1 Part 1

Part 1 : Prolog

#Author POV

"Iya pak, ia wanita gila yang sering telanjang di hadapan semua pria!" Hujat salah seorang ibu yang sedari tadi ingin menjambak rambut si wanita gila.

"Iya! Benar pak! Bahkan ia juga pernah ditiduri oleh para tukang becak di depan lorong itu!" Hujat salah seorang lagi.

"Iya bu, sabar! Jangan main hakim sendiri," ungkap salah seorang polisi pamong praja yang sedang menenangkan ibu-ibu yang geram karena beberapa hari ini kampung mereka kedatangan wanita gila yang sering telanjang.

Lalu, mendekatlah seorang pria yang diduga seorang polisi. Ia cukup sopan dengan tubuh tegak. Mungkin ia bukanlah polisi lapangan karena warna kulitnya berbeda dengan polisi kebanyakan. Wajahnya kalem dan speertinya ia seorang penyidik dari kepolisian setempat.

"Cepat bawa pergi pak! Kau lihat para lelaki disana! Mata mereka jelalatan lihat Si Gila Najis ini. Astaghfirullah!" Hujatan-hujatan itu hanyalah sebagian kecil yang didengar oleh si wanita gila.

"Bagaimana ini pak?" Ungkap seorang polisi pamong praja yang sedari tadi menutupi amukan warga terhadap si wanita gila.

"Kita bawa saja ke Polsek, kita mintai keterangan apakah benar wanita ini gila!" Ujar polisi muda kepada Satpol-PP yang kebetulan bertugas.

"Pak. jangan lupa bawa ini. Ini pakaian yang ia buang di sepanjang lorong." Seorang wanita tua melempar pakaian yang diduga milik si gila.

"Apa!? Ia berpakaian." Polisi muda itu menatap keheranan. Ia memeriksa pakaian itu, ia menemukan pakaian lengkap dengan bra dan celana dalam. Pakaian itu biasa saja, bukan pakaian yang selalu dikenakan oleh orang gila. Biasanya orang gila berpakaian rombengan atau kusut karena tak pernah dicuci. Sedangkan pakaian itu cukup layak dan biasa dikenakan oleh orang biasa.

"Cepat bawa orang gila ini!" Teriak slaah seorang wanita dari kerumunan.

"Cepat, bawa ke polsek." Ujar polisi itu seraya melepas jaketnya dan menutupi tubuh wanita itu.

Ketika wanita itu dipapah oleh salah seorang anggota Pol-PP. Tubuh si gila terlihat oleh sang polisi muda. Ia memastikan wanita itu bukanlah seorang gila karena ia memiliki tubuhnya yang seksi. Wajahnya juga putih walau seperti layaknya wajah perempuan melayu Sumatra. Buah dadanya menggantung dengan puting susu kecoklatan. Dan bulu jembut yang tercukur rapi memenuhi liang selangkangannya.

Setelah di polsek. Beberapa Polwan mencoba untuk memakaikan pakaian wanita itu kembali. Wanita itu tak mengamuk ketika beberapa polwan mencoba untuk melakukan pendekatan secara persuasif terhadap dirinya.

"Seharusnya ia dibawa ke dinas sosial atau rumah sakit jiwa." Ucap Trisno yang mengurungkan niatnya untuk pulang karena ia bertemu dengan serombongan Mobil Pol-PP dengan wanita setengah telanjang di atasnya.

"Pak Trisno," ujar polisi muda itu mendekati atasannya.

"Ardi, kau yang bawa dia kemari?" Potong pak Kapolsek.

"Iya pak, saya Babinkamtibmas. Ia ditemukan sedang melepas bajunya di sepanjang lorong. Ia sepertinya tak sedang gila. Di Polsek ini ada satgas perlindungan perempuan dan anak-anak, bukan?" Ujar Ardi yang sepertinya peduli dengan Si Wanita.

"Ya, ada. Tetapi ini sudah sore, bu Marni ketua divisi,,," Pak Kapolsek sepertinya beralasan.

