2 Pangeran Melamar Cinderella

Maya menyerengit saat berusaha tersenyum ketika temannya memakaikannya lipstik.

Setelah proses wawancara yang cukup singkat akhirnya Maya dapat diterima menjadi pelayan untuk pesta ulang tahun yang tengah diadakan dihotel ini dan untungnya ia dapat lolos dari pria angkuh yang ditemuinya di lift tadi.

" Kenapa lipstiknya pahit? " Tanya Maya bingung, ketika ia merasakan lipstiknya dengan ujung lidahnya.

Meski bukan pertama kali tapi lipstik selalu mengganggunya seperti sebuah beban.

" Ini lipstik murah, jangan berharap banyak. Sekarang ayo kita hidangkan makanannya cepat dan jangan sampai kita dipecat sebelum bekerja." Ucap Kiki salah satu kenalan Maya yang sering menawarkannya pekerjaan paruh waktu seperti saat ini meskipun begitu mereka tidak benar-benar akrab karena Maya hanya sibuk bekerja selama ini berbeda dengan Kiki yang bekerja untuk mengisi waktu luangnya dan menambah uang jajannya.

" Baiklah-baiklah... " Jawab Maya malas, Ia kemudian mengikuti langkah kaki Kiki yang memasuki ruangan.

Darah kemiskinan Maya kembali mendidih saat melihat dekorasi pesta ulang tahun yang megah dan elegant. banyak tatanan bunga disetiap sudut dan warna emas mendomimasi diruang ballroom ini.

" Luar biasa.. Apa kita sedang masuk ke dalam negeri dongeng? " Maya terpesona dengan setiap keindahan tempat ini yang membuatnya terhanyut, tapi Kiki menegurnya dan menyuruhnya untuk fokus bekerja memberikan minuman kesetiap meja para tamu undangan.

" Lihatlah bajunya.. Sangat lembut apakah ini yang disebut kain sutra? " Maya berucap dalam hati saat ia tanpa sengaja bersenggolan dengan wanita yang memakai gaun berwarna biru awan itu.

" Maya.. berhenti terpesona dan cepatlah bekerja, menejer sedang melihatmu sejak tadi. " Kiki berbisik kembali membuat Maya jengkel.

Tidak bisakah ia sejenak saja menikmati keindahan yang mungkin tidak akan terulang kembali. Maya menggerutu Dalma hati karena harus terpaksa mengabaikan semua keindahan ini.

Ya.. pesta ini seperti surga yang selalu dibayangkan oleh Maya selama ini.

....

Marve menghela nafas berat saat kakeknya memperkenalkan seorang wanita cantik dengan gaun berwarna biru awan yang membuat kulitnya terlihat bersinar.

Ya wanita itu cantik dan mempesona tapi Marve seolah buta karena ia sama sekali tidak terpengaruh oleh kecantikan wanita itu.

Kini pesta ulang tahun kakeknya bertambah menjengkelkan baginya. Tapi ia tidak bisa menghindari kakeknya karena bagaimanapun ia satu-satunya keluarga yang selalu membelanya meski kakeknya selalu menghina ibunya.

" Dia adalah Tiffani, salah satu lulusan terbaik universitas Harvard. Dia masih muda namun memiliki segudang prestasi dan yang terpenting dia berasal dari grup Wings. Dia sangat pantas menjadi bagian keluarga kita. "

Wanita itu tersenyum saat tanpa sengaja Marve melihat wajahnya karena mengira Marve tertarik padanya, cantik tapi sayangnya tidak membuat hati Marve tertarik. Belum lagi dengan pujian-punjian yang kakeknya bisikan sejak tadi tentang gadis dihadapannya ini membuat Marve semakin muak.

" Tiffani tidak seperti ibumu yang hanya gadis miskin, dia akan menutupi celah keluarga kita yang tercoreng akibat ayahmu menikahi ibumu. " Ucap Darwis kembali berbisik.

