38 BUKA PINTU INI!

"Apa maksudmu kau lupa memberitahuku!?" omel Hailee dengan suara yang cukup keras, tapi hal ini tidak lantas membuat Ramon meminta maaf, dia justru dengan santainya berkata.

"Bukankah kau seharusnya berterimakasih?" tanya Ramon.

"Berterimakasih padamu untuk apa?" tanya Hailee dengan dahi yang berkerut, dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya, bahkan Hailee tidak lagi mempedulikan ketika para pelayan masih berada di sana.

Beruntungnya, mereka cukup mengerti kalau pembicaraan ini bukanlah untuk konsumsi mereka, dan setelah menyiapkan semua hidangan untuk Hailee makan siang, satu persatu dari mereka meninggalkan ruangan, memberikan Hailee kebebasan untuk mengekspresikan kekesalannya pada Ramon.

"Aku sudah bangun terburu- buru dan berdandan, lalu sekarang kau baru bilang kalau Lexus membatalkan rencana hari ini, kalau tahu seperti ini, aku akan memilih untuk kembali tidur," gerutu Hailee. Mood- nya memang sedang tidak baik dan entah kenapa rasanya setelah semua rasa stress yang dirinya coba untuk tekan, justru emosinya yang menjadi tidak stabil.

Hailee sendiri pun merasa kalau dirinya menjadi jauh lebih sensitive dari biasanya. Masalah ini benar- benar telah menguras pikirannya.

"Bagus kalau begitu," ucap Ramon tiba- tiba, memotong omelan Hailee yang sepertinya tidak akan menemui titik akhir. "Kalau kau memang sudah siap untuk pergi, kau bisa datang ke kantorku sekarang."

Seketika itu juga sebuah kerutan terbentuk di antara kedua alis Hailee. "Untuk apa aku ke kantormu?" tanya dengan curiga.

Pertama adalah ponsel yang Hailee terima setelah semalam dia mengobrol dengan Ian secara diam- diam di ruang baca, lalu kini Ramon memintanya untuk datang ke kantornya. Apakah dia berniat untuk membongkar kedok kebohongan dirinya? Kalau begitu apa yang akan terjadi nanti padanya?

"Ada sebuah meeting dengan board of director sore ini, kau bisa datang ke sini untuk kuperkenalkan pada mereka," ucap Ramon.

"Memperkenalkan aku pada mereka?" perasaan hati Hailee semakin tidak keruan mendengar hal itu.

"Ya, kita akan menikah kurang dari dua minggu lagi, ada baiknya mereka mengenal sosok calon isteriku nantinya," Ramon berkata dengan nada yang ringan, memanggil Hailee dengan kata- kata calon isterinya.

Tanpa pria itu ketahui, wajah Hailee bersemu merah ketika dia mendengar kata- kata tersebut. Karena cara Ramon mengatakannya benar- benar terdengar manis di telinga Hailee.

Namun, perasaan berbunga- bunga itu tidak berlangsung lama, karena ketika itu juga Hailee menyadari apa yang akan menantinya kalau dia sampai datang ke kantor Ramon dan diperkenalkan pada orang- orang penting di perusahaan Tordoff.

Seketika itu juga, darah di wajah Hailee susut, meninggalkan wajahnya yang pucat. "Tidak, tidak, aku tidak mau," tolaknya segera.

Mendengar hal tersebut, kali ini Ramon yang mengerutkan keningnya. "Ini bukan sebuah tawaran yang bisa kau tolak," ucapnya dengan nada dingin.

Selama ini, bisa dikatakan sangat jarang sekali ada orang yang menolak permintaan Ramon Tordoff. Maka dari itu, dia tidak menerima kata- kata penolakan dari Hailee dengan cukup baik.

"Tapi, aku tidak mau," jawab Hailee dengan tegas.

Kalau dirinya sampai datang ke kantor Ramon dan bertemu orang- orang penting di sana, bukannya tidak mungkin kebohongannya bisa terbongkar dan lagi, Hailee sudah berniat untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Ramon.

Dengan diperkenalkan sebagai calon isteri dari Ramon Tordoff, sama sekali tidak akan membantu Hailee dalam membulatkan tekadnya untuk berkata jujur.