"Tenang, Bu Marni akan datang, ia sudah kuhubungi selama perjalanan." Potong Ardi yang baru saja diangkat menjadi Babinkamtibmas oleh pak Kapolsek. Pangkatnya masih Bripka. Ia memiliki banyak channel di setiap daerah kekuasaannya. Sehingga ia langsung tahu bahwa ada kabar wanita gila yang menggoda pria di lorong itu. Lalu kumpulan Pol-PP yang datang hanya kebetulan semata. Mereka mendengar keributan karena ada seorang wnaita yang diseret oleh sekumpulan Ibu-ibu keluar lorong. Lalu mereka datang untuk melerai mereka.

Tak lama, Bu Marni datang. Ia seorang Polwan dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP). Ia cukup mahir menyeleseikan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan wanita. Ia selalu datang kapanpun ada kasus. Bahkan tengah malam sekalipun.

"Ardi, mana orang gila yang kau ceritakan!" Ungkap Bu Marni yang tergesa-gesa memasuki Polsek.

"Mmnnn, ia diikat di ruang verbal bu!" Bripka Ardi belum sempat menjelaskan duduk permasalahnya kepada Bu Marni, namun Bu Marni terus nerocos tanpa henti.

"Lho!!! Kenapa di verbal. Ia belum tentu jadi tersangka! Katanya ia gila. Gimana Siiiih!!!"

"Tu,,tunggu bu. Ia mencoba untuk bunuh diri dengan mengedorkan kepalanya ke dinding. Jadi kita ikat di ruang verbal."

"Oh, mana orangnya."

AKP Marni kuncoro memiliki seorang anak, ia juga akan dijadikan sebagai polisi juga. Sifatnya yang ke-ibu-an sebenarnya tak cocok untuk pekerjaan sebagai polisi. Namun justru itulah Pak Trisno membuka satgas perlindungan anak dan perempuan di Polseknya. Bu Marni sepertinya cocok sebagai ketua divisi tersebut.

Setibanya di ruangan, ia melihat seorang wanita duduk dengan tangan terikat. Rambutnya yang keriting terlihat menakutkan ketika berantakan. Bu Marni didampingi oleh dua orang ajudannya dan bBripka Ardi selaku saksi mata.

"Hmn, siapa namamu?" Tanya Bu Marni.

Wanita gila itu melirik ke arah Bu Marni, wajah Bu Marni yang lebar membuatnya ingin tertawa. Lalu,,,

"Hahahahahahahaha,,," Wanita itu tertawa sejadi-jadinya. Entah apa yang ia tertawakan, sepertinya ia sedang menertawakan Bu Marni.

"Apakah ada tanda pengenal?" Tanya Bu Marni.

"Tidak ada Bu, ia tak membawa dompet atau apapun. Bahkan uang saja tak ditemukan di saku celananya." Jawab Pak Ardi karena ialah salah seorang polisi yang datang ketika kejadian tersebut.

Bu Marni polwan berpengalaman itu menatap ke arah tubuh wanita yang selalu menunduk itu. Kedua tangan wanita itu terikat di lengan kursi sehingga ia tak mampu lagi melakukan apapun.

"Kita bawa ke lapas wanita sebagai perlindungan, bukan sebagai tersangka." Ucap Bu Marni kepada dua polwan rekannya. Lalu ia berbalik ke arah Pak Ardi. "Pak, bisa bantu buat berkasnya."

"Baik bu."

Sungguh kasus yang aneh, wanita itu berjalan ke perkampungan dengan melepas pakaiannya satu persatu. Apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu? Ia melakukannya disaat para pria sudah pulang dari tempat kerja. Mungkin ia mempunyai kelainan atau apa? Itulah yang ada dipikiran Bu Marni ketika membawa wanita itu menuju lapas wanita. Di tempat itu, tak ada kecanggungan untuk mengorek informasi tentang wanita gila ini. Jika di polsek mungkin akan menimbulkan keributan.

