11 Piano Vaz

Para Xanders sedang berdebat di Althea, ada sebuah kesedihan yang harus mereka tuntaskan. Seorang laki-laki muda sedang putus asa di bawah sana karena baru saja kehilangan pekerjaan paruh waktunya yang merupakan satu-satunya tumpuan hidupnya untuk melanjutkan kuliah musik yang memang sangat dia cintai. Sang ayah juga hanya tukang mabuk tidak bisa memberi apa-apa untuknya. Ibunya sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Namanya James, 18 tahun dari Belanda.

"Jadi siapa yang akan turun kali ini?" Tanya Basta mencoba berdiskusi.

"Entah kenapa aku mengingat Orfe. Sedikit mirip bukan dengan kisah ini. Maaf bukan aku berniat membuatmu teringat kembali Orfe." Ucap Ega saat itu.

"Ya dia juga menyukai musik dan terhalang kondisi keluarga sama sepertimu." Ucap Dion ikut bicara.

"Aku rasa sebuah permainan musik di tempat dia sedang berada sekarang akan bagus." Ucap Alvo juga berpendapat.

"Kalian tahu kan aku tidak terlalu percaya diri untuk melakukannya sendiri. Akan ada banyak orang yang menonton dan aku takut." Ucap Orfe tak yakin.

"Kau bisa pergi dengan Vaz. Kalian bisa bermain musik bersama." Saran Basta yang tentu membuat Orfe berharap.

"Tolonglah. Kalian tahu kan aku tidak ingin turun ke bawah untuk menjalankan sebuah misi?" Ucap Vaz sudah bersiap menolak.

"Ayolah Vaz. Kau sudah cukup lama menghindari misi-misi yang diberikan padamu. Malghavan ini harus terus melangkah termasuk kita didalamnya. Ingat tujuan utamamu berada disini adalah membuat orang lain bahagia. Bagaimana kau bisa melakukannya kalau kau terus berada di Malghavan?" Ucap Basta terus mencoba merayu.

"Aku kan sudah pernah mengatakan sebelumnya. Aku akan membantu dengan caraku dan kalian juga bisa lihat kan selama ini semua masih bisa berjalan dengan sebagaimana mestinya." Ucap Vaz mulai sedikit emosi.

"Tapi sampai kapan Vaz? Kau bisa lihat sendiri kita hanya bertujuh dan mau tidak mau kita harus saling bahu membahu. Kau bisa lihat Xander yang lain sudah kerepotan karena ini." Ucap Basta lagi.

"Kau hanya perlu memainkan musik indah yang akan membuat orang lain bahagia. Hanya fokuslah pada itu. Kau pasti mengerti maksudku kan?" Ucap Alvo lagi.

"Kenapa sebegitu kerasnya kau selalu menolak misi-misi turun ke Bumi? Apa karena aku? Apa kau tidak mau menjalankan misi bersamaku?" Tanya Orfe nampak sedih.

"Sudahlah Orfe. Kau sudah tahu jawabannya kan. Ini semua bukan karenamu. Tapi murni keputusanku!" Ucap Vaz lagi.

"Kalau begitu pergilah. Jangan jadi pengecut!" Juno akhirnya bicara.

"Aku? Pengecut? Bagaimana denganmu yang hanya mampu bersembunyi di balik kanvas dan kuas di tempat terpencil yang tidak bisa orang lain temukan?" Serang Vaz balik.

"Hahaha. Bukankah kau juga begitu. Faktanya kau rindu bermain piano. Buktinya kau selalu melakukannya di kamarmu." Ucap Juno lagi.

"Dan kau merasa lebih baik sekarang? Bahkan kakakmu sendiri tidak pernah mengetahui hasil lukisanmu. Setidaknya aku sudah pernah membuat orang bahagia dengan musikku." Ucap Vaz tak mau kalah.

"Apa-apaan kalian ini? Kenapa malah sibuk bertengkar? Kita disini fokus mencari Xander yang mau turun dan membantu di bawah." Basta mulai emosi dengan nada suara tinggi.

Sejak pertengkaran mereka terakhir kali di tempat Juno di Swiss, mereka berdua memang belum bicara lagi. Basta dan lainnya jadi bingung mengenai apa yang sedang terjadi di hadapannya kini tapi tentu saat ini bukan itu prioritasnya.

