1 Penantian

"ibu harus memilih antara nyawa ibu atau the baby jika ibu berkeras mempertahankan janin ini!"

Dokter Nita menatapku seolah menegaskan apa aku yakin dengan keputusan yang baru saja aku ambil.

Bagaimana mungkin aku tega menggugurkan janin yang berusia 3 bulan dalam rahimku? Sementara Allah telah tiupkan ruh padanya? Haruskah aku menjadi seorang pengecut yang takut mati?

Tidaaaaakkkk! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah membunuh buah cinta kami. Aku akan merawat kehamilan ini dengan baik.

Jika memang takdirku mati demi melahirkan bayi ini..aku ikhlas yaa rob!

Itulah keyakinan ku saat dokter berusaha memberikan penjelasan tentang resiko kehamilan ke 4 ini. Saat itu aku tak pernah berpikir kalau anakku akan mengalami sebuah syndrom dan cacat organ. Kupikir ini hanya soal perjuangan hidup mati seorang ibu demi menyelamatkan buah cintanya. Kondisi kesehatan yang kurang baik saat hamil tak mampu surutkan langkah ku untuk merawat janin ini.

*****

Kian hari kehamilanku kian besar. Anak - anak makin tak sabar menanti kehadiran sang adik yang telah lama ditunggu. Aku tak ubahnya seorang Ratu yang dimanjakan para pangeran dan sang Raja. Tak ada hari tanpa sapa hangat untuk sang baby. Tubuhku mulai lemah. Serangan virus begitu mudah meluluh lantakan staminaku. Batuk berkepanjangan, flek-flek hingga demam silih berganti menghantam. Tak ayal masa kehamilan ini lebih sering kami habiskan di RS.

Hari itu tiba saat aku harus kembali kontrol. Nafasku mulai sesak dengan bertambahnya bobot tubuh dan semakin besarnya kehamilan. Ku amati raut wajah dokter Nita yang tampak berubah saat melakukan USG.

"Ada apa dok? Kenapa dengan bayi saya?" tanyaku cemas.

" Berdoa saja Bu. So far kondisi janin baik baik saja. detak jantung bagus dan pertumbuhan normal. Semua organ sudah lengkap dan terbentuk sempurna. Hanya saja..sepertinya ibu mengalami hydromion ( Volume ketuban melebihi batas normal/kembar air).

Mendadak hati ini kebat kebit. Aku ngga paham apa itu hydromion dan apa dampaknya pada janin. Dokter pun enggan memberikan penjelasan panjang lebar. Yaa Rabb ku..pertanda apa ini? Lindungi my baby Rabb. Pintaku saat itu.

Tanda tanya besar mendorongku untuk mencari tau lebih jauh tentang kondisi tersebut.

Jeng Jeng!!!

Betapa lemas tubuhku saat membaca beberapa artikel terkait hydromion ini. Beberapa pustaka menyebutkan hydromion dapat menyebabkan bayi terlahir cacat ataupun downsyndrom. Beberapa pustaka juga membahas tindakan apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan resiko cacat pada janin. Salah satunya adalah dengan mengambil sebagian cairan ketuban itu secara bertahap.

sayang, permintaanku untuk dilakukan penyedotan cairan ketuban ditolak dengan alasan bahwa ini tidak akan membantu banyak.

Sampai suatu hari di usia kehamilan 32 Minggu aku mengalami pendarahan. Rupanya posisi janin sudah di pintu keluar. Bukaan 1!

Dokter memutuskan untuk melakukan operasi sectio demi menyelamatkan rahimku dari kerusakan akibat persalinan.

Kehamilan dan persalinan yang penuh drama berlangsung tanpa bisa dicegah. Resiko kematian yang sangat tinggi membuat all tenaga medis sangat hati hati sebelum memutuskan tindakan apa yang akan dipilih.

Aku harus memilih bius apa yang akan diberikan.

Jika bius epidural yang dipilih, kemungkinan nyawaku tidak selamat..tapi jika bius general yang dilakukan..bisa dipastikan bayi ku tidak selamat.

"Ibu sudah siap?"tanya dokter anestesi yang diimpor dari RS tipe A.

" Kami akan melakukan tindakan bius secara bertahap mengingat kondisi ibu yang tidak umum. Berdasarkan SOP kami harus mengutamakan keselamatan ibu di atas janin. Jadi dengan sangat terpaksa kami akan melakukan bius general (bius total) " terang dokter Deny sesaat sebelum bius disuntikkan lewat Ivy.

Kupejamkan mata seolah bersiap menyambut malaikat pencabut nyawa. Kutarik nafas panjang sambil melafazkan dzikir dalam hati..sesaat aku masih bisa merasakan dingin dan malu karna aurat ini terbuka. Lambat lain pandanganku mulai kabur..nafasku mulai sesak dan akupun tak sadar.

****

Dimana aku? Rasanya perutku tidak enak dan mual. Pandanganku kabur. Nafasku sesak sementara pinggangku seperti mati rasa. Ah! rupanya aku sudah di ruang pulih sadar. Tapi dimana baby ku? Apa yang terjadi dengannya? Mana my baby?