Keesokan paginya, wanita itu terbangun di atas ranjang bertingkat. Wajahnya suram dan kusut. Rambutnya kusut dan ia sendirian di kamar itu. Pikirnya, ia berhasil mengelabuhi polisi dengan berpura-pura gila. Sungguh malang sekali nasibnya, birahinya bagai sebuah kutukan menyesatkan. Apakah ia dulu salah memilih suami atau apapun pasti ada hubungannya dengan masa lalu.

Tak lama berselang, pintu terali besi itu terbuka dan berdiri seorang Polwan dengan membawa pentungan. Di pinggangnya tersampir pistol kejut listrik jikalau ia diserang oleh seseorang dan ditangan kirinya tersampir handuk dan peralatan mandi. Ia menatap ramah ke arah wanita yang kemarin gila itu. Wajahnya terlihat iba, namun diselingin lengkunhan keheranan. Bagaimana wanita secantik itu melakukan hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang wanita.

"Keluarlah, jika kau sudah sadar." Ujar Polwan itu kepada si wanita gila.

Wanita itu bangkit dari ranjang dan melangkah gontai ke arah pintu. Wajahnya menunduk tak berani menatap mata sang Polwan.

"Mandilah sebelum menemui penyidik." Ungkap sang polwan.

Penyidik!!! Tubuh wanita itu bergetar ketika mendengar kata-kata itu. Kakinya mendadak kaku. Sepertinya wanita gila itu kembali berulah.

"Penyidik, aku tak bersalah, bu." Ucapnya seraya mundur dan memasuki jeruji besi itu lagi.

"Eh, iya-iya, mbak memang tak bersalah. Mbak hanya dititipkan disini untuk sementara waktu." Bujuk sang Polwan kepada si wanita gila.

"Tidak! aku tak mau dipenjara!" Seru wanita gila itu.

"Iya, mbak memang tak dipenjara. Itulah saya minta mbak keluar dari penjara." Sepertinya sang Polwan tahu benar dengan kondisi si wanita gila. Ia menatap sekitar dan memberitahu secara non- verbal bahwa sekarang wanita gila itu berada di dalam penjara. "Ayo mbak, kita mandi terus makan."

Si wanita gila terbujuk oleh Polwan. Ia melangkah ragu mengikuti ke arah Polwan. Lalu sang Polwan merangkul si wanita agar ia tak kembali berulah. Mata sang Polwan menatap iba ke arah wanita. Ia khawatir bahwa si wanita adalah korban pelecehan seksual. Biasanya pelecehan seksual dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan cidera secara psikologis. Ia sudah berdiskusi dengan AKP Marni, bahwa kepolisian akan memanggil seorang dokter jiwa apabila dibutuhkan. Sungguh berat rasany berasa di sisi wanita itu. Biasanya sang Polwan yang bertugas di Lapas wanita hanya mengurusi tindak kriminal yang dilakukan oleh wanita. Dan sebagian besar yang dibina adalah tersangka kasus perdata, seperti arisan bodong atau piutang. Selain itu kasus kepemilikan obat terlarang, penganiayaan terhadap sesama wanita dan beberapa diantaranya adalah pencurian. Jarang ada tindak kriminal yang dilakukan oleh wanita, namun banyak sekali korban kriminalitas ditarget kepada wanita.

Sang Polwan dan wanita gila memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu adalah ruang mandi. Ruangannya bersekat tanpa pintu dengan air shower yang menyegarkan. Di bagian ujung terdapat kamar mandi untuk membuang hajat.

"Pintu akan kukunci dari luar. Ketuklah jika sudah selesai." Ucap sang Polwan disertai senyum keramahan. Ia tak ingin dianggap sebagai polisi yang kejam. Ya,,, mereka yang bekerja di lapas wanita bekerja dengan hati, sehingga dapat memberikan pembinaan secara persuasif terhadap para tahanan.

