4 3. Rumah Baru

Aku menelan ludah ketika mendapati rumah yang tak terlalu besar, tetapi cukup bagus. Kupikir, kami pindah ke rumah yang megah bak istana di negeri dongeng. Namun nyatanya, tidak.

"Kita masih berdua, jadi, rumah sebesar ini cukup untuk kita. Kalau terlalu besar, nanti kamu kesepian," ucapnya yang seolah paham apa yang ada dipikiranku.

"Buka pintunya," perintahku yang saat itu juga ia laksanakan, senyumannya selalu mengiringi kepatuhannya.

Kanjeng tidak ikut masuk, ia kembali ke luar untuk mengambil koper dan segala macam bawaan yang Ibu siapkan. Ketika menyalakan lampu ruang tamu, terlihat sebuah sofa sederhana dan juga rak dinding yang dihiasi beberapa tanaman hias plastik, serta buku-buku seperti novel. Aku tersenyum melihat buku-buku itu, meskipun kata Ibu aku ini bengal, tetapi minat bacaku sangat tinggi. Dalam waktu satu hari bisa membaca beberapa novel, karena memang aku suka sekali membaca.

Pernah salah satu teman menyarankan untuk mencoba menuliskan sebuah cerita, tetapi aku tidak berani karena merasa aneh. Apa kata Ibu apalagi Abang kalau tiba-tiba aku jadi penulis? Sudah pasti mendapat caci maki terutama oleh Abang. Membayangkan wajah garangnya membuat merinding!

"Sayang, bisa bantu Mas sebentar?"

Dengan malas, aku kembali ke luar rumah, lalu mendapatinya sedang berdiri tegap. "Apa?"

Sebal sekali melihat ia tersenyum dengan malu, ada sesuatu yang ia sembunyikan. "Nih, untuk kamu," ucapnya seraya mengeluarkan sebuket bunga mawar merah dari balik punggungnya. Serta di sebelah kanannya, terdapat sebuah novel yang sejak dari beberapa bulan lalu sudah menjadi incaranku.

"Lo kok, bisa dapet itu! Launchingnya kan, besok!" pekikku tak percaya.

Ia tersenyum. "Bisa, dong. Apa yang nggak bisa buat istriku ini." Mendengarnya berkata seperti itu, membuat bulu kuduku berdiri. Geli sekali. Tanpa aba-aba, kusambar novel yang tengah ia genggam.

"Eh, bunganya belum dibawa!"

"Buat lo aja!"

***

Kamar kami tidak terlalu luas, tetapi sangat nyaman dan indah. Di sisi kanan dan kiri kepala tempat tidur, terdapat lampu gantung berbentuk seperti teropong. Aku membanting tubuh ke tempat tidur, menyalakan AC dan menggulung diri dalam selimut. Biarkan saja Kanjeng benahi semua barang sendirian. Biar makin menyesal dia menikah denganku.

Saat hendak memejamkan mata, aku teringat novel yang dibelikan olehnya, bagaimana bisa ia mendapatkan novel itu padahal launching saja belum? Ah, aku mencoba bodo amat, lalu membacanya sembari bersandar pada sandaran tempat tidur.

Terdengar suara derap langkah kaki, tiba-tiba Kanjeng membuka pintu. Kepalanya menyembul dari balik pintu.

"Makan dulu, yuk," ajaknya.

Aku melirik tajam, kemudian melanjutkan membaca novel. Tanpa diduga, ia malah menghampiri. Merampas novel yang tengah dibaca. "Ih, apa, sih!" pekikku yang begitu kesal karena tak suka diganggu ketika sedang membaca.

"Makan dulu. Mas nggak peduli kamu mau cuekin Mas dalam hal apa pun, kecuali soal makan dan salat, kamu harus nurut sama Mas."

"Nggak mau. Gue nggak suka diganggu kalau lagi baca!" tanpa permisi, dengan sopannya ia mengangkat tubuh kecilku ini, keluar kamar menuju meja makan. Aku berontak sekuat tenaga, tetapi ia kuat sekali.

"Maaf, terpaksa Mas gendong. Kalau nggak, kamu nggak makan," ucapnya sambil terkekeh. Beberapa kali pukulan ini mendarat di punggunya, tetapi ia seolah tak acuh dan hanya tertawa seperti orang sinting! Ah, kesal sekali rasanya!

Kanjeng menurunkanku dengan hati-hati, mata ini hanya mampu melirik tajam ke arahnya, lalu sesaat kemudian pandanganku teralihkan oleh sajian yang tak bisa ditebak masakan siapa ini?

"Aku yang masak," ujarnya seolah bisa membaca isi hatiku, mungkin ia membaca raut wajaku yang tengah kebingungan.

"Emang lo bisa masak?"

Lagi-lagi, ia mengulas senyuman yang rupawan. "Bisa dong, makanya kamu nggak perlu khawatir karena nggak bisa masak. Kita bisa masak bareng."

"Idih, ogah!" pekikku yang lagi-lagi direspon dengan tawa. Masak bareng? Mimpi!

***

Sebuah tangan halus membelai wajah, serta embusan angin yang entah datang dari mana terasa menyapu wajahku. Setelah sekian lama, aku baru tersadar dan langsung membuka mata lebar-lebar, laki-laki itu! Berani sekali dia tidur di sini setelah semalaman aku menyuruhnya tidur di sofa atau kamar tamu.

"Ih, ngapain!"

Alis tebal, bibir merah, mata hitam pekat, dengan lancang memandangiku. Pakaiannya sudah rapi, sebuah peci hitam memper-tampan wajahnya yang memang sudah tampan. Sedetik kemudian, tamparan keras mendarat di pipiku. Jangan pernah membayangkan yang tidak-tidak! batinku.

"Bangun, yuk. Salat subuh. Mas mau ke masjid, takut kamu bablas. Sebentar lagi adzan."

Aku mengucek kedua mata. "Gue juga ke masjid?"

"Nggak lah, perempuan di rumah aja salatnya."

Aku mengangguk-angguk lesu. Masih terkantuk-kantuk. Namun, meski malas, aku tetap berjalan ke kamar mandi, kemudian wudhu. Kanjeng sudah berangkat ke masjid, sesaat setelah dia ke luar, adzan subuh pun berkumandang.

Aku salat lebih dulu, secepat kilat. Setelahnya, sepertinya aku tertidur.

*

Cahaya sinar matahari yang mulai naik, menampakkan diri, menembus jendela kamar. Mataku mengerjap-ngerjap, puas sekali rasanya tidur setelah subuh. Dengan mata yang penglihatannya masih belum benar, samar-samar kulihat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Pantas saja, rupanya aku memang sudah tidak serumah dengan Ibu dan Abang, jadi tidak ada yang mengganggu dan meneriaki, "BANGUN! KEBAKARAN! KEBAKARAN!"

Rumah ini terasa sepi, sepertinya Kanjeng sudah mulai masuk kerja, tetapi masa dia tidak memberitahu? Lalu, kenapa ia tidak membangunkanku ketika hendak berangkat kerja?

"Ah, sudah lah. Bagus nggak ada dia. Kita mulai misi pertama!"

***

Bersambung...

avataravatar
Next chapter