1 Alexandria Erwin

Gema dari pertemuan sarung tangan pelindung berkecepatan tinggi dengan plastik samsak memenuhi ruangan latihan selebar setengah lapangan sepak bola, terdapat arena bertarung ditengahnya serta pernak pernik lainnya seperti tali pembatas, sudut kubu, diatasnya tergantung lampu lampu, empat monitor besar dan besi penyangga.

hanya aku seorang berlatih pada jam segini, walau terkadang dia menemaiku namun hari ini katanya ada urusan di kampung. jadi, ya.. tinggal aku seorang, anggota yang lain mungkin satu atau dua jam lagi baru sampai, paling juga kakek Joe yang datang lebih awal untuk membersihkan lantai sebelum semuanya sampai di tempat ini.

menu latihanku hari ini adalah pukulan jab dua ribu kali ke samsak, push up lima puluh, sit up lima puluh, squat jump lima puluh kali, plank setengah jam, rotating punch lima menit sepuluh kali, lalu pendinginan, setelah itu joging. "semoga saja bisa selesai sebelum jam 8 pagi."

aku melanjutkan pukulanku, "1732, 1733, 1734. 1735, --" terdengar suara pintu terbuka, "Pagi kakek joe,"

"Pagi alex, sudah berapa ribu?" ucapnya ramah

"baru seribu tujuh ratus empat puluhan."

"sudah hampir selesai ya, ngomong ngomong dimana si rizky, temanmu yang biasa menemani latihanmu."

"pulang kampung, katanya ada urusan yang penting." aku mengatur nafas dan tempo pukulan, "kek, punggungmu bagaimana udah mending?"

"urusan ya, hhhmmm... punggungku. sudah mendingan, tukang pijit yang kau sarankan hebat juga, sampai sampai aku dikasih tau cara duduk dan jalan yang benar, sekarang aku bisa bergerak seperti saat ku muda, jadi pingin goyangin pinggang ke mudi mudi kampus sini."

aku tertawa lepas "dasar kakek cabul."

"apa kau bilang!" teriaknya, lalu di sambung ketawa lepas. "oh iya, bagaimana keadaan lukamu itu?"

"biasa, walau terkadang, ada rasa seperti disayat setiap aku bergerak terlalu cepat."

"dasar, bisa bisanya kau terluka seperti itu, sampai sampai jadi berita hangat selama beberapa minggu. haha, kau habis berapa untuk mengobati mereka?"

"haha,, habis berapa ya, seratus dua belas kalo tidak salah."

"buset, uang segitu mending buat booking bisa dapat barang baru."

"dasar kakek sial."

"hahaha.. loh kok berhenti?"

"sudah dua ribu."

"oh, ya sudah, aku kebelakang dulu, kau perlu kuambilkan minum tidak?"

"boleh, biasa, air hangat, tolong kek."

"ya.."

aku melanjutkan menu latihan selanjutnya, sampai terakhir, lalu meminum air hangat dan bergegas menuju pintu keluar untuk joging, "aku tinggal sebentar kek."

"ok, awas, jangan buat onar..."

"ok ok.."

sesampainya diluar aku meregangkan tubuh bagian atas dan melemaskan kaki, jongkok jinjit empat kali lalu mulai joging, rutenya mengelilingi blok tempat latihanku, melewati pusat perbelanjaan, lapangan sepakbola, dan salah satu kampus terbaik disini. udaranya tidak begitu panas, namun asap dari truk sampah mencemarinya, "sial tau gini, aku tadi pake masker."

"baru jam segini, udah macet aja ini jalan. lagi pula bukannya ini minggu." aku berlari sambil melihat wajah orang orang yang terjebak macet, terkadang ironi sekali melihat mereka, menggunakan kendaraan bermotor agar lebih cepat sampai tujuan, malah terlambat karena kendaraan tersebut. dan lucunya sebagian dari mereka menyalahkan orang lain karena keterlambatanya. manusia manusia seperti itu yang paling aku benci.

setelah melewati jalanan macet, aku sampai diarea kampus, walau ada dipusat kota, tempat ini seperti tempat tinggalku dulu di daerah temanggung, entah butuh berapa lama untuk membuat hutan di kampus hijau ini. tak hanya tempatnya yang nyaman, mahasiswinya pun cakep cakep, tak ayal si kakek sampai seperti itu.

sesampainya aku kembali ke tempat latihan, disana sudah ada ketua yang sedang berbincang dengan kakek Joe, aku sedikit terkejut, karena kejadian kemarin aku belum satu kali pun bertemu denganya.