Wanita itu memasuki ruangan mandi. Pintu utama terkunci rapat. Udara hanya masuk lewat beberapa jendela ventilasi kaca buram yang diluarnya diberi terali besi. Dinding tebal dilapisi keramik terasa dingin. Wanita itu membuka pakaiannya satu persatu dan meletakkannya di sebuah rak kayu yang telah disediakan.

Lalu,,,

Pintu utama kembali terbuka, sepertinya terjadi gurauan di depan pintu. Seorang wanita memohon masuk ke dalam ruang kamar mandi masal itu.

"Kau belum mandi, Evi?" Suara Polwan itu terdengar menggaung diantara dinding-dinding tebal nan dingin.

"Belum bu, tadi pagi saya harus membantu Yuk Tina di dapur." Ungkap seseorang tahanan bernama Evi itu.

"Ya sudah cepet!" Ungkap Polwan itu.

Wanita bernama Evi itu memasuki ruang mandi. Lalu ia terkejut menatap si wanita gila yang sudah telanjang.

"Lho, ada orang rupanya." Ucap Evi menatap wanita gila itu. Matanya menatap tajam dari atas kebawah. "Mbak belum pernah terlihat, baru masuk ya?"

Wanita gila itu mengangguk perlahan tanpa menjawab dengan kata-kata. Evi adalah sosok wanita muda yang terlihat ramah. Namun kenapa ia dipenjara.

"Ayuk, namanya siapa?" Tanya Evi seraya mengulurkan tangannya.

(Ayuk/Yuk = Kakak perempuan, bahasa palembang)

"Mmmmm,,, Ma,,, Maria,,, Mariana." Ucap di wanita gila itu.

"Oh, Yuk Maria, perkenalkan aku, Evi." Ucap Evi memperkenalkan diri. Evi kelihatannya terlalu akrab dengan Maria, si wanita gila. Sampai-sampai, "Kasusnya apa kok masuk sini? Terus dakwaannya berapa lama."

Wanita gila yang diketahui bernama Maria itu terlihat gagap. Ia tak tahu apa kasusnya, ia hanya terperangkap oleh birahi yang tak pernah dirasakan oleh wanita lain. Ia menikmati pandangan setiap pria yang memandangnya secara keji, ia berharap pria itu tertarik dan menarik tangannya ke kamar lalu mengawininya. Sungguh kasus yang aneh untuk jaman yang cangging ini.

"Oh, nggak apa-apa, tak harus diceritakan sekarang." Evi menatap tubuh telanjang Maria. Wajahnya tak begitu cantik, namun tubuh Maria cukup sempurna. Buah dada Maria cukup besar dan proporsional dengan perutnya yang rata, belum lagi belahan selangkangannya ditumbuhi bulu-bulu yang tercukur rapi, kakinya jenjang dengan bongkahan pantat yang sesuai dengan tubuhnya. Jika dilihat Maria cocok disandingkan dengan bintang film panas. Berbeda dengan tubuh Evi yang gendut.

"Ayo yuk, Mandi." Evi beralih ke bilik samping dan menghilang dibalik sekat.

Suara guyuran air membasahi tubuh Maria. Tubuhnya serasa segar dengan rintikan air mengaliri setiap senti tubuh indahnya. Di tengah suasana yang menenangkan itu, Evi kembali mengoceh.

"Mau tahu nggak yuk, kasusku apa?" Evi berkata dari bilik samping.

"Hmn," Maria menggumam.

"Aku nujah selingkuhan laki aku. Untung dio ndak mati. Hahahaha," ucap Evi seenaknya saja. (Aku menusuk selingkuhan suamiku. Ungtung dia nggak mati)

Maria kelihatannya tertarik dengan kasus Evi. Lalu Maria bertanya kembali, "Terus."

