2 1. Malam Pertama

"Acha, nanti kamar kalian di situ, ya," ucap Ibu sambil mengerling padaku. Apa-apan tatapan itu. Kalau bukan karen Ibu, ogah aku nikah sama si Kanjeng! Nggak dipungkiri sih, memang wajahnya sangat rupawan, sedap dipandang. Pertama kali bertemu, hati ini sempat goyah karena perlakuannya yang sangat lembut, tutur katanya baik, senyumannya manis dan khas sekali.

Awalnya aku tolak mentah-mentah permintaan Ibu yang menginginkan anak gadisnya ini menikah, tetapi sehari setelahnya, Ibu jatuh sakit. "Kalau Ibu keburu nggak ada, kamu jangan menyesal, ya," ucapnya kala itu. Meski aku ini sedikit keras kepala, mendengar Ibu berkata seperti itu hatiku ciut. Takut sekali membayangkan hal itu terjadi. Belum lagi kompor dari Kak Farhan, dia selalu membisikkan, "Serem, nanti jadi anak durhaka."

Semetara Ayah, hanya terkekeh dan menyerahkan keputusannya kepadaku. Tentu saja, sebelumnya ceramah dulu. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya pernikahan kami benar-benar terjadi. Namun, bukan tanpa tujuan, biarkan saja mereka merasa lega atas pernikahan kami yang sudah terlaksana, tapi lihat saja nanti. Rencana yang sudah kubuat tidak akan gagal!

"Sayang, nggak masuk? Kok berdiri aja di situ?" Aku terperanjat ketika sebuah tangan yang begitu halus menyentuh pundak. Seketika tubuh ini merinding. Laki-laki itu, tersenyum padaku. Apa-apaan dengan senyuman itu! Apa-apaan dia memanggil sayang? Lancang sekali!

Aku menatap dengan jijik. "Bukan urusan lo. Nggak usah panggil gue sayang," ucapku sengaja ketus. Berharap malam pertama kami satu ruangan, dia akan ilfeel.

"Nggak apa, Mas mau kita mulai membiasakan diri dengan panggilan sayang. Biar cinta terus setiap harinya. Hehe." Aku pikir, dia akan marah. Setidaknya raut wajahnya berubah, tetapi nyatanya dia biasa saja. Masih tersenyum dan menatapku begitu lembut, karena gugup aku menabrak tubuhnya dan langsung memasuki kamar.

Suasana di dalam kamar terasa canggung, setelah membersihkan make up dan berganti pakaian, aku berusaha terlihat biasa saja dan langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Tangan ini sibuk mencari ponsel yang tadi kutaruh di bawah bantal. Setelah menemukannya, kusibukan diri dengan menonton drama korea. Terlihat Kanjeng keluar kamar.

Setelah dia keluar, aku langsung terduduk dengan jantung yang terus berdegup dengan cepat. Aku sangat gugup dan ketakutan. Jilbab ini masih terpasang dengan rapi, aku tak berniat untuk melepaskannya walau sudah sah dengannya.

Di tengah rasa gugup ini, terdengar suara derap langkah kaki. Kanjeng datang! Buru-buru aku merebahkan diri lagi. "Sayang, Mas bawa lemon hangat, pakai madu. Supaya tidurnya pulas nanti." Dia menaruh nampan berisi air lemon itu, tepat di sampingku.

Laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku ini menunduk dan menghadap ke arahku. Tatapan kami bertemu dan terkunci selama beberapa detik, detak jantung ini sudah tak terkontrol lagi. Ya Allah, aku gugup sekali. "Diminum dulu, yuk? Seharian ini kan sudah capek terima tamu. Manis kok," ucapnya sambil membelai pipi.

Refleks, aku menangkisnya. "Jangan lancang!"

"Maaf ... yasudah, kamu minum dulu ya. Apa Mas harus keluar biar kamu mau minum ini? Kamu malu ya?" Aku tidak menjawab, dan langsung menyambar air lemon hangat itu. "Pinter banget istri Mas," ujarnya sambil tertawa kecil. Aku hendak mencacinya, tetapi ikut terhanyut dalam tawa kecilnya.

Sepertinya, dia memang orang yang sabar dan sederhana.

***

"Jangan deket-deket gue! Apalagi nyentuh. Awas aja kalo berani!" ucapku tadi malam. Dia hanya tersenyum dan membatasi kami dengan 2 guling, bukankah harusnya dia marah? Aku nggak ngerti bagaimana jalan pikirannya. Dia benar-benar tidak mendekat apalagi menyentuh, dia sangat patuh dengan ucapanku. Hanya sekali dia menyentuh bahu ketika tadi membangunkan untuk salat subuh.