"YO ALEX!" sapa rekanku dari belakang. astaga, gorila bodoh, kenapa dia malah teriak disaat aku mau menyelinap. aku melirik kearah mereka berdua, mati aku, ketua berjalan menuju kesini.

"oh, hai gor- maksudku dedi, aku ada urusan yang mendadak. tolong lepaskan tanganmu dariku."

"A L E X!!!!" bulu kuduku berdiri ketika mendengar teriakan orang itu, ada empat orang saat ini yang bisa membuatku merinding ketakutan, pertama Ayahku, kedua tante Karla, ketiga kakek Joe, dan terakhir dia. terakhir aku dibuat tak sadarkan diri ketika latih tanding, padahal aku sudah yakin mengenai dagunya, tapi entah kenapa malah aku tiba tiba terbangun di pukesmas tak jauh dari sini. dia pasti belajar ilmu hitam, tidak salah lagi. "P-Pagi ketua."

"Poga pagi, poga pagi, kepalamu pagi!" dia melayangkan dropkick kearah perutku, tak sempat menghindar aku terpental bersama dengan Dedi. menabrak tembok, dan aku tidak tau apa yang terjadi berikutnya, sepertinya aku pingsan dan terbangun di bangku tengah.

"ah... sialan kau ketua, tiba tiba menendangku."

"Hahaha... maaf maaf, aku tadi terlalu bersemangat. ini, minum. aku ingin mendengar ceritamu." ucap pria itu lalu menyodorkan segelas teh.

"wah, aku kira kau akan menghajarku karena kejadian kemarin."

"mana ada, orang sepertimu walau kuhajar tidak akan kapok." ia tertawa, "ayo, ceritakan bagaimana bisa terjadi seperti itu?"

aku memandangi wajah orang orang di sekitarku, "ok, semua bermula ketika---"

*satu bulan sebelumnya.

kejadian itu bermulai ketika aku sedang jalan jalan sore, aku tidak begitu ingat pukul berapa waktu itu. yang jelas adzan asar sudah lama terlewat, dan lampu jalan sudah menyala tapi belum maghrib. sebenarnya baru pertama kali aku lewat daerah tersebut karena memang ingin suasana baru, aku coba saja rute lain. walau sebenarnya jaraknya lumayan lebih jauh dari biasanya. semuanya baik baik saja, pada awalnya, sampai ketika aku akan melewati sebuah jembatan.

lalulintasnya memang ramai tapi tidak begitu macet, tidak ada suara klakson marah, atau teriakkan untuk mempercepat laju, lalu aku berjalan lewat trotoar yang disediakan di pinggir jalan sepanjang jembatan. baru beberapa langkah berjalan, aku terhenti oleh pengendara motor yang menggunakan fasilitas ini untuk terhindar dari ramainya kendaraan atau agar lebih cepat dalam artian melewati jembatan. aku merasa tidak terima, kemudian kusuruh dia turun, pengendara pertama mengikuti ucapanku dan dia turun. sebenarnya aku juga membantunya turun. sialnya tak hanya satu yang menggunakannya.

pengendara kedua, sampai lima masih mau mereka, nah mulai dari pengendara keenam ini yang membuat emosiku naik. aku tidak tau siapa dia, dari platnya aku rasa dia pendatang karena berbeda leter.

"Ngapain mas? hah, minggir.." ucapnya dengan nada sedikit tniggi.

"mas trotoar buat siapa. ini untuk pejalan kaki, turun." aku membalasnya juga dengan nada yang sama, sambil menunjuk jalan yang kupijak. "kalau ngga mau kena macet jangan pakai motor."

merasa kalah dengan argumenku, mungkin. dia turun dengan mengumpat beberapa kali kearahku. mendengar hal itu aku memandangnya lalu tersenyum, sambil mengingat pepatah, anjing menggonggong khafila berlalu.

entah apa yang terjadi, saat aku berbalik dan melihat kedepan, dibelakang pengendara keenam ini para pengendara turun dengan sendirinya, tapi tidak semuanya. aku bersikap seperti biasa, berjalan dengan santai, didepanku berjarak mungkin setara dengan empat sepeda motor ada ibu ibu membawa tas belanja tradisional mengalah untuk pengendara didepannya.