Kalimat itu lagi.. Jika saja ia bukan kakeknya maka ia tidak akan segan melemparkan air tepat diwajahnya saat ini.

Apa yang salah dengan ibuku?

" Menikahlah dengannya dan aku akan memberikan semua sahamku padamu. "

Marve melihat mata paman dan bibinya yang membulat sempurna karena tidak percaya dengan ucapan Darwis yang akan memberikan sahamnya padanya.

Mereka tidak memiliki anak laki-laki jadi mereka tidak dapat berharap banyak tapi jika Darwis menyerahkan semua sahamnya tanpa membaginya pada mereka itu sangat keterlaluan karena saat ini Marve sudah memegang saham 30% Grup Cakra sedangkan mereka hanya memiliki saham 10%.

" Ayah.. anak kami Herlyn juga berhak mendapatkan sahammu. " Protes Hena yang tidak lain adalah menantunya.

" Jangan menjadi serakah, Herlyn hanya seorang perempuan kelak ia akan memiliki suami. Maka dari itu kalian harus menikahkan Herlyn pada pria kaya yang menguntungkan kalian. " Ucap Darwis, dia tidak pernah ditentang. Baginya seorang anak perempuan tidaklah terlalu berguna karena kelak ia akan menjadi seorang istri yang akan dikuasai suami, itu artinya tidak memiliki kuasa.

Setiap kehendaknya adalah perintah yang harus dituruti apapun itu. Hanya Marcell yang berani menentangnya karena menikahi wanita miskin. Tapi kini Marcell telah tiada jadi tidak akan ada yang berani menentangnya.

Marve hanya tersenyum miring, melihat kegusaran paman dan bibinya, dengan jelas Marve dapat melihat kebencian mereka bertambah padanya. Tiffani juga terlihat seperti wanita tidak tahu malu yang masih duduk tenang ditengah pertengkaran keluarga orang lain seperti saat ini.

" Bagaimana jika pernikahanmu diselenggarakan minggu ini? " Tanya Darwis, Marve tersenyum tanpa menjawab.

Senyuman Marve bagi Darwis adalah sebuah persetujuan, Marve memang mirip dengannya dan untunglah ia tidak menuruni sedikitpun sifat ibunya yang rendahan.

Tapi sebenarnya Marve tersenyum bukan karena menyetujui rencana pernikahan yang telah diatur oleh kakeknya melainkan karena melihat tingkah gadis yang ditemuinya di lift tadi.

Ia menjadi seorang pelayan diacara ulang tahun kakeknya, sungguh takdir yang lucu.

Gadis itu sibuk memandangi dekorasi pesta alih-alih memberikan minuman pada para tamu.

" Aku senang.. Kamu memang cucuku yang terbaik. " Ucap Darwis menepuk bahu Marve.

Sesaat kemudian ia mendapati gadis yang diperhatikannya sebelumnya tengah menata gelas meja sebelahnya.

" Syukurlah karena kamu tidak seperti ibumu yang hina. "

Kesabarannya telah sirna dalam hati Marve, kakek tua disebelahnya tidak pernah berhenti menghina ibunya bahkan disaat seperti.

Paman dan bibinya terlihat menahan tawa mendengar perkataan kakeknya, Herlyn yang baru saja bergabung terlihat tidak senang dengan apa yang kakeknya katakan tentang ibu Marve karena menurutnya tidak ada yang salah dengan ibu Marve bahkan ia lebih perhatian padanya dari pada ibunya sendiri.

Sedangkan Tiffani seakan tuli ia tetap tersenyum seperti seorang idiot.

" Kakek apa yang kamu bicarakan, bibi Anna sangat baik. Dia tidak seperti yang kamu bicarakan. " Herlyn angkat suara, Marve tidak heran jika Herlyn membelanya karena ia sangat tau bagaimana Herlyn menyayangi ibunya. Herlyn satu-satunya keluarga yang perduli akan ibunya.

