10 Cerita Orfe

Alvo kembali ke Althea setelah hampir dua jam berada di Bumi. Orang yang pertama menyambutnya disana adalah Basta yang nampak termenung menghadap meja di dalam Althea. Tentu saja tak benar-benar menyambutnya karena Basta hanya melihat ponsel di tangannya.

"Apa yang kau lakukan sendiri disini?" Tanya Alvo dengan kedua tangan bertengger di sakunya.

"Aku? Hanya ah ini melihat-lihat ponsel saja." Ucap Basta sigap memasukkan kartu nama yang dia pegang dari tadi.

"Kau menyembunyikan sesuatu?" Tanya Alvo penuh selidik.

"Jangan asal bicara." Ucap Basta sedikit bercanda.

"Lalu apa itu yang kau masukkan dalam saku celanamu?" Tanya Alvo sengaja menggoda.

Basta nampak kebingungan. "Hahaha. Aku bercanda saja. Kemana yang lainnya?" Tanya Alvo penasaran melihat Althea yang begitu sepi.

"Sepertinya di kamar masing-masing. Kecuali Juno tentu saja entah ada dimana dia." Ucap Basta.

Tak lama Orfe masuk ke dalam Althea. Membawa terompet kesayangannya. Niat hatinya ingin berlatih disana tapi malu karena ternyata ada Basta dan Alvo juga disitu.

"Aku kira tidak ada orang disini." Ucap Orfe sedikit cemberut.

"Memang kenapa? Kau ingin berlatih kan? Berlatihlah." Ucap Alvo memberi semangat.

"Kalian tahu kan aku kurang begitu… mahir." Ucap Orfe tak yakin.

"Owh ayolah. Kita semua tahu kau pandai memainkannya lagipula bukankah berlatih memang dimaksudkan untuk membuatmu semakin mahir. Kita berjanji tidak akan mengatakan apapun." Ucap Basta lagi memberi bahasa isyarat mengunci mulutnya.

"Hm, benarkan kalian tak akan menghina?" Tanya Orfe.

"Ah ayolah Orfe. Kita tidak bia menunggu selamanya." Basta bicara lagi.

Tak begitu yakin, Orfe mulai memainkan terompetnya. Lantunan musik terdengar indah dan cukup sempurna. Memang ada satu dua nada meleset tapi Basta dan Alvo yakin itu tidak lebih hanya karena Orfe terlalu gugup. Tapi karena mereka janji tidak akan bicara apapun mereka memilih diam dan menikmati permainan terompet Orfe. Sesaat setelah dia menyelesaikan permainanya,

"Aku buruk?" Tanyanya tak yakin.

"Kita berjanji tadi untuk tidak mengatakan apapun." Ucap Basta mengingatkan.

"Ish kalian ini. Bicaralah ok bicaralah." Ucap Orfe memohon jawaban.

"Satu-satunya yang kurang dari permainanmu adalah kepercayaan diri Orfe. Kau terlalu ingin menjadi sempurna hingga lupa musik adalah tentang keindahan." Ucap Alvo akhirnya.

"Apa kau sudah bicara dengan ibumu? Bukankah ibumu sudah sangat tua sekarang dan sakit-sakitan?" Tanya Basta lagi dan Orfe hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Mungkin salah satu cara untukmu menemukan kepercayaan diri adalah bicara dengannya. Aku yakin ibumu hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku juga yakin kalau kau mau membicarakannya dengan baik dia mungkin akan menerima keputusanmu untuk berada disini." Ucap Alvo memberi masukan.

"Itu benar. Bukankah harusnya kau bersyukur diantara kita semua, hanya kau yang satu-satunya masih memiliki ibu disini. Dan sebagai anak aku juga yakin kau tidak ingin menyesal pada akhirnya." Ucap Basta.

Ibu Orfe memang berbeda dengan Ibu Xander lain. Ibu Orfe adalah juga seorang demigod karena ayahnya adalah demigod dan ibunya manusia. Usianya lebih panjang daripada manusia pada umumnya tapi tidak juga sepanjang demigod pada umumnya.

Orfe jadi merenung. Selama ini dia memang turun ke Bumi, lebih tepatnya Saudi Arabia. Ibunya tinggal disana sejak seratus tahun yang lalu. Dia sudah tidak lagi memiliki sanak saudara dan hidup hanya bergantung pada belas kasihan tetangganya. Orfe diam-diam selalu memberikan bingkisan berupa uang atau bahan makanan yang tidak pernah ibunya tahu bahwa itu darinya. Orfe kadang turun hanya untuk menatap ibunya yang sedang melamun dan nampak menunggu seseorang di jendela rumahnya yang sederhana.