aku menghela nafas, tak lama aku berpapasan tapi aku tidak mau mengalah untuk memberikan hakku kepada pengendara yang merampas hak pejalan kaki sepertiku. bukannya mencari masalah tapi aku hanya ingin penduduk, ah jangan terlalu jauh. setidaknya para pengendara di daerah ini tau akan peraturan dan hak hak serta kewajiban untuk paling tidak menghormati pengguna fasilitas umum lainnya.

pengendara itu mengklaksonku, aku tak menghiraukannya tetap berdiri ditengah. melihat wajah dibalik kaca helm yang menutupi. dia mengklakson kembali, kali ini suaranya lebih lama dan aku tetap tak memperdulikannya. dia membuka kaca helm dan menarik maskernya.

"WOI! MINGGIR! NGAPAIN LO ANJING NGALANGIN BANGSAT!" teriaknya.

"ini bukan jalan sepeda motor, bisa turun ngga?" jawabku pelan.

"HAH!? TERUS KENAPA? SUKA SUKA GW LAH, GW ORANG SINI, GW BIASA LEWAT SINI LO SIAPA NYURUH NYURUH GW BUAT TURUN." timpalnya.

sontak aku pegang stang kiri pengendara itu dengan tangan kananku lalu sekuat tenaga mendorongnya ke kanan sampai roboh bersamaan dengan pengendaranya. terdengar suara remukan plastik. aku turun, tanpa basa basi menendang wajahnya. dia tergeletak.

"WOI! BRENGSEK, TEMEN GW LO APAIN!" teriak pengendara di belakangnya.

"dia udah aku beritahu baik baik malah nyolot."

"LAH MAU BAGAIMANA LAGI, SALAH PEMERINTAH KARENA MEREKA TIDAK BISA MENGATASI-" ketika mendengar ucapannya tangan kananku menghujam wajah dibalik kaca helm, dan dia terjatuh bersamaan dengan sepeda motor yang dinaikinya.

selagi terjatuh kuhujam kembali dia, mengincar kepala orang itu walau terlindung oleh helm, entah setan apa yang merasukiku aku tidak memperdulikan kerasnya plastik polymer yang dibentuk sedemikian rupa untuk melindungi kepala dari benturan jika terjadi kecelakaan.

bukannya aku tidak terima dengan ucapanya menjelek jelekkan pemerintah, hanya saja aku benci dengan orang orang yang menyalahkan orang lain untuk berlindung dari kesalahannya sendiri.

entah sudah berapa kali aku menghujamnya yang kutau benda itu sudah retak dan darah mengalir di aspal, keluar dari dalam helm, dan orang orang yang tadinya menonton kini memisahkan aku dengannya, aku melihat beberapa dari mereka bergegas memindahkan sepeda motor dari pengendara yang ku hajar.

saat aku ditarik kebelakang beberapa pukulan mengenai wajahku, karena tidak terima, aku meronta, menggerakkan siku kanan kearah belakang, mengenai rusuk mungkin atau bagian yang lain, membuat tahanannya berkurang, melepaskan diri, orang orang didepanku terkejut ketika aku berhasil meloloskan diri dari pitingan.

kucari seseorang yang memukulku, dia salah satu dari mereka, aku tau itu, aku melihatnya dia berada dibelakang pemuda yang mencoba menutup wajahnya agar tidak terkena gerakan liar tangan orang orang, tatapan pemukul itu nanar kearahku diikuti mungkin teriakan atau apa, karena aku tidak mendengar apapun hanya terlihat gerakan mulutnya serta ayunan tangan kirinya, aku menghindar, dia mengenai pemuda didepannya, kuraih pet helmnya dengan tangan kiriku sekuat tenaga, menariknya, tubuhnya terhuyung kedepan saat hampir terjatuh kuhantamkan lutut, mengenai dadanya, dia langsung tersungkur.

aku sedikit terkejut, lalu datang rekan yang lainnya, orang orang yang meleraiku mundur semua, ketika melihat salah seorang dari mereka membawa senjata tajam, aku menghela nafas, jumlahnya dua orang, mereka mengenakan jaket kulit, celana kain biru, safety shoes, berhelm, dan masih menggendong tas, walau terlihat seperti orang orang turing namun sepertinya mereka adalah siswa sma/smk, aku tidak peduli latar belakang orang orang ini, selagi mereka melanggar dan tidak mau di benarkan, ya maaf saja kalau tanganku menghujam kepalamu.