"Sudahlah. Jadi bagaimana Orfe? Kau bisa membantu kan? Kalau memang Vaz tidak ingin membantumu, biar Alvo yang akan menemanimu." Ucap Basta akhirnya dan Orfe mau tak mau mengangguk walau terpaksa.

Vaz kembali ke kamarnya. Memandang lagi piano yang ada di sudut kamarnya. Piano hitam yang menemaninya sekian ratus tahun. Sebenarnya dari segi suara, piano itu sudah tak terlalu bagus walau Vaz terus merawatnya dan menjaganya bahkan kadang mengganti beberapa bagiannya yang rusak. Tapi piano itulah cinta pertamanya, piano yang membuatnya jatuh cinta pada musik, piano pemberian sang ibu sebelum dia meninggal. Bahkan bila piano itu rusak pun, tak ada sedikit keinginan pun dalam diri Vaz untuk membuangnya. Vaz kembali merindu sang ibu yang sudah meninggal karena perbuatannya dan mengingat jelas bagaimana sang ibu selalu mendukung kecintaannya terhadap musik.

Apapun yang terjadi padamu nanti, teruslah membuat musik yang bisa menginspirasi banyak orang. Itu pesannya saat itu. Pesan yang selalu dia ingat, lalu memandang dirinya kini yang berada jauh kebalikannya. Takut, ya Vaz takut saat harus bermusik lagi. Dia takut permainan musiknya akan mendatangkan banyak kesedihan alih-alih kebahagiaan. Lalu teringat lagi pada sosok Orfe yang entah sudah berapa kali memintanya bermain musik bersama. Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk menolaknya, tapi lagi, dia takut untuk bermusik lagi. Tentu saja walau berbeda ibu, dia sayang pada Orfe. Tapi memang tak jauh beda dengan Basta, dia bukan orang yang dengan mudah menunjukkan perasaannya.

Vaz merebahkan diri dalam ranjangnya. Memandang jauh ke luar jendela dengan tirai yang terus bergerak tertiup angin. Menimbang apakah yang harus dia lakukan kini. Apakah terus bertahan di Malghavan ataukah turun ke Bumi dan menunjukkan kemampuannya lagi pada dunia?

Terdengar suara pintu itu diketuk, Vaz menoleh dan Basta sudah berdiri disana dengan wajah tampannya.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Vaz cuek.

"Kau bertengkar dengan Juno?" Tanya Basta mendekat.

"Ya, hanya sedikit berselisih paham. Bukankah itu biasa terjadi antara kita. Nanti dia juga pasti akan bicara lagi padaku." Ucap Vaz lagi.

"Ya baiklah kalau memang begitu. Tapi sebenarnya bukan itu alasanku datang." Ucap Basta lagi sudah duduk di tepian kasur.

"Apa? Kau ingin kembali membujukku?" Vaz sudah hafal dengan tabiat sahabatnya itu.

"Ya aku tidak akan pernah bisa membujukmu Vaz. Semua keputusan itu ada padamu. Aku hanya ingin bilang, kau itu sahabat yang baik dan aku rindu melihatmu utuh dengan pianomu. Dan aku yakin bukan hanya aku tapi juga Xander lainnya. Bahkan kau bisa lihat sendiri bagaimana Juno mencoba membujukmu dengan caranya. Dan jangan lupkan Orfe yang begitu ingin bermain musik bersamamu. Yang terpenting, kau meridukan dirimu yang dulu Vaz." Ucap Basta lagi yang memilih pergi segera dari kamar Vaz.

Vaz kembali memikirkan kata 'utuh' yang sempat Basta ucapkan. Faktanya, Vaz memang merasakannya saat berdiri bersama pianonya. Perasaan lengkap dan cukup. Rasa percaya diri yang membuncah dan kebanggan yang berlimpah. Tapi sudah bertahun-tahun dia kehilangan perasaan itu. Keputusan pun dibuat, Vaz bangkit dan menuju ke Althea. Tapi ruangan itu kosong dan hanya tersisa Dion dan Ega yang memastikan bahwa Alvo dan Orfe pergi dengan selamat. Mereka bertatapan bergantian selama beberapa detik.

"Mereka baru saja berangkat Vaz." Ucap Ega yang nampak mengerti maksud kehadiran Vaz disana.

avataravatar
Next chapter