Mulutku tercekat tak bisa berteriak. Aku hanya mampu melirih lemah mencari bayiku.

"Ibu tenang dulu yaa..jangan pikirkan hal lain" " pinta suster.

"dimana bayi saya suster? saya ingin lihat bayi saya.."

"Bayi ibu masih dalam perawatan..berdoa ya Bu, rilex agar ibu bisa bertemu segera" pintanya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya aku ingin segera berlari tuk memeluknya tapi tubuh ini terlalu lemah, luka operasi ini terasa sakit sekali tidak seperti operasi sebelumnya.

" Ibu..masih mual? Sudah siap pindah ke ruangan?" seorang pria muda berseragam putih mendekatiku. Aku hanya mengangguk lemah berharap bisa segera bertemu dengan bayiku.

jam 3 sore perawat memindahkan ku ke ruang perawatan. Tapi dimana bayiku? Kenapa aku tidak boleh menemuinya?

Kenapa semua orang diam tak memberi penjelasan? Hanya menyuruhku bersabar dan rilex?

Apa terjadi sesuatu dengannya? apa bayiku...

TIDAK! Itu tidak boleh terjadi, aku mau bayiku.

" Ayah ! Ayaaah ! Mana anak kita? Anak Kita sehat kan? Normal? Jawab ayah!" aku gemas. Kebisuan mereka membuatku tak sabar. Tak kuhiraukan sakit ini yang begitu dahsyat.

"Bunda Sayang, tenang. Bunda harus sembuh dulu, nanti pasti ketemu dengan anak kita. Doakan anak kita sehat ya!" ucap suamiku sambil mencium keningku.

Ah rasanya kalimatmu tidak mampu membuat hatiku ringan. Aku semakin khawatir ada apa sebenarnya?

Ibu mertuaku datang mengucapkan selamat.

"Anakmu putih dan ganteng..tadi ibu sempet lihat sebentar sebelum dipindah ke ICU" katanya.

Kenapa ICU? Kenapa bukan ruang bayi? ada apa? Selama dua hari tanda tanya besar ini terus berkecamuk sampai akhirnya sang kakak menunjukkan sebuah video sesosok bayi dengan selang selang terhubung di wajah dan tubuhnya.

Penantian panjang ku sudah usai.. bayiku hidup meski dalam kondisi kritis.

Qodarullah Allah melindungi kami berdua. Meski baby Faiz terlahir dengan jantung tak berdetak dan tubuh biru. Dokter Brigit berhasil memacu jantung kecilnya hingga kembali berdetak.

****

Petir di Siang Bolong

Hari ke tiga di Rumah Sakit

Perawat datang menyampaikan info kalau dokter ingin bertemu. Rencananya hari itu aku diijinkan untuk menjumpai buah hatiku tuk pertama kali. Namun ada beberapa hal yang ingin disampaikan oleh dokter berkaitan kondisi bayi yang kuberi nama Faiz Sofyan Nur Rahman.

" Ibu sudah tau kondisi adik bayi? Bapak sudah menyampaikan informasi pada ibu" tanyanya.

"info apa dokter? saya sudah tau kalau bayi saya di ICU, adakah info lain?" kulemparkan pandanganku pada suamiku yang tampak merasa khawatir.

"Bayi ibu mengalami kelainan dan cacat bawaan. Hampir saja bayi ibu tidak tertolong. Jantungnya berhenti lebih dari 10 menit. Kami team medis berjuang keras untuk menyelamatkannya" dokter Brigit menatap wajahku yang mulai banjir airmata. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong

Kok bisa cacat? Bukankah dokter Nita selalu bilang janinku sehat sempurna? Apa dokter tidak salah? Apa yang dimaksud benar anakku?

Dokter terus berbicara menjelaskan kemungkinan kemungkinan buruk yang akan dihadapi baby ini di kehidupannya. Tetapi otakku sudah tak mampu mencerna kalimatnya ... banjir airmata tak mampu kubendung.

" Kenapa Yu? Apakah kamu malu punya anak cacat?" nuraniku bertanya seolah tamparan keras di pipiku.

Hey wake up! apapun kondisi anakmu bersyukur bahwa Allah masih memberinya nyawa! Jangan kau lupa pintamu saat bermunajat.

Astagfirullah...

aku melupakan hal terpenting. Aku sudah menantinya lama penuh cinta..dan aku takkan mampu bertahan jika saja dokter gagal menyelamatkannya.. Hidupku akan terasa kosong tanpa memeluknya.

" Anak ibu mengalami kondisi keterbelakangan mental akibat kelebihan kromosom 21. Dia penyandang Downsyndrom "

"Dokter..tolong sembuhkan anak saya ..saya siap apapun kondisi anak saya. Saya ikhlas. terima kasih sudah menyelamatkan nyawanya. Seburuk apapun dia..tetap saja saya menyayanginya, menantinya dalam pelukan" ucapku dengan bergetar.

avataravatar
Next chapter