sebuah celurit, aku tau itu dari bentuknya, kelihatanya mereka hendak melakukan tawuran. 'ah brengsek' gumamku. kuda kudaku sudah siap, orang yang membawa benda itu maju dengan cepat, memutar mutarkan diatas kepala, dia satu langkah di depanku, mengayunkannya. aku melompat mundur, lalu mengayunkannya lagi, aku belum siap, ujungnya merobek kulitku dari pinggang sampai dada.

"MAMPUS!"

walau tidak dalam dan tidak sakit, tapi hal itu sedikit membuatku terguncang, bajuku juga ikut robek, ketika ia hendak melancarkan ayunan ketiga aku melompat maju, sambil menunduk, orang itu mengnicar bagian atas tubuhku. aku lolos dari maut, pilihanku untuk menunduk tepat, lalu aku lancarkan pukulan tepat di leher. seketika dia terpental dan jatuh.

aku mengejarnya, saat hendak ku hantam. tubuhku terdorong, kali ini aku merasa sakit di lukaku. "brengsek.." gumamku. rekannya menendangku.

aku melihat orang yang hendak ku hantam sudah tersungkur. hal itu membuatku lega, karena sekarang fokusku hanya pada satu orang. pikirku.

"BAJINGAN KAU!" teriaknya sambil maju. bersama dengan belasan yang lain.

aku bersiap, berteriak. menendang orang pertama, dia terpental, menhindar pukulan orang dibelakangnya, berhasil. tapi tidak untuk yang kedua. ketika dia memukulku, aku kembalikan dengan tangan kiri, dia langsung tumbang. gara gara itu, perutku terkena tendangan lalu disusul oleh pukulan dari belakang, kanan, kiri, depan.

hanya bisa menahan pukulan, dan melindungi kepalaku, aku mencoba mengatur nafas. lalu menarik salah satu dari mereka, menjatuhkannya lalu kugapitkan kedua kakinya ke tubuhku lalu mulai memutarnya agar orang orang ini menjauhkan diri dariku.

setelah itu kulepas, dia terbang dan mengenai dua orang. mereka kemudian bersama sama maju, namun berhenti beberapa langkah didepanku. mereka terlihat terengah engah. dan aku pun demikian. ditambah rasa sakit akibat sayatan tadi mulai terasa.

"AYO SINI!" teriakku.

lalu salah seorang dari mereka menusukku dari belakang. sontak aku balikkan badan dan memukulnya.

"WOI ADA POLISI!" teriak salah seorang. samar samar suara sirine semakin jelas.

tak menghiraukan teriakan itu aku terus menghujamkan pukulan kearah orang yang menusukku sampai aku tiba tiba tersadar di sebuah ruangan. aku rasa itu rumah sakit.

orang pertama yang kulihat adalah polisi, aku tau dari sikap duduknya. dan ya, tanganku di borgol. aku tau itu ketika mendak menggaruk hidungku yang gatal.

"Alex, lahir di temanggung. seorang petarung gaya bebas, tak pernah kalah. digadang gadang akan menjadi seorang legenda baru di kelasnya. sayang sifat tempramennya membuatnya kemungkinan masuk bui. media pasti tidak akan melewatkan kejadian ini, Alex sang petarung, gara gara tidak bisa mengontrol emosinya dia tega membunuh pelajar." ia menghela nafas, "jika salah seorang dari mereka mati, kemungkinan besar kau akan di penjara. berdoa saja, mereka hidup semua."

aku hanya terdiam melihat langit langit, memikirkan apa yang akan terjadi jika aku masuk penjara gara gara mentertibkan para pelanggar yang masih dibawah umur itu. ah... ah... karierku hancur. yah lebih baik itu dari pada membiarkan mereka seenaknya.

"woi, apa kau dengar?"

"ya aku mendengarnya.. bagaimana keadaan mereka yang kuhajar?"

"semuanya ada di rumah sakit, dua diantara mereka berada di icu, sisanya masih tak sadarkan diri walaupun luka ringan." balasnya datar, "apa kau tidak tau cara menahan diri?"

mendengar ucapanya, aku hanya diam. jika kau di posisiku pada waktu itu kau tidak akan bisa menahan diri. lagi pula untuk apa aku menahan diri. aku menghela nafas panjang.

