2 Bab 2

Selesai dengan rapat, mereka pun pulang bersama ke kantor. Sepanjang perjalan, tidak ada pembicaraan sema sekali. Mereka fokus dengan pemikiran mereka masing-masing. Setelah menempuh waktu sekitar satu jam dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di kantor. Tanpa berkata apa-apa, Elita ke luar dari mobil bosnya dan segera masuk ke dalam gedung kantor.

Elang memperhatikan Elita yang berlari ke dalam kantor. "Umur berapa dia? sampai-sampai berlari seperti anak kecil!" cibir Elang kemudian ia turun dari mobilnya.

Ia berjalan masuk dengan wibawanya, senyuman cerah terukir indah di bibirnya. Saat melewati para karyawannya ia pun di sapa dan membalasnya dengan ramah. Ia terus berjalan dan masuk ke dalam lift untuk menuju ruangannya di lantai lima. Sampai di ruangannya ia duduk di kursinya dan tidak lama sebuah telpon masuk ke handphonenya.

"Kenapa, Ma?" tanya dengan lesu.

"kapan mau menikah?," ucap sang mama di sebrang telpon sana.

"Ma, pliss.... Elang masih ingin--"

"Menikah atau Mama coret dari KK?" tanyanya yang berteriak membuat Elang langsung menjauhkan telinganya.

"Ma, umur Elang tuh masih muda."

"33 tahun Elang, 33 tahun! Sepupu kamu yang 21 tahun saja sudah menikah. Kamu mau nikah umur berapa, hah?" tanya Mamanya kesal.

"Tenang Ma, nanti darah tinggi Mama kambuh."

"Mama gak mau tahu, kalau di ulang tahun Nenek kamu nanti kamu gak bawa calon istri. Siap-siap kamu Mama jodohin sama Kartika Kumala Dewi Ningtyas Brotowijaya."

"Ma--" Baru juga Elang akan berkata sambungan telponnya sudah di putus oleh Mamanya.

Elang langsung meletakkan handphonennya di atas meja kemudian memijat keningnya yang berdenyut nyeri. Dia masih ingin bebas, apa salahnya, sih, jika ia masih ingin bebas. Sewaktu ia kuliah di LA, dosennya saja ada yang masih lajang padahal usianya sudah 40 tahun bahkan ada yang menikah di usia 41 tahun.

Lagipula laki-laki gak ada batasannya untuk menikah, mau umur berapapun jika ia masih sehat ia masih bisa memiliki anak. Semua, kan kembali ke keadaan si wanita yang sehat atau tidak.

Elang menelpon Elita melalui panggilan intercom tapi, sekretarianya itu tidak mengangkat telponnya.

"Kemana dia?" tanyanya mengernyitkan dahi dan ia menutup telponnya. "Ah, iya. mungkin ke kamar mandi," ucapnya menjawab pertanyaannya sendiri.

Di ruangannya Elita ternyata sedang menelpon seseorang. "Ya, udah kalau begitu. Assalamualaikum, mmuach."

Tak ada balasan dari sambungan telpon yang hanya terdengar sambungan terputus. Elita hanya tersenyum mendapat perlakuan seperti itu. Elita kembali menelpon bosnya yang segera di angkat oleh bosnya. Belum juga dia berkata, bosnya itu sudah memintanya untuk datang ke ruangannya. Dengan langkah malas ia pun pergi ke ruangan bosnya.

Ia mengetuk pintu ruangan bosnya, setelah diizinkan masuk, ia pun masuk ke dalam. "Ada apa, Pak?"

"Buatkan saya kopi," ucapnya yang sedang duduk di sofa sambil memejamkan matanya.

Elita berjalan ke arah bar yang ada di ruangan Elang kemudian ia membuatkan pesanan Elang. "Bapak mau kopi apa?"

"Americano, pakai kopi biasa," ucapanya tanpa menatap Elita. Tanpa berkata apa-apa lagi dengan cekatan Elita mebuatkan pesanan Elang.