" Kamu sangat lancang. Berani sekali kamu mencelaku? " Darwis menunjuk wajah Herlyn karena merasa tidak terima.

" Tapi Kek... "

Herlyn belum sempat mengelak saat Marve menghentikannya membuatnya menjadi jengkel karena bagaimana bisa ia tahan dengan kakek tua disebelahnya yang selalu menghina ibunya sendiri.

" Kakek, aku memiliki hadiah istimewa untukmu... " Marve tersenyum dan beranjak bangun.

Darwis tersenyum karena sepertinya cucunya telah berpihak padanya, ya uang bisa melakukan segalanya.

Marve mulai melangkah tapi saat melewati sisi Herlyn ia mengusap lembut bahu sepupunya yang sudah seperti adik kandung baginya untuk menenangkan kejengkelan di hati Herlyn.

Mata Darwis tidak sedikitpun lepas dari pandangan kemana cucunya melangkah begitupun dengan paman dan bibinya.

Tapi kemudian senyumnya menghilang begitu melihat Marve berlutut dihadapan seorang pelayan.

" Menikahlah denganku... "

Mata Maya membulat sempurna saat pria yang tadi ditemuinya di lift berlutut dan melamarnya tanpa diduga.

Tubuhnya menjadi kaku bahkan hingga membuat nampan yang dipegangnya terjatuh dan menyebabkan gelas diatasnya berjatuhan dan tumpah hingga mengenai celana Marve.

" Apa yang kamu lakukan? " Maya berbisik sambil melihat ke sekeliling dengan wajah tidak nyaman.

Ayolah lelucon ini tidak lucu sama sekali bahkan jika ini benarlah sebuah lelucon mereka hanyalah dua orang asing yang tidak pantas bergurau sekalipun.

" Aku tahu ini sangat tiba-tiba, tapi aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu dua tahun yang lalu. Aku memang pura-pura menjadi miskin selama ini tapi kamu tidak pernah sekalipun memandangku rendah. Menikahlah denganku Maya.."

Wah apakah pria ini benar-benar gila. Maksudku gila yang sesungguhnya.

Apa dia kabur dari rumah sakit jiwa?

Dan semua omong kosongnya bagaimana ia bisa sangat mudah mengatakannya? 

Maya tidak pernah memiliki teman pria sejak lama jadi ia bukanlah seseorang yang mungkin dikenalnya.

Dan bagaimana ia tahu namaku?

" Marven !! " Darwis tidak terima, ini sebuah penghinaan yang telah merobek harga dirinya.

Marve tidak bergeming dengan teguran kakeknya bahkan jika ia terkena serangan jantung saat ini ia akan tetap melanjutkannya.

Mungkin jika mati diakhirat nanti ia akan merasa malu saat bertemu ibunya disurga dan dia menjadi penghuni neraka, itulah yang ada dipikiran Marve saat ini.

Kebenciannya telah sempurna, ia menyayangi kakeknya tapi kakeknya selalu sedikit demi sedikit menghancurkan rasa sayangnya dan mengubahnya menjadi rasa benci.

Marve tahu, gadis dihadapannya ini pasti sangat terkejut hingga ia bahkan tidak bergeming dan hanya memandang bingung.

Tanpa membuang waktu, Marve ingin melemparkan harga diri kakeknya jauh kedalam jurang penghinaan saat ini juga.

Marve mulai beranjak bangun dan sedetik kemudian ia telah berhasil mencium gadis yang berada dihadapannya itu.

Mencium dibibirnya dengan lembut seakan Marve benar-benar memiliki perasaan pada gadis itu sedangkan Maya sudah beku saat ini, mungkin rohnya sudah meloncat keluar dari tubuhnya sekarang.

Para tamu dan semua pelayan yang ada di pesta sangat terkejut dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Inikah gambaran cinderella didunia modern?

....

avataravatar
Next chapter