"Habisnyo aku kesel, setiap hari WA-an samo laki aku. Aku ambek handphone laki aku, terus kuajak ketemuan, habis itu kutujah tanpa tanyo lagi." Kata Evi serraya menunjukan kekesalannya. "Padahal aku cinto nian sama laki aku. Tapi aku puas lah nujah dio." (Habisnya aku kesal, setiap hari dia WA sama suamiku, aku curi handphone suamiku, terus kuajak ketemuan, setelah itu kutusuk tanpa bertanya lagi.) (Padahal aku sangat mencintai suamiku, tapi aku puas sudah menusuknya)

"Lha terus, lakimu?" Tanya Maria penasaran.

"Dio milih samo betino itu, tapi tenang bae, setelah keluar gek nak kubunuh mereka berduo." Kata Evi. (Dia pilih dengan wanita itu, tapi tenang saja, setelah keluar nanti akan kubunuh mereka berdua.)

"Oh," jawab Maria singkat. Ia berpikir seandainya Maria mengencani suami Evi. Mungkin ia-lah yang ditusuk oleh Evi. Perselingkuhan yang dilakukan oleh suami Evi memang tak bisa ditolerir. Evi mencintainya, namun sang suami mengkhianatinya.

Tak berselang, mereka berdua menyudahi mandinya. Lalu mereka memakai pakaian masing-masing. Evi melirik tubuh Maria yang terlihat cukup seksi. Lalu Evi berkata dalam batinnya, "Apo wong ini kasusnya prostitusi online, A1 dio pasti PSK yang ditangkal polisi." (Apa orang ini terkait kasus prostitusi online, A1 dia pasti PSK yang tangkap polisi)

"Ayok yuk, cek Tiara gek marah kalau lamo-lamo!" (Ayok mbak, Tiara pasti marah kalau lama-lama)

=====

Setelah mandi, Maria ditemani oleh Polwan bernama Tiara ke ruang makan. Maria tak begitu bernafsu untuk makan, sehingga ia tak menghabiskan setengahnya. Tiara hanya fokus kepada smartphonenya saja. Ia tak memgajak bicara Maria atau menanyakan sesuatu, mungkin ia tahu bahwa Maria akan ditanya banyak hal di ruang penyelidikan nanti.

Setelah selesei makan, Maria diajak keruang penyelidikan. Ruangan itu cukup di besar dengan meja ditengah ruangan. Di meja itu terdapat empat buah kursi yang akan diduduki oleh Maria salah satunya. Disana, sudah duduk dua orang wanita. Yang satu adalah Polwan bernama AKP Marni, dan satunya adalah dokter kejiwaan bernama dr. Endah. Sang Dokter menatap ramah kearah Maria, namun berbeda dengan AkP Marni yang terlihat sibuk dengan dokumen dihadapannya.

"Duduklah," perintah AKP Marni kepada Maria.

"Namamu, Mariana, benar?" Tanya AKP Marni.

Maria hanya mengangguk ketakutan. Wajahnya panik karena baru pertama kali ia ditanyai diruangan seperti ini.

"Tak perlu takut mbak Maria, kau bukan kriminal, kita disini hanya ingin membantumu. Tetapi syaratnya kami harus mengetahui masalahmu." Ungkap dr. Endah dengan ramah. Sepertinya ia memberi kode kepada AKP Marni karena Maria terlihat ketakutan.

"Ya, jadi kenapa kau membuka baju di dalam lorong itu, terus kau dikeroyok oleh ibu-ibu disana?" Tanya AkP Marni.

Maria menengadahkan wajahnya. Ia menatap kedua wanita berpendidikan itu. Ia merasa malu karena martabatnya sebagai wanita sudah tak ada harganya lagi. Ia seorang eksebisionis yang sangat hina. Ia tak mampu menjawab, alanglah baiknya ia menceritakannya dari awal.

"Ceritanya panjang, bu Polwan, bu Dokter." Ucap Maria dengan penuh rasa memelas.

"Tak apa, ceritakanlah Mbak. Kami siap mendengarkan."

"Begini ceritanya,,,,,,,,

Bersambung. . .

Cerita ini kupersembahkan untuk seluruh wanita yang menjadi korban kekerasan oleh para Pria... semoga terhibur...

avataravatar
Next chapter