"hei, bisa kah kau melepas ini. hidungku gatal, lagi pula aku tidak akan pergi kemana mana."

"bukan aku yang bawa kuncinya."

"yang benar saja, lantas untuk apa kau disini." ucapku dengan nada sedikit kesal, "kau tidak datang hanya untuk membual hal yang tidak perlukan kan?"

"tentu saja tidak, aku disini untuk menyeretmu masuk ke penjara, orang orang barbar sepertimu harusnya berada di kandang diawasi dan diasingkan dari masyarakat umum."

"hah.. dan membiarkan masyarakat seperti mereka. melanggar hak hak orang lain, tak taat aturan. kau sendiri polisi bangsat, kenapa kau malah memilih menyelamatkan orang orang ini hah?" aku diam untuk beberapa detik, "apa karena salah satu dari mereka anak dari seorang petinggi pemerintah disini?"

ketika aku mengatakan hal itu, mimik wajahnya berubah. oh shit.. "siapa. apa dia yang berada di icu sekarang?"

lalu dia beranjak dari tempat duduknya, pergi dan tidak mengatakan apapun. kemudian dua orang masuk kedalam yang aku tebak mereka adalah petugas rumah sakit. kenapa aku bisa menebaknya, karena mereka mengganti infusku.

tiga hari berlalu.

kebosanan menguasaiku, aku ingin keluar dari ruangan ini, tak ada satu orang pun yang mengunjungiku, tak ada hp, tak ada teman untuk bicara. televisi hanya menayangkan hal hal busuk tak bermutu. ah, aku jadi merindukan kartun pagi di awal minggu. bukan karena aku tidak cinta dengan buatan lokal, tapi ayolah, kau tau apa yang aku maksud.

persetan dengan semua ini, aku lalu mencabut infus di tangan kanan. darah mengucur beberapa detik kemudian berhenti setelah aku tahan selama lima menit lebih. rasa sakit luka tusuk dan sabetan celurit tidak terlalu terasa. aku duduk di pinggir kasur. borgol sudah dilepas dua hari yang lalu ketika aku menyepakati untuk langsung ditahan jika kabur, siapa juga yang mau jadi seorang buronan. pengecut sekali.

setelah duduk beberapa menit untuk menguasai diri, aku beranjak dari tempat duduk. menuju pintu. memutar gagangnya dan fuck terkunci. really.. hah.. kutendang benda itu sampai terlepas dari tempatnya. terdengar suara wanita menjerit. aku keluar dari ruangan, mengirup udara sedalam dalamnya, "YESS.. udara segar" melihat ke kanan dan kiri, semua orang memandangku dengan tatapan ngeri.

"apa?"

mereka langsung lari. hah.. kenapa mereka, bodoh lah, aku mau jalan keluar. disini ada tukang jualan gorengan tidak ya. berjalan kekanan, mencoba mengikuti orang yang lari tadi. siapa tau mereka menuju jalan keluar.

dan ya.. benar, sekarang aku berada di luar gedung, tapi masih di area rumah sakit. terlihat ada sebuah warung aku langsung munuju tempat itu.

duduk dikursi kayu panjang, "monggo mas, minume nopo?"

"jeruk anget."

"makan?"

"nanti."

penjaga tersenyum ramah. aku langsung menyambar gorengan bakwan dan mengambil mangkok yang berisi cabai mentah. mengigit makanan itu, renyahan tepung yang berada di pinggir lalu empuknya bagian tengah, ditambah pedas cabai hijau. damn, itu membuatku terbangun kembali. ini enak sekali, dua, tiga empat, lima, dan aku lupa berapa gorengan yang aku makan sampai tak ada lagi yang tersisa di piring.

"enten meleh mboten bu?"

"sekejap mas, niki tembe di entas."

aku menunggu sambil menyesap minumanku. terdengar suara gaduh. lalu salah seorang masuk dan memesan es teh.

"enten nopo nggeh mas?" tanya penjaga warung, "kok dengaren enten rusuh rusuh."

"niku loh, pelaku pemukulan, ngerusak pintu terus kabur kadose, bu."

aku menyemburkan minumanku.

