3 2. Ibu minta cucu

Aku menunggu dengan cemas, meski Abang berkali-kali memanggil untuk membantu Ibu di dapur, aku tidak mau menghampiri. Biarkan saja Kanjeng yang membantu, biar dia merasa menyesal pula telah menikahi gadis yang tidak bisa apa-apa ini.

Sebal, dia asyik sekali bantu Ibu. Malas sekali menghampirinya, yang ada nanti aku yang harus menggantikan dia bantu Ibu. Setelah beberapa saat, akhirnya dia menoleh. "Sini lo!" tukasku samar-samar. Kurasakan sebuah cubitan memutar di pipi.

"Aduh! Apa sih, Bang. Perasaan akhir-akhir ini lo seneng banget cari gara-gara sama gue!" Refleks, kujauhkan wajah kami yang sangat dekat. Masalahnya, Abang kini tengah melotot. Netranya membulat maksimal, bagaikan harimau yang siap menerkam. "A-Apa lo!" tanyaku yang tiba-tiba saja tergagap.

Abang menggelengkan kepala, lalu menghela napas dengan kasar. "Apa-apaan itu tadi? Kok manggil Kanjeng, pake lo?"

"Lah emang kenapa? Suka-suka gue lah!"

Wajahnya terlihat frustasi. "Ya Allah, Ya Rabb. Apa salah hamba? Kenapa hamba punya Adik perempuan begini amat, ya? Udah jorok, malas, otaknya secentong!"

"Ih, apa sih, nggak jelas!" Terlihat Kanjeng menghampiriku, buru-buru aku menarik tangannya dan membawanya menjauh dari sini. Namun, sebelum kulakukan, Abang menghadang kami.

"Lo boleh deh, lo-gue sama gue. Tapi kalo sama Kanjeng, yang benar aja! Panggil dia Mas Kanjeng!" Wajahku memanas, perut langsung terasa mual. Rasanya mau muntah!

"Bener tuh, aku suka!" balasnya penuh semangat. Aku melirik tajam ke arahnya.

Seketika, tubuh ini bereaksi, benar-benar mual sekali. Aku benci muntah. Sebisa mungkin aku menahannya agar tidak keluar. Ibu yang melihatku begitu payah, langsung berlari kecil menghampiri. "Kenapa kamu? Kamu hamil, ya!" ucapnya semringah. kanjeng dan juga Abang ikut semringah.

"Kamu beneran hamil?" tanya Kanjeng.

Dasar bodoh. Apa dia lupa semalam dua guling menjadi pembatas kami saat tidur? Laki-laki itu, polos atau bodoh, sih!

***

Gara-gara kejadian itu, setiap hari Ibu berbisik. "Ibu minta cucu." Sehari lebih dari tiga kali. Disetiap ada kesempatan, Ibu selalu mengatakan itu. Aku sampai jengah, tetapi hanya bisa menahan emosi. Padahal, aku hanya masuk angin 

"Sini, sini," ucapku pada Kanjeng. "Lo ngomong apaan kemarin sama Abang? Kok dia bisa nanyain soal ngelayanin suami!' Belum apa-apa aku sudah kesal.

"Hah? Gimana maksudnya?" tanyanya sok polos.

Aku mendengus. "Ih! Nggak tahu, ah!"

"Mas beneran nggak ngerti maksud kamu, bener nggak bohong," ia berlari kecil, mensejajarkan langkahnya denganku. Kanjeng terus saja mendekat, membuatku jadi gusar dan lantas masuk ke kamar. Laki-laki itu mengikuti.

"Sayang, marah-marah terus nih."

"Sengaja! Biar lo ilfeel sama gue."

Kanjeng tertawa. "Nggak kok, Mas suka kalo kamu marah. Lucu, dan cantik," jawabnya sambil tersipu. Reaksi itu ... mau nangis rasanya! Ada yang salah dalam diri laki-laki itu. Segala caci dan makian yang telah kulontarkan seperti hanya sebuah lelucon saja.

