webnovel

Intro

"Kamu pindah ke Inggris besok, beresi semua barangmu."

Markㅡpanggilan akrabnya, menghela nafas pelan tanpa menoleh pada sosok yang bicara di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Ayah? Tidak mungkin para maid bicara pada Mark tanpa kata aden.

"Untuk apa, Pa?"

Inggris. Semudah itu mengatakan bahwa Mark akan pindah ke sana besok? Memang pindah ke Inggris itu sedekat Tebet ke Sudirman?

"Tentu saja buat pendidikanmu, Mark. Papa mau yang terbaik untuk kamu. Pendidikan di sini kurang bagus. Pak Deto sudah mengurus semua berkas yang kamu butuhkan di sekolah baru."

Mendengarnya membuat Mark mendesis pelan.

"Kamu papa daftarkan di SMA Charterhouse, setelah lulus nanti kamu masuk Universitas Cambridge. Kamu pasti akan sukses--"

"Kenapa Mark? Kak Taeyan kan anak pertama Papa, kenapa dia tetap di sini?"

"Kamu lupa? Tahun depan kakakmu sudah masuk semester akhir, lagi pula dia sudah bantu papa untuk ngurus bisnis."

Dengan tatapan dingin Mark menoleh pada sang Ayah, "kirim aku pulang ke Vancouver, aku ngga akan ganggu hidup kalian lagi."

"Oh kamu mau hidup melarat dengan nenek kamu itu? Mau makan apa kamu di sana? Mau jaga kasir McD sepanjang sisa hidupmu buat bertahan hidup?"

"Lebih baik aku jadi gembel daripada hidup sama papa seperti ini!"

"Jaga mulutmu, Mark! Ini demi kebaikan kamu."

"Demi kebaikanku atau demi ketentraman hidup papa?!"

Ini adalah kali pertama, Mark membentak papa.

"Pergi ke kamarmu! Beresi semua barangmu dan jangan membantah!"

Lahir di kota Vancouver, dan hanya tinggal bersama sosok Ibu. Mark tidak pernah bertanya pada ibunya ketika kerap kali seorang pria datang ke apartemen super sempit mereka dan bicara bahasa asing bersama sang ibu. Pria itu sesekali melihat Mark dan tersenyum. Juga beberapa kali bertanya Mark sedang ingin mainan apa kemudian pada kunjungan berikutnya pria itu akan datang dengan benda yang diinginkan Mark.

Dulu Mark menyebutnya dengan paman baik hati. Sebelum bertahun-tahun berikutnya, ia tahu bahwa pria itu adalah Ayah kandungnya sendiri.

"Kamu ingin pergi ke Asia, bukan? Mari belajar berbahasa dengan ibu, ibu adalah orang Asia asli. Jika kamu mau kesana, mereka harus mengerti apa yang kamu ucap, Mark."

Mark ketika usia lima tahun pernah diajak seorang anak tetangga yang waktu itu usianya dua belas tahun menonton sebuah pertandingan basket Amerika vs China, melalui televisi di kedai Pizza milik pasangan muda di lantai paling bawah apartemen mereka. Ketika itu regu yang isinya orang-orang jangkung dengan mata sipit menang. Mark lantas bertanya pada ibunya ketika ia kembali ke kamarnya, bertanya dimana itu China? Mengapa mata mereka hampir mirip dengan mata yang menempel di wajahnya? Disitulah Mark tahu soal Benua Asia, dan segalanya tentang Asia ketika ia mulai bersekolah dan belajar tentang sejarah.

Namun, yang aneh adalah, bahasa yang Ibu ajarkan jelas bukan bahasa mandarin yang sering Mark dengar dari film yang dibintangi Jackie Chen. Ini agak asing ditelinga.

"Namanya Bahasa Indonesia, tempat ibu dilahirkan dan dibesarkan, tanah air ibu. Kelak kamu akan kesana, Mark." Mark selalu ingat kata-kata itu. Kata Ibunya, yang kemudian mengajarkannya cara membaca dan mengeja menurut aturan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Kita akan pindah ke tempat dimana seharusnya kita berada, Mark." Adalah jawaban yang selalu Ibu berikan ketika Mark bertanya kenapa ia harus mempelajari ini.

Dan sekarang Mark menemukan jawabannya. Karena Mark akan tinggal bersama Ayah di Indonesia, melanjutkan hidupnya di negara kepualauan terbesar ini.

Kadang Mark berpikir, kenapa hidupnya sesulit ini?

Mark tidak pernah meminta apapun dari Ayah. Mark tidak akan pernah datang kemari jika tahu kenyataan bahwa Ibunya adalah istri simpanan Stevanno sebelum dirinya lahir.

Demi Tuhan, kalau saja Mark bisa memilih, dia lebih suka untuk meninggal bersama Ibunya pada kecelakaan bertahun-tahun yang lalu.

Untuk apa hidup kalau Ayah nya saja tidak ingin orang luas tahu kalau Mark adalah anaknya? Secara tidak langsung, sebenarnya sang Ayah tidak ingin dia ada, bukan? Sang Ayah tidak suka Mark datang kemari, kan?

Kalau begitu, untuk apa dirinya bertahan menerima semua perlakuan ini? Tidak ada lagi yang menyayangi Mark selain mendiang Ibunya. Para maid bersikap baik karena membutuhkan gaji dari Ayahnya, teman-teman ㅡoh bahkan Mark bukanlah anak yang suka bergaul semenjak pindah ke negara ini. Kakak? Seorang yang tadi Mark sebut kakak itu bahkan sangat membenci Mark lebih dari apapun.

"Aden, ini Den, bapak minta Aden yang pegang sendiri."

Mark segera memasukan map merah yang barusan diulurkan oleh mang Harjo, salah satu pekerja di rumah ini, ㅡkedalam tasnya. Pasti Detoㅡtangan kanan Ayahnya itu terlalu malas memberikannya langsung pada Mark.

"Mau dibantu Den, beberesnya? Aden bilang saja mau yang mana yang dibawa biar mamang beresin?"

"Ga usah mang, ini udah mau beres kok. Ribet bawa barang banyak-banyak. Nanti biar dipaketin aja,"

Usia Mang Harjo mungkin tidak jauh berbeda dengan usia Ayahnya, Mark tentu masih punya hati nurani untuk tidak memperkerjakan pak tua itu.

"Aden berangkatnya besok siang kata Bapak. Istirahat aja biar besok segeran."

Segeran? Memangnya sekarang Mark kenapa? Keringan? Layuan?

"Iya mang, makasih."

"Yaudah ya Den, mamang ke belakang dulu."

Pintunya ditutup pelan, mang Harjo sudah pergi Mark langsung melemparkan tubuhnya pada ranjang.

Menyusun rencana,

untuk kabur.

to be continued..