22 Bab 22

Yey... up guys....

Happy Reading...

Elita mengajak Aldebaran berjalan di taman rumah sakit menggunakan kursi roda, sedangkan Elang sedang tidur di kamar. Katanya ia masih lelah dan ingin tidur. Elita pun membiarkan saja Elang berisitirahat di kamar. "Ma," panggil Aldebaran sambil menatap ke arah depan. Kini mereka sedang duduk di bawah pohon rindang yang ada di rumah sakit itu.

"Kenapa, sayang?" tanya Elita lembut sambil menatap anaknya.

"Al boleh tidak, tinggal di panti saja?" tanyanya yang kini menatap Elita dengan raut wajah tidak terbaca.

"Kenapa?" tanya Elita dengan wajah bingungnya. Ada apa dengan putranya, kenapa anaknya ingin tinggal di panti. Apakah sebenarnya anaknya tidak menerima pernikahannya dengan Elang.

"Al hanya ingin tinggal saja di sana."

"Apa kamu tidak menyukai Papa Elang?"

Aldebaran menoleh ke arah mamanya yang menatapnya dengan bingung. "Enggak, Ma. Al senang dengan Papa Elang. Ia orang yang baik."

"Terus kenapa Al mau tinggal di panti, apa Al enggak sayang sama Mama lagi? Apa Al masih marah karena Mama dulu pernah ninggalin Al di panti?" tanya Elita bertubi-tubi. Matanya sudah berkaca-kaca, ia sama sekali tidak tahu apa yang salah pada dirinya hingga anaknya seperti ini.

"Al, enggak marah sama sekali sama Mama."

"Terus, kenapa Al mau tinggal di panti ninggalin Mama sendiri?"

"Mama enggak sendiri, Mama ada Papa Elang."

"Al juga ada Mama dan Papa Elang, kenapa Al malah mau tinggal di panti?" tanya Elita yang tanpa sadar sudah menjatuhkan air matanya.

Hatinya terasa sakit dan juga bertanya-tanya ada apa gerangan dengan putranya. Kini Elita jongkok di hadapan Aldebaran kemudian meraih kedua tangan putranya. "Ma, apa yang mama lakuin. Bangun, Ma," ucap Aldebaran panik sambil menarik tangan ibunya agar bagun dari jongkoknya.

"Jangan tinggalin mama. Mama sayang, Al. Jika pernikahan Mama dan Om Elang buat Al enggak nyaman, Mama akan pisah dengan om Elang."

"Ma, bangun. Al sama sekali enggak ada masalah sama pernikahan Mama dan Papa Elang," ucap Aldebaran sambil terus menarik tangan mamanya.

Bukan bangun, Elita malah kini menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang di tutupi anaknya, dari raut wajah Al ia bisa melihatnya. Walau ia tadi sendiri bingung karena raut wajah tidak terbaca anaknya, tetapi kini ia bisa melihat wajah anaknya itu ingin berkata tapi ia takut. "Ma, bangun, ma," pinta Aldebaran dengan wajah bingungnya. Ia ingin menarik tubuh mamanya agar bangun, karena tidak seharusnya mamanya berjongkok di hadapannya. Namun, ia sendiri masih tidak bisa bangun dari kursi roda.

Dalam kebingungannya Al berusaha turun dari kursi rodanya hingga ia pun terjatuh membuat Elita memekik kaget. Ia segera membantu anakya bangun dan ia akan menggangkat tubuh Aldebaran untuk kembali ke atas kursi. Aldebaran menahan lengan Elita membuat ibunya itu kini membungkuk sambil menatapnya. "Mama enggak salah, tapi Al yang salah."

Elita kini berjongkok di samping tubuh putranya sambil menatap putranya itu dengan air mata yang membekas di pipinya. Ia meraih tangan Aldebaran kemudian menempelkan ke pipinya. "Al enggak pernah salah sama mama. Al anak yang baik kebanggaan mama," ucapnya penuh kelembutan kemudian air mata itu kembali terjatuh dari sudut mata Elita.

Satu tangan Aldebaran yang terbebas mengusap air mata Elita. "Jangan nangis, ma," ucapnya yang mencoba menahan tangisannya.

Rasanya tidak tega melihat mamanya menangis karenanya. Sudah berapa banyak air mata mamanya yang di tumpahkan untuk dirinya. Ia ingin tinggal di panti bukan karena ia tidak menerima hubungan mamanya dengan Elang, tetapi semua itu karena ia tidak mau mengganggu hubungan mamanya bersama pria yang sudah sangat baik itu. Bertahun-tahun mamanya itu hidup tanpa adanya pasangan, menjadi bahan gunjingan para tetangga. Ia merasa tinggal bersama mamanya adalah kesalahan. Kehadirannya membuat mamanya hanya terus berfokus pada dirinya tanpa memikirkan pendamping untuk menemani hidupnya. Waktu terus berjalan begitu saja, usia manusia tidak pernah ada yang tahu. Jika suatu saat dirinya yang di panggil terlebih dahulu siapa yang nantinya akan menemani mamanya.