Bagaimanapun wanita itu ibunya dan Orfe sangat menyayanginya. Bagaimana dia bisa membuat manusia lain bahagia tapi tidak bisa membuat ibunya sendiri bahagia. Pikiran itu sejujurnya sangat mengganggunya. "Aku pasti akan menemuinya suatu saat nanti."

Sesi latihan Orfe pun selesai dan Althea juga sudah kosong. Orfe memutuskan menggunakan Orion untuk pergi ke rumah ibunya saat ini juga. Dia bisa melihat rumah tua itu lagi tapi tidak dengan sang ibu. Keinginnya untuk mendekat menjadi-jadi. Orfe mendekat perlahan dan semakin dekat semakin jelas suara seseorang sedang terbatuk di dalam sana. Suara ibunya atau sebenarnya dia selalu memanggilnya Umi.

Orfe mengintip dari jendela yang memang ada di sana. Nampak ibunya sedang terbaring lemah dengan wajah pucat dan tak henti-hentinya terbatuk. Memang daripada ibu, penampilan wanita itu lebih cocok dipanggil nenek. Keriput memenuhi wajahnya dan uban juga memenuhi rambutnya. Ingin sekali dia masuk ke dalam rumah itu tapi dia urungkan ketika ada seseorang ibu yang mungkin tetangganya masuk ke dalam kamar dan memberinya air minum dan obat.

"Kondisi jidah makin parah. Kenapa tidak pergi ke dokter? Aku bisa membawamu kesana." Ucap wanita paruh baya itu.

"Kau tahu kan aku tidak punya cukup uang untuk itu." Ucap Ibu Orfe yang bernama Yasmin itu.

"Bukankah kau selau menyimpan uang yang kau dapat dari mereka yang memberi bingkisan? Bukankah kau bisa menggunakan itu untuk dirimu sendiri?" Tanya sang wanita lagi.

"Iya benar. Aku masih menyimpannya. Aku membutuhkannya untuk membeli sesuatu." Ucap Nenek Yasmin.

"Apalagi yang kau butuhkan? Satu-satunya yang kau butuhkan adalah berobat sekarang." Ucap sang wanita itu berniat membantu.

"Untuk apa aku berobat? Kau bisa lihat kan aku hidup sebatang kara. Hanya menyusahkan tetangga yang baik disekitarku seperti dirimu." Ucap Nenek Yasmin lagi.

"Tidak jidah. Tidak ada yang merasa terbebani. Kami menyayangimu seperti umi kandung sendiri. Tidak seperti putra kandung jidah yang tak pernah menjengukmu sekalipun." Ucap sang wanita lagi tentu saja menyinggung Orfe.

"Aku tahu dan aku berterimakasih untuk itu. Kau dan lainnya sudah banyak membantuku. Tapi putraku tetap akan menjadi putraku dan kalian tidak bisa mengusiknya. Aku yang salah karena membuatnya pergi dariku. Aku yang terlalu memaksakan inginku dulu. Aku yang keras kepala tidak mau mendengar penjelasannya. Ini semua murni salahku." Ucap Nenek Yasmin sendu.

"Iya baiklah jidah. Kalau begitu minumlah obat ini dulu. Semoga kau bisa merasa lebih baik." Ucap sang wanita lagi membantu Nenek Yasmin duduk.

Sekelebat Nenek Yasmin melihat seseorang di luar jendela.

"Siapa itu?" Panggil Nenek Yasmin dan Orfe segera beralih.

"Siapa?" Sang wanita itu mencoba mengintip dan memastikan kondisi aman.

"Sepertinya putraku datang lagi." Ucap Nenek Yasmin.

"Hah? Putra nenek?" Tanya sang wanita.

"Iya, putraku Orfe. Walau dia belum ingin menemuiku tapi aku tahu dia selalu datang mengunjungiku. Bahkan bingkisan-bingkisan itu, kau kira dari mana itu semua berasal kalau bukan darinya?" Tanya Nenek Yasmin.

"Jadi selama ini putra nenek?" Ucapan sang wanita menggantung.

"Iya, dia terus memperhatikan aku selama ini dari tempatnya berada." Nenek Yasmin tersenyum penuh arti menatap langit gelap malam itu.

avataravatar
Next chapter