"alon mas."

aku tertawa didalam hati, wah bisa bisanya. "lah emange pripun niku bu kok iso diarani pemukulan."

"jarene toh mas, pelakune niku ngantemi cah cah smk, ngantos mplebet rumah sakit. terus kabur toh mas, lah dikejar meng polisi di tembak sikile. terus dirawat ten ngeriki."

'hhhmmm...' "sampun bu, gorengan se piring kaleh jeruk anget"

setelah membayar aku pergi ke mini market membeli beberapa celana dalam, baju ganti, dan keperluan lainnya. kemudian kembali ke kamar, lucunya tak ada orang disana serta pintu yang kutendang masih tergeletak ditempat yang sama ketika kutinggalkan. bahkan aku berjalan melewati satpam, menyapanya dan tak terjadi apa apa, tak ada penangkapan maupun apapun yang mencurigaiku dan aku masuk begitu saja, seperti tak terjadi apapun. sungguh.

kau tau apa yang aku lakukan sekembalinya aku ke kamar. aku langsung ke kamar mandi untuk buang air besar. sial, cabai yang kumakan pedas sekali. jadi ya, aku buang air besar. setelah itu aku berbaring di tempat tidur dan menonton televisi. setelah bosan, kemudian aku mandi.

selesai mandi dan mengganti baju, lalu duduk didepan kamar, sambil minum kopi yang aku beli di minimarket. pada saat aku menghabiskannya beberapa orang yang mengenakan baju polisi terlihat berjalan cepat kearahku.

mereka melingkariku, serta menodongkan senjata. aku mengangkat tangan. mereka berteriak dan menyuruhku untuk tiarap. sesaat aku mengikuti perintah mereka, dari kejauhan terdengar suara berat seseorang yang menghentikan mereka.

"TAHAN. turunkan senjata kalian." jeda beberapa detik, "Kembali ke pos masing masing."

aku pun berdiri setelah semua orang pergi, membersihkan bajuku dari debu lantai. kemudian duduk ditempat yang tadi.

"Rokok?"

"tidak, aku tidak merokok."

kami berdua diam selama beberapa menit, aku menenggak minumanku, pria ini menghisap rokoknya. 'bukanya ada larangan merokok di sini.' pikirku.

"Bukanya ada larangan merokok disini" ucapnya.

aku memandangnya terheran heran, 'hah.. bagaimana kau.' pikirku.

"hah.. bagaimana kau."

"hei, hentikan itu." aku terhenyak, "kau dukun atau polisi?"

"semua pintu di rumah sakit ini itu cara bukanya digeser." menghembuskan asap dari mulutnya. membentuk huruf O.

"aku tau itu."

dimatikannya rokok itu. lalu berteriak dan melototiku. "LANTAS KENAPA KAU MERUSAKNYA!?"

"MAU BAGAIMANA LAGI PINTU ITU DIKUNCI" timpalku tidak kalah tinggi.

"astaga." ia mengusap wajahnya, "setiap pintu di rumah sakit ini tidak terkunci kalau ada pasien di dalamnya. kau bodoh atau apa??"

'tapi saat aku coba buka tidak bisa.' pikirku.

"tapi saat aku coba buka tidak bisa. haah... kau ini, jika hal ini terdengar sampai atasan, bangsat.... aku tak apa yang akan terjadi padamu. paling tidak kau tidak melarikan diri." dia meregangkan tubuhnya, "oh iya, aku lupa memberikan ini padamu."

pria itu menyodorkan kertas yang terlipat dari sakunya, "apa ini?"

"tentu saja tagihan untuk biaya pengobatanmu dan korbanmu."

ketika ku terima, kertasnya lecek sekali, "HAH.. seratus dua belas juta. apa apaan ini--." hening, "oh.. ok."

"jadwal sidangmu dua hari lagi, jika kau butuh pengacara akan aku carikan, tapi tentu saja akan menambah biaya."

aku berpikir beberapa menit.

"bagaimana?"

"tidak, tidak usah.. terimakasih."

