webnovel

Bab 2 Kenangan yang Tidak Pernah Buram

Setelah melarikan diri dari ruangan meeting, aku terduduk di tangga darurat untuk merenungi nasibku.

Nisa Faresya Wardhana.

Nama itu tidak pernah kulupakan.

Wajahnya masih secantik dulu. Hanya saja beberapa bagian sudah berbeda.

Dia dulu selalu jerawatan. Sekarang wajahnya mulus.

Dia dulu kuning langsat. Sekarang kulitnya putih.

Aku tidak mengharapkan pertemuan yang seperti ini.

Aku sungguh malu dengan diriku.

Dia sudah meraih cita-citanya. Sedangkan aku masih disini saja. Aku belum juga move on darinya.

Aku malu dengan kata-kataku padanya. Seharusnya aku memberikan kata perpisahan yang baik padanya. Bukan kata-kata kasar. Aku sungguh menyesal.

Ya Tuhan...

Dadaku rasanya sesak. Kenapa aku secengeng ini...

Drrtt... Drrtt

"Halo, Pak Anggi?"

Kudengar helaan nafas. Perasaanku jadi tidak enak.

"Ikhsan, kau ini kenapa?"

Aku terdiam. Ada apa

"Sepertinya Mbak Nisa tersinggung dengan sikapmu. Dia ingin mengundurkan diri dari proyek mesin baru ini. Kau ini... Dia trainer yang paling berpengalaman. Ckckck... Kesini kau..."

Aku masih terdiam.

Apa dia tidak mau bekerja denganku.

Aku bergegas pergi ke ruangan GM

**********************************************************

Di perjalanan pulang aku hanya bisa termenung saja. Pak Anggi benar-benar marah. Astaga...

Bukan karena aku tidak mau bekerja sama dengan emm Nisa. Hanya saja aku masih menata hatiku terlebih dahulu.

Ku remas erat kertas di tanganku. Kertas yang berisi nomor handphone nya.

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana padanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi nomor yang sudah ku hafal dari bertahun-tahun yang lalu.

Tuttt... Tuttt...

Dia tidak mengangkat teleponku.

Ingin rasanya kupecahkan hape di genggamanku ini.

Tarik nafas... Buang nafas...

Sabar Ikhsan... Sabar...

Sekali lagi kuhubungi nomornya.

"Hallo..." Akhirnya suara itu Ya Tuhan... Rasanya aku ingin menangis...

"Hallo... Hallo... Pak Ikhsan?"

Dia memanggil namaku. Aku tidak bisa berkata-kata.

"Hallo... Apa mungkin kepencet... "

Aku buru-buru menjawab, "Hallo..." Suaraku seperti tercekik.

"Iya, Pak?"

Dia formal sekali.

"Bisa kita bertemu sekarang di Platter? Kamu tentu masih ingat alamatnya." Sengaja aku menggunakan nada dingin padanya. Salah siapa dia formal sekali denganku.

"..."

Dia terdiam agak lama kemudian menjawab,"Emm Iya, Pak,"

Ku tutup teleponnya. Rasanya aku begitu bersemangat ingin bertemu dengannya. Segera kuarahkan mobilku ke arah Jalan Kertaya Indah. Di jam-jam ini Surabaya sungguh dalam kondisi yang sangat macet.

Sambil menikmati kemacetan yang entah sampe kapan di Sukolilo, aku mengingat kenanganku dengannya. Aku sungguh-sungguh merindukannya. Setiap malam setelah perpisahan itu aku benar-benar merindukannya. Ada beberapa bajunya yang terbawa padaku. Aku bisa tidur setelah mencium aroma bajunya. Setiap kali berkunjung ke kotanya, aku berharap bisa kebetulan bertemu dengannya. Sampai tiga tahun berlalu ternyata takdir mempertemukan di kantorku. Aku tidak menyangka sudah satu tahun ini aku sekota dengannya.

**********************************************************

Setelah menahan kemacetan setengah jam, akhirnya aku sampai di Platter. Suasananya masih sama. Sepertinya dalam beberapa tahun ini tidak merubah kondisi Platter.

Aku masuk ke dalam dan ternyata Nisa sudah datang. Dia masih sama seperti dulu. Selalu tepat waktu. Aku juga masih sama. Masih sering terlambat.

"Emm... Hai..."

Dia mendongakkan kepala. Cantik

"Iya, apa kabar," senyumnya tidak sampai di mata.

"Baik, kamu sendiri?"Tanyaku dingin.

Dia hanya mengangguk.

"Seperti biasa?"

Dia masih mengangguk dan meremas tangannya.

Aku memesan spicy chicken untuknya dan beef steak untukku. Dia sungguh pendiam. Seingatku, Nisa bukanlah wanita pendiam. Dia ceria.

"Sudah lama menungguku?"

Dia hanya diam dan mengaduk-aduk makanannya.

Aku bingung mau menjelaskan situasi kantor padanya.

"Em, Nis, kamu..."

"Maaf, Pak Ikhsan, sa... saya... tidak pernah sekalipun bermaksud untuk nampak di hadapan Bapak,"

Aku terkejut saat dia memotong kalimatku. Aku mengepalkan tanganku. Kurang ajar sekali dia.

"Saya... Saya sudah setahun ini tinggal di Surabaya. Saya sudah berusaha untuk tidak menampakkan diri..."

Dia menundukkan kepalanya. Ingin rasanya kubenturkan kepala cantiknya itu ke meja.

"Lalu, apa maksudmu?"Kataku dengan dingin.

Nisa meremas-remas tangannya lagi.

"Saya... Saya... Saya mohon maaf..."

"..."

Aku hanya menatapnya dengan dingin. Apa-apaan dia ini. Apa dia masih sakit hati dengan kata-kataku di persidangan.

"Saya akan mengundurkan diri, Pak..." Katanya pelan.

Aku mendengus kasar. Aku mempertahankan ekspresi dinginku.

"Kau, apa kau masih mencintaiku?"

Pertanyaanku membuatnya mendongakkan kepala dengan cepat. Dia masih seperti dulu. Hanya dia wanita yang berani menatapku dengan sengit.

"..."

"Aku tanya sekali lagi, Kau... Masih... Cinta... Padaku..." Sengaja kukeraskan nada bicaraku.

Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kulihat matanya berair.

"Mas... Kau tau, aku tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk mengambil nyawa anakku. Aku juga menyayanginya. Aku mencintainya. Aku juga menunggunya selama tujuh tahun."

Aku tersentak. Dia mengungkit masa lalu kelam kami. Hati rasanya seperti terkobar api.

"Aku tidak pernah bermaksud bertemu muka denganmu, Mas."

Aku mengeraskan rahangku. Dia sungguh membuatku marah.

"Terserah kau saja. Aku muak."

Aku benci dengan mulutku yang mudah mengeluarkan kata kasar.

"Aku pamit dulu."

Kulihat dia pergi tergesa-gesa.

Aku bahkan tidak bisa mencegahnya.

**********************************************************