1 DASAR BOS NYEBELIN!

BEBERAPA TAHUN YANG LALU.

Joda si gadis bar-bar, begitu panggilannya. Tidak perduli seberapa sering orang-orang mencoba untuk menjatuhkannya, menekannya, bahkan menjebaknya, Joda tetap berdiri tegak meninggikan dagunya.

"Aww!" Joda berseru kesakitan saat teman sebangkunya memukul belakang kepalanya.

"Lo ngayal lagi, ya?" Pemuda yang duduk di sebelahnya itu berdecak tak percaya.

Kata-kata di paragraf pertama itu palsu teman-teman! Joda itu lebih memilih menghindar dan mengalah saat orang-orang mulai mengusiknya karena penampilannya.

"Kenapa, sih?! Emang gue enggak boleh ngayal apa?!" Joda mendengus sebal.

"Boleh. Tapi masalahnya, lo itu cuma berani ngayal sama berani ngelawan gue doang." Egi, si pemuda yang duduk di sebelah Joda itu sudah menghafal tabiat teman sebangkunya. Sebab mereka telah menjadi teman sebangku abadi sejak TK.

"Lo kasih gue dukungan moral kek, Gi." Joda melipat tangannya diatas meja sebelum menyandarkan kepalanya ke atas sana.

"Percuma. Lo sendiri aja kabur. Ngapain gue buang-buang tenaga dan belain lo?" Egi memutar bola matanya sebal.

"Yang jadi masalahnya, fisik gue itu enggak ngedukung buat gue jadi sombong, Gi." Joda berujar dengan putus asa.

"Lo enggak harus sombong kan buat ngadepin orang-orang itu?"

"Ya, terus? Gue harus apa?" Joda semakin terdengar putus asa.

Joda adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, sekolah di sekolah biasa, tetapi memiliki penampilan yang terlalu jauh untuk dikatakan biasa. Berbeda dengan Egi, sahabatnya. Egi adalah seorang pemuda tampan super tajir yang tak sengaja masuk ke sekolah itu karena permintaan Joda.

Bukan. Bukan ia tak mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepadanya. Tetapi pandangan masyarakat yang menjadikan standar kecantikan dengan kulit putih, hidung mancung, dan rambut panjang bergelombang itu terlalu mendorongnya jauh dari standar penampilan yang bisa disebut "biasa" oleh teman-teman sekolahnya.

Joda hanya beruntung karena ia memiliki Egi di sebelahnya. Pemuda itu tak pernah mempermasalahkan penampilannya meski mantan-mantan kekasihnya pasti pernah membully Joda. Dan beruntungnya lagi, keluarga Egi kelewat baik kepadanya hingga membiarkan Joda berteman dengan Egi tanpa memandang status sosial mereka.

"Yaudah, kalo gitu lo ngerawat diri lo, lah," usul Egi pada akhirnya.

"Itu butuh duit kali, Gi." Joda makin terlihat frustasi. "Jajan gue aja cuma cukup buat jajan Es sama naik angkot."

"Lo aja seringnya nebeng sama gue." Egi mendengus sebal saat Joda terkekeh di hadapannya.

"Heh, Gimbal." Seorang gadis yang berasal dari perkumpulan anak-anak populer tiba-tiba saja menghampiri meja mereka.

Tidak ada kecanggungan antara gadis itu ketika membully Joda di hadapan Egi. Sebab Egi memang tak pernah terang-terangan membela Joda meski mereka berdua selalu menempel kemana-mana. Kecuali saat Egi dating dengan pacarnya, mereka baru terpisah.

"I-iya?" jawab Joda.

"Ck! Sialan! Mentang-mentang gue item terus keriting, dia manggil gue gimbal. Kalo gue putih, dia pasti enggak bakalan manggil gue gimbal meskipun rambut gue keriting!" Joda hanya berani memaki di dalam hatinya.

"Beliin gue ciki gih, di kantin." Gadis itu meletakan selembar uang sepuluh ribuan. "Kembalinya ambil aja."

Mendengar penuturan gadis itu, tentu Joda merasa senang bukan main. Hari ini sepertinya ia bisa memakan Cilok sebagai teman Es yang akan ia beli nanti di depan sekolahnya setelah bel pulang berbunyi.

"Makasih, ya," ujar Joda tulus.

"Iya. Beli enam bungkus, ya." Teman-teman gadis itu tertawa setelah gadis itu mengatakan berapa jumlah makanan ringan yang harus Joda beli.

"Ta-tapi ... uangnya kan-"

"Ya, makanya. Lo ambil aja kembalinya. Awas lho kurang!" Gadis itu pun pergi meninggalkan Joda yang hanya bisa mengepalkan tangannya.

Dengan langkah lemahnya, Joda bangkit dan berjalan menuju kantin. Tanpa gadis itu sadari, Egi mengikutinya.