"baiklah, aku tinggalkan kertas itu, dan ini jika kau berubah pikiran." ia kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya, lalu beranjak pergi. "Jangan lupa dibayar."

menghilang dibalik kerumunan orang orang yang memenuhi lorong, pria yang menyeramkan. bisa bisanya dia tau apa yang aku pikirkan. dukun.

hari berikutnya aku keluar dari rumah sakit, dikawal oleh satu lusin polisi bersenjata. entah ini terlalu berlebihan atau mungkin aku sangat berbahaya, entahlah. aku hanya ikut saja permainan mereka, lagi pula, kulitku masih bisa tergores oleh benda tajam. aku tidak seperti polisi kemarin, aku sangat yakin dia pakai ilmu hitam dan mungkin pria itu punya ilmu kebal. masuk ke mobil polisi, dan diantar ke apartementku. suara sirine mengiringi perjalanan.

tak ada perbincangan apapun, hanya diam, dan sesekali suara radio taktik. aku diapit oleh polisi lengkap dengan penutup wajah, helm taktikal, senjata laras panjang. tanpa borgol di tanganku. tapi itu percuma, mau bergerak pun. ini sempit sekali.

sesampainya di depan gedung, aku keluar dari mobil, cahaya jepretan kamera membutakan mataku sesaat. puluhan mulut bersuara bersamaan, membuat telingaku berdengung, "No comment" ucapku berulang ulang, aku berusaha sekuat mungkin menahan amarahku, bukan karena ucapan mereka tapi cahaya yang keluar dari kamera. benci sekali aku, bukan hanya itu, lampu tembak dari kendaraan roda empat juga membuatku geram. pedas sekali dimata. untung polisi polisi ini membukakan jalan untukku ke elevator.

tujuanku ke sini adalah, untuk mengambil barang barang yang diperlukan untuk pengadilan, serta buku tabungan. penarikan uang seratus juta lebih membutuhkan waktu dan harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu. untung saja uang hasil pertandingan masih cukup untuk membayarnya. terlebih saran dari untuk menginvestasikan uangku ke saham juga membantu dalam pemasukan lain di kehidupanku. hanya saja, pengeluaran sebesar itu dalam satu hari membuat jiwaku terguncang.

semua uang hasil pertandingan diberikan melalui transfer, tapi kali ini tidak ada transaksi virtual, nominal terbanyak yang pernah aku pegang sebelum ini hanya tiga puluh empat juta, itu pun untuk membeli sebuah rangka sepeda. teman teman menyarankanku membeli mobil tapi aku menolaknya, alasan utamaku karena aku tidak bisa menyetir. dua belas kali aku ikut pelatihan tak ada yang berhasil. sepertinya aku dikutuk oleh seseorang yang pernah aku rusak kendaraannya karena parkir sembarangan didepan kontrakanku dulu.

setelah mengambil barang barangku, dan kembali ke mobil, kali ini mereka membawaku ke bank untuk memesan uang, lalu menuju ke kantor polisi untuk memenuhi panggilan. dan kembali lagi ke apartement, tentu saja polisi polisi itu masih mengawalku, mereka berada di luar pintu. telefon gengamku hilang, aku mengetahuinya saat di rumah sakit di hari pertama, untung dompet beserta isinya tidak ikut hilang.

telefon berdering, "halo."

"hei, kau yakin tidak menggunakan pengacara?"

"tidak, aku sudah siap dengan resikonya."

"baiklah, sampai bertemu besok."

"ya."

sekarang apa. oh. aku kemudian kembali menggunakan telefon, mengingat ingat nomor lalu memanggil adikku, beberapa kali aku menelfonya, tak ada respon, menyerah dan berjalan menuju kulkas, mengambil sekaleng susu dan beberapa makanan ringan serta biskuit. menaruhnya di meja tengah, duduk bersandar di sofa menyalakan televisi.

memilih saluran olahraga luar negeri, mendapatkan saluran itu dan sedang menayangkan pertandingan baseball. Yankee melawan Boston. sampai dengan ining ke 4 dering telefon mengalihkan perhatianku dari televisi.

beranjak dari sofa menuju sumber suara.

"Halo. alex disini." jawabku

"dimana kau tiga hari terakhir. aku khawatir tau, di chat, telfon, tanya temen."

"hei, hei, dengerkan aku.. aku dalam masalah, tapi kau tak usah khawatir, aku bisa mengatasinya."

"jangan khawatir.. " dia terdiam sesaat "oh tuhan... kau tau kan kau adalah satu satunya keluarga yang tersisa."

dicerca seperti itu membuat aku terhenyak, membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika aku berada dibalik jeruji.

"dimana kau sekarang?"

