat jendela yang menghadap ke taman di samping rumah dan juga bisa melihat rumah tua tersebut.

"What?" aku mengucek-ngucek mataku memastikan apa yang aku lihat hanya khayalanku semata.

Aku mau lihat sekilas ada seorang wanita melambaikan tangan kearahku.

avataravatar
Next chapter