13 Nyaman bersamamu

"Sayang.. karena kita sudah sampai disini, mari bermalam disini, sejujurnya aku sudah tidak sabar ingin mencumbumu sejak tadi."

Marve menggendong tubuh Maya yang sama sekali tidak terasa berat baginya, ia tidak sepenuhnya membual soal perkataannya jika ia ingin mencumbu Maya, bahu Maya yang terekspos serta leher jenjangnya yang tidak tertutup rambut karena ia menguncirnya membuat Marve tidak dapat membohongi dirinya jika ia memang tergoda dan ingin menyentuh Maya.

Jantung Maya tidak dapat berhenti berdebar saat Marve melangkah perlahan memijakan kakinya menaiki anak tangga.

"Turunkan aku Marve, tangan dan kakimu bisa sakit karena menggendongku seperti ini." Maya berucap sepelan mungkin agar Darwis dan Tiffani tidak dapat mendengarnya tapi Marve tidak menoleh dan terus menggendong Maya hingga mereka sampai dilantai atas.

Marve menoleh kearah kakeknya yang masih melihat kearahnya lalu ia tersenyum, ia tahu caranya agar membuat kakeknya lebih kesal lagi.

Ia kemudian menurunkan Maya, lalu tanpa permisi Marve meraih wajah Maya dan menciumnya hangat.

Maya mencoba meronta tapi tubuhnya tidak dapat bergerak karena Marve memeluknya.

"Tenanglah.. kakek tua itu sedang melihat kita." Marve berbisik setelah melepaskan ciumannya karena Maya terus saja berontak tapi ia kembali mencium Maya setelah itu.

Perasaan itu kembali muncul saat Marve melepaskan tautan dibibir mereka, ia tidak lagi perduli akan kakeknya kini.

Ada sesuatu di dalam diri Maya yang selalu menariknya untuk terus mendekat dengannya.

Marve masih menatap wajah Maya yang kini berpaling, ia terlalu malu untuk melihat wajah Marve meskipun ia tahu Marve menciumnya hanya untuk membuat kakeknya bertambah kesal.

Tapi Marve menggunakan tangan lembutnya untuk membuat Maya menatapnya lagi.

Saat mata mereka bertemu kembali, perasaan itu datang lagi. Marve tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, ia kembali mencium Maya lembut.

Maya memejamkan matanya saat merasakan Marve menyesap bibirnya lembut. Ciuman ini terasa manis dan meletupkan sesuatu didalam hati Maya yang membuatnya menjadi bergetar.

"Marve.." Maya mencoba mengingatkan Marve tapi ciuman yang diberikan Marve begitu menggoda hingga ia tidak mampu untuk tidak membalas Marve. Maya mengalungkan tangannya dileher Marve, ia menjinjitkan kakinya agar dapat sepenuhnya merasakan hangatnya kecupan yang Marve berikan.

Marve tahu ini salah tapi ia tidak perduli, bahkan jika jantungnya berdebar kencang seperti saat ini, Marve tidak perduli.

Kehangatan yang dirasakannya saat ini menuntunya untuk membawa Maya kedalam kamar tanpa melepaskan tautan mereka.

Apa yang terjadi sekarang, aku tidak dapat mengentikannya dan kami terus melangkah lebih jauh lagi bahkan tangan Marve tidak sungkan menyentuh tubuhku yang membuatku mengerangdan mendesah tanpa aku sadari.

Pintu kamar telah tertup rapat kini, Marve merebahkan tubuh Maya diatas tempat tidur lembut yang membuat mereka seakan mendarat di atas awan.

Nafas mereka terengah saat Marve melepaskan ciuman mereka, Maya menatap bola mata Marve yang berwarna coklat dan mengikuti setiap gerakannya.

Ia harus berhenti sebelum terjebak dan tidak dapat keluar lagi. "Marve.." Maya memanggil Marve dengan suara sedikit bergetar, Marve sangat dekat denganya. Ia dapat merasakan hangatnya suhu tubuh Marve yang menindihnya.

"Aku suka setiap kamu memanggilku seperti itu. Marve... Panggilan itu sangat lembut dan berbeda." Marve bericara dengan lembut, kelembutan yang membuat hati Maya tersentuh.

Maya menahan nafasnya saat Marve kembali menciumnya lembut dan menuntut hingga iapun tidak berdaya dan membiarkan Marve menguasai bibirnya.

"Hentikan Marve." Maya memberontak kini saat Marve sudah tidak lagi mencium bibirnya tapi juga mulai menciumi di leher jenjangnya.

"Hentikan Marve.. ku mohon, atau aku akan kehilangan kendali atas perasaanku padamu." Maya berusaha sekuat tenaga untuk mengatakan kalimat itu saat Marve mulai menciumi leher jenjangnya dan menimbulkan jejak kemerahan dipermukaan leher Maya.