"aku di apartemenku."

"diam disitu, kau bergerak, aku akan membencimu seumur hidupku. mengerti?" ucapnya.

"ok. ok."

2 jam kemudian, terdengar suara gaduh didepan pintu. aku bergegas keluar, terlihat wanita putih, berhidung mancung, iris mata berwarna hijau kekuningan, rambut pirang. beradu argumen dengan kedua polisi bersenjata lengkap.

menghampirinya, "Helen.. pak ini adikku." semua orang memandangiku. tak lama mereka mengizinkannya masuk kedalam.

"apa apaan sih mereka, kenapa mereka membawa senjata laras panjang. kau tidak sedang terlibat dengan terorisme kan?"

aku menggeleng, mempersilakannya duduk, "kopi?" dia melirikku dengan sinis, lalu menggeleng dan mengecap, "teh.?" lanjutku.

"Really.. you got a trouble and then ask me drink? isn't the right time to do that.. ya tuhan, kenapa... ah.." dia menghela lalu menatapku dengan tajam.

"tapi kan kau barusan sampai jadi kau pasti haus k-" ucapku terbatah batah, lalu Helen teriak dengan nada marah.

"DUDUK!"

aku langsung duduk di lantai, 'sial sial sial sial sial.' kau ingat waktu aku berkata ada empat orang bisa membuatku merinding ketakutan? selain mereka ada satu lagi orang yang melebihi mereka. ya kau benar, wanita ini. tubuhnya kecil atau bisa di bilang ramping, idaman semua wanita, mungkin. namun ketika dia marah beberapa orang yang berada isekitarnya seperti membeku tak bisa bergerak dan menuruti semua perkataanya.

"Hah.. punya kakak sepertimu satu saja sudah membuatku pusing, coba saja ada mama disini. pasti tidak sampai seperti ini. sekarang ini apakah dia marah atau malah bersedih melihat anak laki laki satu satunya membuat onar di bumi." ia mendongak.

aku terdiam ketika dia membahas hal tersebut. menunduk, menyangga kepalaku dengan kedua tangan...

"Astaga Kak... sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi?"

kemudian aku menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir kejadian yang menimpaku, atau lebih tepatnya yang kejadian yang ku buat.

"dan kau sidang besok?"

"Yup"

"Tanpa pengacara?"

aku mengangguk pelan..

"ARE YOU STUPID OR WHAT?"

"Tapi aku punya ren" sebelum aku menyelesaikan ucapanku, suara telpon berdering. ketika aku hendak menuju benda itu, Helen menyuruhku untuk tidak bergerak.

Diangkatnya telp itu,

"Halo..."

jeda beberapa detik..

"Ini adiknya, eemm.. ya, ya, kalau boleh, ada biayanya?"

jeda beberapa detik lagi..

"baik baik, terimakasih, besok jam 10 ya, ya... terimakasih banyak."

entah pembicaraan apa yang terjadi, aku hanya mendengar, sedikit. "siapa barusan??"

"diam, kau tidak diperbolehkan bergerak dan bicara mulai detik ini sampai besok jam 10. Paham?!"

kami saling bertatap.. tak berkedip sampai adikku mengulangi perkataannya "PAHAM?"

hening....

"Dijawab Goblok!"

"Katanya dusuruh diam dan tak bergerak." ucapku polos.

"Astaga Tuhan..." dia menepok jidatnya "hhhhhiiiiiii.... gemes banget aku pingin tabokin kepalamu pake teflon, sudah sudah, hari ini aku tidur di sini. ikuti semua perintahku kalau tidak, aku akan membencimu seumur hidupku, Ingat itu!!"

aku mengangguk..

hari bergati, ruangan sudah dipenuhi oleh banyak jurnalis, orang orang yang menonton, dibelakang, aku duduk disamping Helen dan seorang pria yang tidak aku kenal yang aku yakin itu adalah pengacara sewaan adikku, sebelah kanan terlihat jaksa penuntut umum, di depan majelis hakim, di sebelah kiri penasihat hukum.

ini adalah persidanganku yang pertama, dimana aku dijadikan sebagai tersangka. aku benar benar gugup. aku genggam erat tangan Helen.

"Persidangan tentang penganiayaan dengan tersangka Alexandria Erwin akan dimulai, Hakim akan memasuki ruangan."

avataravatar