"Jodaaaa, Joda, mau sampe kapan lo begini?" Egi mengambil uang yang ada di atas tangan Joda dengan kasar.

Akhirnya pemuda itu yang pergi membeli makanan ringan dan membayar kekurangannya.

Americo Jodaria. Seantero sekolah memanggilnya dengan sebutan Joda Si Gimbal. Gadis-gadis populer di kelasnya sering sekali memperbudaknya dengan menyuruh Joda untuk pergi membeli makanan untuk mereka di kantin. Selain memberikan uang yang kurang dari yang harus dibayar, gadis-gadis itu juga kerap kali mengganggu Joda.

Kadang Joda berpikir, apa kedua orang tuanya tidak terlalu berlebihan dalam memberikannya nama? Nama sebagus itu adalah nama yang sama sekali tak cocok untuk penampilannya.

*****

Kini Joda telah beranjak dewasa. Hasil kerja kerasnya selama ini tentu sudah membuahkan hasil. Penampilannya adalah hal utama yang sudah ia perbaiki. Dari mulai masuk kuliah dan kerja sambilan di mana-mana, Joda berhasil mengumpulkan uang untuk perawatan dirinya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala, teman-teman sekolahnya di jamin takkan ada yang mengenalinya.

Kecuali Egi.

Satu tahun yang lalu adalah terakhir kalinya Joda bertemu dengan Egi. Itu pun karena Joda memaksa untuk membayar semua uang yang Egi pinjamkan untuk membantunya merawat diri. Egi tak pernah meminta Joda untuk mengembalikan uangnya. Tetapi Joda yang merasa tidak enak dan berhutang budi pada Egi itu tetap saja mengembalikan uangnya.

"Maroko, file yang saya minta mana?" Pria dengan stelan baju mahal itu menginterupsi kegiatan mengenang masa lalu ala Joda.

"Pak! Kan saya udah bilang. Nama saya itu Americo Jodaria. Bapak kenapa manggil saya Maroko-maroko terus, deh?! Orang satu kantor juga tau panggilan saya itu Joda!" Meski dengan wajah cemberut, Joda tetap menyerahkan file yang diminta Kay, atasannya.

"Kamu ini lagian punya nama susah banget. Apa itu Americo Americo? Kamu orang bule jawa atau gimana?" tanya Kay seraya mengecek file yang Joda berikan.

"Emang Bapak mau kalo saya panggil Pat Kay bukan Pak Kay?!" Joda menjawab dengan ketus.

Meski Joda selalu saja seperti itu, Kay tidak pernah menegurnya. Sebab pria yang hanya berselisih dua tahun lebih tua dari Joda itu memang tak memperdulikan hal-hal seperti itu.

Awalnya Joda juga selalu bersabar dan bersikap sopan pada Kay. Namun seorang Kaylion Hayd yang dari di dalam perut ibunya saja sudah membuat rusuh, selalu membuat Joda naik pitam.

"Ya kalo kamu mau manggil kayak gitu, panggil aja. Saya anggapnya ini kayak sebutan Ayah-Bunda gitu, lho. Saya liat di Instagram lagi jaman." Kay menjawab dengan enteng.

"Idih! Males banget saya punya panggilan kesayangan kayak gitu sama Bapak!" Joda segera mengambil file yang sudah selesai Kay periksa.

"Lho? Saya ini ganteng lho, Maroko." Kay merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan untuk menggoda Joda.

"Nanti abis makan siang ada meeting bulanan sama pemegang saham, Pak. Bapak enggak lupa, kan?" Joda mengalihkan topik pembicaraan.

"Nanti saya abis makan siang mau pergi ke Mall sama pacar baru saya ja-"

"Enggak, Pak! Pokoknya saya enggak mau ngosongin jadwal Bapak! Kalo Bapak nekat, nanti saya yang bilang ke pemegang saham buat narik semua sahamnya aja dari kantor Bapak!" Joda sudah tahu apa yang bosnya itu akan katakan.

"Bosnya itu kamu atau saya sih, Maroko?" Kay bertopang dagu.

"Bosnya ya Bapak, lah. Tapi saya kan sekertaris Bapak. Jadi udah sepantasnya saya ngatur jadwal Bapak kayak gimana." Joda pun segera berjalan keluar dari ruangan. Ketika hampir sampai ke arah pintu, terdengar suara kekehan dari Kay yang tak pernah sekalipun mengibarkan bendera putih padanya.

"Tutup yang rapet pintunya Maroko." Kay tertawa.

Dari semua karyawannya, hanya Joda saja yang selalu membalas kata-katanya. Bagi Kay yang jiwa mudanya seratus persen lebih banyak dari pada jiwa yang seharusnya ia jalani itu, bercanda dengan Joda seperti ini merupakan caranya mengurangi stress karena pekerjaan. Lain halnya dengan Joda yang menganggap hal ini adalah kutukan yang diberikan Tuhan karena ia berani kabur dari rumah.

*****

avataravatar
Next chapter