Selepas salat, mata ini terus terjaga. Padahal biasanya langsung tertidur pulas. Aku meraih ponsel, hendak mengunduh drama yang baru saja tayang kemarin. Terdengar suara indah seseorang yang tengah melantunkan ayat suci Al Quran. Itu suara Kanjeng.

Menurut Ibu, Kanjeng adalah laki-laki baik dan salih. Keluarganya pun keluarga baik-baik. Kanjeng memiliki satu orang adik perempuan, dan mamanya yang katanya adalah seorang single parent. Kabarnya, papanya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Ah iya, aku dan Kanjeng terpaut usia 6 tahun. Kata Ibu, sangat cocok denganku yang butuh seseorang untuk membimbingku dengan sabar

Terdengar suara ketukan, sepertinya itu Ibu. Kanjeng yang tengah mengaji langsung berhenti dan membukakan pintu, dan ternyata memang benar Ibu. "Eh menantuku lagi ngaji, ya. Kok Acha nggak ikut sih?" What? Menantuku? Jijik sekali mendengarnya!

"Masih kecapean kayaknya, Bu. Ada apa, Bu? Ada yang bisa Kanjeng bantu?" tanyanya dengan sopan.

Ibu melirik sekilas ke arahku. "Ah nggak, sana masuk lagi. Nanti Ibu panggil kalau mau sarapan ya!" ujarnya yang langsung mendorong Kanjeng masuk dan menutup pintu kamar. Aku menggerutu, merasa malu dengan tingkah Ibu. Nggak biasanya Ibu seperti itu. Kanjeng tertawa sambil melirikku.

"Mau jalan-jalan ke luar?" tanyanya dengan lembut. Aku membuang muka tanpa menjawab. Lagi-lagi dia hanya tersenyum. "Yasudah kamu istirahat aja."

Kanjeng ke luar kamar, sedangkan aku kembali rebahan sambil memainkan ponsel. Apa enaknya menikah? Kehidupan sebelum dan setelah menikah sama saja, tidak ada bedanya. Ah, bedanya hanya sudah ada teman yang menemani tidur. Itu saja, kan? Kalau begitu enakan juga jomlo, sudah menikah akan repot urus ini itu. Apalag kalau sudah punya anak? Aku bergidig ngeri, membayangkan mempunyai anak bersama si Kanjeng. Hiiii!

Brak...!

Aku terhenyak. "Ih, bikin kaget aja!" omelku, ternyata itu Kak Farhan. Terlihat wajahnya yang memerah, seperti menahan emosi. Dia menarik tanganku. Tentu saja aku berontak.

"Ngapain sih lo, Bang! Udah mah nggak sopan main masuk aja, sekarang malah narik-narik gue! Lepasin!"

Hidungnya kembang kempis, lalu dia menoyor kepalaku. "Heh, Maemunah!"

"Acha, Bang! Nggak usah pake noyor bisa kali!" selaku.

"Ih, kesel banget gue punya adek macam lo. Lo ngapain diem aja di dalem kamar? Hah? Lo kagak malu apa laki lo lagi di dapur noh bantuin Ibu. Enak aja lo malah rebahan sambil main hp di kamar! Sini kagak lo ikut gue!" Kak Farhan menjewer telingaku, dan menggiring keluar kamar. Untung saja hanya ada kami, karena orangtua Kanjeng sudah pulang semalam. Kalau tidak, malu lah aku diperlakukan seperti ini.

Aku mendengus kesal. "Lah, gue nggak nyuruh! Lagian biarin aja dia bantuin Ibu, biar berkah!"

"Mata lo berkah! Dosa lo ya kagak ngelayanin suami. Sini pala lo gue pites!" Langkahku terhenti. Rasa sakit akibat jeweran Kak Farhan sampai tak terasa. Tiba-tiba saja pikiran ini melayang setelah mendengar kata-kata Kak Farhan.

'Dosa lo ya kagak ngelayanin suami' kata-kata itu terus terngiang. Apa maksud Kak Farhan? Jangan-jangan, si Kanjeng udah cerita sama Kak Farhan soal semalam? Waduh, gawat! Aku harus minta penjelasan padanya!

***

Bersambung...

avataravatar
Next chapter