Ia berjalan menghampiri bosnya dan duduk di sebelah bosnya. "Maaf, Pak. Saya teledor," ucapnya saat ia sudah meletakkan kopi buatannya.

Elang membuka matanya kemudian menatap Elita. Mereka berdua saling memandang satu sama lain tanpa berkata apapun. "Apa kamu mau tidur bersama?" tanyanya tiba-tiba membuat Elita langsung membulatkan matanya.

"Apa-apaan, Pak! Enggak!" teriak Elita yang langsung berdiri dari duduknya.

Elang menegakkan tubuhnya dan ia mengambil kopinya, seperti biasa takaran Elita pas di lidahnya. "Kau habis menangis?" tanyanya yang kini mendongak menatap Elita.

"Enggak!"

Elang tersenyum, ia kembali meminum kopinya. "Mamaku meminta aku menikah, tapi aku tidak mau menikah," ucapnya sambil meletakkan gelas di meja.

Ia kembali menatap Elita, "Aku tidak ada rencana untuk menikah saat ini. Tapi Mamaku sudah mendesakku atau aku akan di jodohkan oleh wanita manja itu," ucapnya kemudian ia menghembuskan napasnya.

Ia menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya, "Maaf jika aku tadi memerahimu seperti itu. Aku terbawa emosi karena Mama tadi menghubungiku mengingatkan aku untuk membawa calon istri kehadapan orang tuaku. Ini saja Mama baru saja menelponku dan mengancamku."

"Bapak tinggal pilih salah satu wanita yang pernah bapak tiduri, semua beres."

"Menikah bukan seperti aku berganti-ganti lubang, menikah berarti aku harus setia seumur hidupku. Aku tidak mau terikat," ucapnya yang membuka matanya dan menegakkan tubuhnya.

"Kalau begitu bapak bilang saja bapak masih belum mau menikah," ucap Elita menatap seriusn Elang

"Sudah, tapi Mama saya tetap memaksa," jawab Elang.

"Ya sudah, kalau begitu bapak menikah," ucap Elita yang jadi kesal sendiri.

"Mudah saja menikah untuk menuruti permintaan Mama, tapi saya tidak memiliki wanita yang pas untuk di jadikan istri," ucap Elang lelah.

"Nona Tifani model cantik yang beberapa waktu lalu bapak kencani itu orang yang baik," ucap Elita.

"Dia hanya merengek meminta ini dan itu, bisa-bisa uangku habis walau itu tidak mungkin," ucap Elang.

"Bagaimana dengan Nona Prisil? Dia gadis anggun pemilik toko bunga dan sepertinya ia polos. Buktinya bapak tidak sampai hati membawanya ke ranjang," ucapnya yang kini sudah duduk di single sofa.

Elang mendengkus kesal dan ia kembali meminum kopinya. "Jadi, bagaimana, bapak mau saya telponkan Nona Prisil?" tanya Elita karena Elang tidak berkomentar apapun.

"Enggak!" ketusnya.

"Kenapa?" tanya Elita heran.

"Cewek manja dan cerewet, saya gak mau!"

"Cewek cerewet berarti dia sayang, kalau cewek enggak cerewet ada dua kemungkinan. Pertama dia memang tipe yang enggak cerewet dan nunjukin perhatiannya lewat tindakan sedangkan satu lagi karena dia udah enggak peduli."

"Cerewet boleh tapi tetap ada batasannya. Dia kalau cerewet enggak pernah lihat tempat dan situasi. Saya enggak suka!" jawabnya kesal.

"Humm... Bagaimana kalau Nona Agatha? Dia wanita pekerja keras," ucap Elita lagi. Ada beberapa orang yang dekat dengan bosnya, dan yang ia lihat secara kasar beberapa wanita yang sudah ia sebutkan cukup baik. Bukan seorang jalang yang biasanya menemani Elang di ranjang.