"Aku tidak meminta persetujuanmu," balas Ramon dengan menggerutu. Dia tidak suka dibantah.

Namun, Hailee tidak mengetahui akan hal tersebut dan lagipula, dia bukanlah gadis yang bisa di atur- atur. Hal ini telah seringkali terbukti. Pertemanannya dengan Ian saja merupakan bentuk penolakan dirinya atas aturan orang tuanya yang terlalu kaku.

���Lalu apa yang akan kau lakukan? Datang ke sini dan membawaku untuk datang kembali ke kantormu?" tanya Hailee dengan nada menantang.

Terkadang saat mereka tengah berdebat seperti ini, Hailee akan melupakan posisi dirinya dan mengabaikan kenyataan bahwa dirinya telah berbohong.

Ramon memang sulit dimengerti dan Hailee sama sekali tidak mau memberikan 'effort' untuk mengerti dirinya.

Kedua orang yang baru saling mengenal ini memang membutuhkan usaha lebih untuk dapat berkomunikasi dengan baik tanpa kembali pada perdebatan.

"Kalau memang itu yang harus aku lakukan untuk membuatmu berada di sini," ucap Ramon dengan nada dingin, dia menganggap serius kata- kata Hailee. "Maka aku akan membawamu ke sini."

"Coba saja," tantang Hailee, tanpa mengetahui apa yang nanti akan menantinya.

Mendengar hal itu, tidak ada jawaban dari Ramon, tapi kemudian sambungan telepon di matikan.

Hailee cemberut menatap ponselnya dan melanjutkan makan tanpa memikirkan perdebatan antara dirinya dan Ramon.

Setelah selesai makan, Hailee berjalan- jalan sebentar, mencoba menghapal denah rumah ini, yang mana begitu besar dan Hailee belum memiliki kesempatan untuk mengelilinginya.

Kalau harus menunggu Ramon yang mengajaknya untuk berjalan- jalan seperti ini, sangatlah tidak mungkin.

Setelah puas berjalan- jalan dan meninggalkan pesan untuk Ian, memberitahukan sahabatnya itu mengenai nomor yang bisa dia hubungi, Hailee kembali ke kamarnya.

Namun, sebelum dia dapat masuk ke dalam kamar, dari lantai dua, Hailee dapat melihat sosok Ramon yang masuk ke dalam rumah dengan ekspresi dingin dan kesal.

Seketika itu juga, mata Hailee membelalak lebar dan tatapan mereka bertemu, seraya sebuah bisikan mengalir keluar dari bibir Hailee tanpa dia sadari.

"Mati aku…" bisik Hailee pada dirinya sendiri.

Di sisi lain, melihat keterkejutan Hailee, membuat Ramon tersenyum puas dan segera berjalan menaiki tangga untuk menghampiri calon isterinya tersebut.

Entah apa yang merasuki Hailee, tapi begitu dia melihat Ramon yang berjalan mendekatinya, gadis itu justru berlari masuk ke dalam kamar dengan tergesa- gesa dan mengunci pintunya.

Di dalam kamar yang terkunci, Hailee menatap pintu dengan sorot mata penuh kecemasan, hingga suara langkah kaki Ramon berhenti tepat di depan pintu.

Pria itu mencoba untuk membukanya, tapi tentu saja tidak bisa.

Lalu setelah itu terdengar suara ketukan beberapa kali hingg suara Ramon terdengar di balik pintu yang terkunci tersebut. Dia berkata; "Hailee, buka pintu ini sekarang juga."

"Tidak mau," tolak Hailee. "Aku tidak mau datang ke kantormu."

"Hailee, buka pintunya sekarang juga atau kau akan menyesal," Ramon berkata dengan tajam, tapi justru ini membuat sifat Hailee yang keras menjadi semakin tertantang.

"Apa? Kau mau melakukan apa?" tanya Hailee. Dia lalu bergerak mendekati pintu saat dia mendengar langkah lain di koridor dan suara Ramon yang mengatakan pada seseorang untuk mengambil kunci cadangan.

"Aku tidak mau pergi ke sana!" jerit Hailee. Dia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari sesuatu yang dapat membantunya mempertahankan teritorinya ini.

avataravatar
Next chapter