Kecelakaan yang menimpanya ini pasti sudah sangat membuat mamanya khawatir. Jika kecelakaan yang menimpanya membuat dirinya pergi meninggalkan mamanya selamanya, apa yang akan terjadi. Jadi, ia berpikir bahwa lebih baik jika dirinya memberikan kesempatan mamanya untuk hidup bahagia bersama pria yang sangat baik itu. Supaya mamanya tidak perlu khawatir lagi padanya.

Kelahirannya di dunia ini sudah suatu kesalahan. Mamanya tidak memiliki orang tua, ia di tinggal di panti sejak bayi. Kenapa mamanya tidak meninggalkannya saja di panti asuhan, kenapa mamanya harus membesarkannya. Ia merasa bersalah pada mamanya karena kelahirannya. Itu sebabnya ia ingin mamanya bisa bahagia bersama pria yang baik itu.

Namun, pemikirannya salah, ia kini malah membuat mamanya bersedih. "Al sayang mama, jangan menangis, ma."

"Al jangan tinggalin mama ya, sayang," ucap Elita sesegukkan.

Aldebaran tidak bisa berkata lain selain mengiyakan perkataan mamanya. "Mama sayang, Al," ucap Elita yang memeluk erat tubuh anaknya.

Dari jarak beberapa meter Elang memeperhatikan interaksi anak dan ibu itu. Ia baru saja tiba ketika Aldebaran terjatuh dari kursi rodanya. Ia akan berlari untuk segera menolong Aldebaran, tetapi langkahnya terhenti ketika Elita menangis. Ia pun akhirnya hanya berdiri di tempat itu tidak mau menganggu anak dan ibu itu.

Elita sudah mengurai pelukannya, tangannya menghapus air matanya di bantu oleh Aldebaran yang menghapus jejak air mata di sudur mata mamanya. Elang berjalan mendekat untuk membantu Elita yang akan mengangkat tubuh putranya. "Sini, biar aku saja yang gendong," ucap Elang yang kini sudah berdiri di dekat tubuh Aldebaran membuat sepasang ibu dan anak itu menoleh menatapnya.

"Abang udah bangun?" tanya Elita dengan wajah mengernyit bingung.

"Belum bangun," jawab Elang memutar bola matanya malas. Ia langsung berjongkok dengan satu lutut yang menyentuh tanah. Kemudian ia mengangkat tubuh Aldebaran ala bridal style kemudian ia dudukkan di atas kursi rodanya kembali.

Elita menatap malas Elang karena menjawab seperti itu, ia tahu Elang sedang meledeknya karena pertanyaan bodohnya. Untuk apa ia bertanya Elang sudah bangun atau belum, jelas-jelas Elang sudah bangun dan kini ada di hadapannya. Elang dengan telaten membersihkan bagian yang terlihat kotor di celana rumah sakit yang di pakai Aldebaran secara perlahan. "Makasih, pa," ucap Aldebaran seraya tersenyum.

"Sama-sama, jagoan papa," jawab Elang seraya tersenyum kemudian ia mengusap puncak kepala Aldebaran pelan.

Elita tersenyum melihat interaksi Elang dengan Aldebaran. Elang memperlakukan putranya seperti Aldebaran adalah anak kandungnya sendiri. Ia tidak menyangka betapa bosnya ini memperlihatkan sisi lain yang tidak pernah di lihatnya selama ini. Yang ia tahu, Elang tidak begitu menyukai anak-anak, Elang selalu saja membuat keponakan-keponakannya itu menangis. Tidak ada yang tidak menangis jika sudah ada di dekat Elang. Namun, perlakuan Elang kepada Aldebaran benar-benar membuatnya terkagum sekaligus bersyukur karena penerimaan Elang dan ia bisa bersikap tanpa ada kecanggungan sama sekali.

Walau pernikahan ini berawal dari sebuah kesepakatan, tetapi setidaknya ada yang ia syukuri dari pernikahannya dengan Elang. Aldebaran yang diam-diam pasti merindukan sosok dari seorang ayah kini sosok itu sudah ada di hadapannya. Tidak ada hal yang membahagiakan dalam hidupnya selain wajah bahagia putra tunggalnya ini.

Hari semakin sore, udaranya pun sedikit dingin. Elita mengajak suami dan anaknya itu untuk segera kembali ke ruang perawatan Elang pun mendorong kursi roda Aldebaran untuk kembali ke ruang perawatannya. Diikiuti oleh Elita yang berjalan di sampingnya.

TBC...

Adem ayem guys... Koment, Love dan Power Stonenya banyakin ya...

avataravatar
Next chapter