"Enggak! cewek muka datar dan serius, enggak masuk daftar!" tolak Elang.

Elita menghembuskan napasnya kesal, "Terus bapak maunya wanita seperti apa?"

"Wanita yang takarannnya pas," jawabnya sambil menyeruput kopinya.

"Nona Angel, bagaimana? Ia barista sekaligus pemilik cafe yang sering bapak kunjungi!" ucap Elita semangat.

"Wah!" ucap Elang menatap Elita tidak habis pikir. Takarannya pas, bukan berarti barista. "Cewek jadi-jadian kayak dia?" tanyanya.

"Cewek mah cewek, Pak. Mana ada jadi-jadian."

"Rambut pendek, tindikkannya banyak dan bodynya kayak cowok. Kalau bukan cewek jadi-jadian, apa?" tanyanya malas dan kembali meminum kopinya.

"Dia tetap seorang perempuan, Pak. Yakin, deh, setelah dia mengenal cinta dan menjadi seorang istri pasti gayanya akan berubah," ucap Elita seraya tersenyum walau dalam hati dia sudah merutuki bosnya yang banyak maunya.

"Enggak! Saya enggak mau wanita seperti itu," ucap Elang,

"Ya udah, deh, bapak cari aja wanita yang pas untuk bapak."

"Kamu mau gak?" tanyanya tiba-tiba membuat Elita mengerjapkan matanya berkali-kali. "Cantik!" panggilnya karena Elita hanya diam.

"Bapak jangan becanda!" ucap Elita tidak suka.

"Saya serius," jawab Elang Seraya tersenyum.

"Kenapa saya? Bapak enggak cinta sama saya, jadi enggak seharusnya bapak minta hal seprti itu pada saya," ucap Elita.

"Hum, karena kamu tahu alasan aku menikahi kamu. Jadi, aku enggak perlu berpura-pura tersenyum di hadapan kamu seolah-olah aku bahagia dan aku masih bisa menikmati kebebasanku," jawabnya begitu enteng.

"Bapak sendiri berkata "menikah berarti aku harus setia seumur hidupku." Terus, apa maksud bapak masih bisa menikmati kebebasan?" tanya Elita yang tidak habis pikir dengan jalan pikiran bosnya.

"Aku menikah karena Mamaku bukan karena kemauanku, jadi--"

"Kalau begitu cari wanita yang mau menjadi istri bapak di depan keluarga. Bapak bisa menyewa seorang wanita," ucap Elita memotong ucapan Elang. Ia kesal, ada seorang laki-laki seperti Elang yang tidak berperasaan seperti itu. Mana ada seorang istri yang rela suaminya bermain dengan wanita-wanita di luar sana.

"Saya permisi, Pak. Masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan," ucapnya, kemudian ia pun melangkah pergi meninggalkan ruangan Elang.

Setelah pintu tertutup, Elang menghembuskan napasnya, "Dasar bodoh! seharusnya gua enggak bilang seperti itu," ucapnya dan ia memukul beberapa kali bibirnya.

Pulang kerja, Elang langsung pergi ke mobilnya karena tidak menemukan Elita di ruangannya. Ia segera melajukan mobilnya menuju halte bus tempat biasanya Elita menunggu bus saat pulang kerja. Ia bisa melihat Elita yang berdiri di halte bus saat mobilnya akan mendekat, bus yang biasanya Elita naiki datang. Elita naik ke bus dan Elang hanya mengumpat kesal karena ia telat.

"Besok gua harus minta, maaf!" ucapnya tegas.

Elang pun melajukann mobilnya meninggalkan halte bus. Ia pergi ke tempat gym langganannya untuk mengeluarkan keringat supaya lebih tenang. Kalau keringat olahraga ranjang beda cerita.

Ia menghabiskan waktu setengah jam untuk berolahraga sisanya ia tebar pesona dan mencari mangsa untuk ia dekati dan ia ajak ke ranjang.

avataravatar
Next chapter