"Dasar orang aneh. Jawab pertanyaan gue, lo ngomong apa sama Abang!" bentakku kemudian. Kalau Abang tahu, sudah pasti aku dijitak olehnya karena sudah membentak suami. Setiap hari, sebelum menikah Abang selalu memberi wejangan, termasuk menjaga martabat suami sebagai kepala keluarga. Aku tahu, membentaknya adalah salah satu dosa karena seakan merendahkannya. Namun, kembali ke tujuan awal, aku tidak ingin berlama-lama menjadi istri orang. Ingin bebas kembali sebagai jomlo yang bahagia.

"Mas nggak ada cerita apa-apa sama Abang Farhan, tadi sewaktu Abang liat Mas masak, dia langsung pergi," jawabnya dengan hati-hati. Aku terdiam beberapa saat, mencoba menerawang maksud dari ucapan Abang.

Sesaat kemudian, aku merasakan memanas pada pipi, rasanya seperti terbakar. "Kamu kenapa? Kok pipinya merah?"

"B-bukan apa-apa!" aku menjatuhkan diri ke tempat tidur, lalu menggulung diri dalam selimut. Menutupi wajah yang sepertinya kian merona. Beberapa kali kutampar pipi ini. Bodoh, bodoh, bodoh! Aku baru menyadari maksud dari ucapan Abang. Ya Allah ... apakah pikiran ini mulai liar? Membayangkannya saja, membuat merinding!

***

Keesokan harinya, adalah hari di mana aku harus berpikir keras. Harus berulah apa supaya kami tidak jadi pindah ke rumah milik Kanjeng. Menurut Ibu, kalau sudah menikah harus mandiri, tidak boleh serumah dengan orang tua karena itu tidak baik untuk rumah tangga kami.

Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, tidak masalah kami hidup berdua saja bukan? Justru bagus untuk menyelesaikan misi. Aku bisa bebas mengekspresikan diri.

"Jangan nakal ya anak Ibu. Nurut sama suamimu, surgamu sudah pindah pada suamimu. Ingat, harus nurut! Nanti Ibu akan sering nengokin kalian, ya. Sebetulnya Ibu berat, tapi semua ini demi kelancaran Ibu supaya cepat dapat cucu." Ibu! Demi apa aku malu sekali, padahal awalnya hati ini tersentuh sekali dengan ucapan Ibu yang membuat buliran bening ini tak sanggup lagi tertahan. Namun, kata-kata terakhirnya membuat air mataku masuk lagi. Gagal melow, Bu!

Kulirik Kanjeng, dia tampak mesem-mesem. "Insyaa Allah, Bu. Acha istri yang salihah, dia baik dan penurut sekali. Ibu nggak usah khawatir, Kanjeng akan terus membimbing Acha. Ibu kalau mau ke rumah, hubungi Kanjeng. Nanti Kanjeng jemput."

Baru saja mulut ini hendak memaki, sebuah jari mencubit pinggangku. Mulutnya menyerukan sebuah nama 'Mas Kanjeng'. Ah, kesepakatan kami kalau di depan keluargaku dan Kanjeng, aku akan memanggilnya dengan sebutan, Mas.

"Makasih ya menantuku. Ibu memang nggak salah pilih menantu. Ibu bersyukur. Tolong jaga baik-baik ya, bimbing dia terus."

"Pasti, Bu. Percaya sama Kanjeng. Hehe."

Aki menarik lengannya, lalu memeluk dan mencium Ibu. "Acha sama Mas Kanjeng pamit ya, Bu. Bang, gue pergi ya. Jangan kangen."

Akhirnya kami pergi dari rumah Ibu, setelah berpamitan pada Abang dan Ibu, karena Ayah sedang di luar kota. Aku dan Kanjeng mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, ia terus saja mengembangkan senyuman khasnya itu.

"Makasih, ya," celetuknya.

Aku memicingkan mata. "Makasih buat apa?" tanyaku murni karena penasaran.

"Makasih udah panggil aku Mas Kanjeng. Mas seneng banget." Aku tidak menjawab dan malas menjawab. Biarkan saja dia bahagia sesaat, karena sebentar lagi dirinya akan memasuki kandang singa.

~~~

2 jam kemudian.

Ibu mengirim pesan.

[Dek, jangan lupa. Ibu minta cucu. Kalo bisa, Ibu request kembar, ya.]

***

Bersambung...

avataravatar
Next chapter