"Marve... Berhentilah, kendalikan dirimu. Aku mohon MARVEN!..."

Marve akhirnya tersadar kini, tidak ada cinta yang mengikat mereka berdua. Mereka tidak boleh bertindak lebih jauh lagi, ia lantas beranjak dari atas tubuh Maya dan berbaring disebelah Maya.

"Maafkan aku.." Marve menutupi wajahnya dengan telapak tangannya dan merasa menyesal sedangkan Maya hanya terdiam membiarkan butiran air mata membasahi pipinya.

***

Marve bediri menghadap jendela memandang ke arah langit yang gelap saat Maya tertidur dengan menghadap arah yang berbeda.

Karena kebodohannya mereka kembali terjebak dalam suasana canggung seperti ini.

Marve kemudian menghampiri Maya dan duduk disebelahnya, ia mengusap lembut rambut Maya tanpa berbicara.

"Maafkan aku.."

Maya meregangkan tubuhnya dan membalikkan tubuhnya sehingga kini wajahnya terbenam di dada Marve.

Marve merasa sangat nyaman saat Maya mengalungkan tangannya di atas perutnya.

Ia bahkan tidur dengan bersandar agar Maya tidak terusik olehnya karena Maya terus memeluknya erat.

"Apa yang terjadi padaku Aku merasa nyaman di dekatmu Maya ... "

.....

Maya membuka matanya lebih dulu, sudah jam lima pagi, tapi masih terlalu dini untuk memulai hari sampai Maya akhirnya menyadari bahwa dia memeluk Marve saat ini.

"Astaga.." Maya bergingsut menjauh saat menyadari posisi mereka, tapi ia justru membuat kegaduhan yang membangunkan Marve.

"Akhirnya kamu bangun juga.." Marve merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. "Kamu sungguh berat." Ucap Marve membuat Maya merasa semakin tidak enak.

"Maaf.." Maya menundukan kepalanya menyesal, ia kemudian mengikat rambutnya yang masih berantakan dan membuat lehernya terlihat dan tentu saja bercak merah akibat ulahnya kemarin sore terlihat sangat jelas dibeberapa titik di leher Maya.

"Jangan di ikat, kamu lebih cantik jika rambutmu digerai." Pinta Marve, tapi Maya menanggapnya lain, ia segera turun dari tempat tidur.

"Marve kendalikan dirimu atau aku tidak akan mandi hingga satu minggu agar kamu tidak berbuat mesum lagi padaku." Ancam Maya, Marve tersenyum dan beranjak untuk menarik tubuh Maya mendekat padanya.

"Kita ini suami istri sayang.. Aku bisa melakukan apapun pada dirimu." Goda Marve, ia kembali mendekatkan wajahnya dan hendak mencium Maya.

"Pria gila.." Pekik Maya membenturkan kepalanya dengan kepala Marve dan berlari pergi keluar kamar.

Mereka tidak jadi menginap semalam dan memutuskan pulang setelah kejadian tidak terkendali itu. Kini Maya berdiri di balik pintu sambil mengatur nafasnya karena jantungnya berdebar saat ini.

Sampai Maya merasa detak jantungnya kembali normal barulah Maya kembali memasuki kamarnya.

Marve telah kembali tertidur kini, tapi Maya tidak dapat tidur kembali. Ia kemudian memutuskan untuk mandi dan berolah raga sebentar.

Sambil berlari Maya tidak dapat berhenti memikirkan Marve yang selalu muncul dalam ingatannya bahkan meskipun ia sudah berlari cukup jauh dari rumahnya tapi Maya masih terus saja memikirkan Marve dan segala hal 'mesum' yang Marve lakukan padanya.

"Tenanglah Maya, ini bahkan belum seminggu pernikahan kalian. Cinta tidak akan datang dalam waktu sesingkat itu." Maya berbicara pada dirinya sendiri dan kembali berlari lebih cepat lagi agar pikirannya menjadi lebih tenang lagi.

Matahari masih belum terlihat, membuat suasana terasa sejuk menembus jaket olahraga yang Maya kenakan. Lingkungan tempat tinggal ini seakan berada di puncak gunung yang sejuk dan teduh karena rumput dan pohonan terjaga mengitari lingkungan perumahan mewah ini.

"Dingin sekali.." Maya menarik jaketnya lebih tinggi lagi agar sejuknya embun pagi tidak menusuknya.

Seseorang yang tampak tidak asing terlihat sedang duduk di bangku taman bersama seekor kucing berbulu tebal dan panjang berwarna hitam.

"Pelanggan tampan.." Maya tidak sungkan menyapa saat ia mengenali sosok pria itu adalah pria yang selalu membeli kuenya.

Pria itu menatap Maya bingung, ia memperhatikan Maya dengan seksama sambil menerka siapakah gadis cantik dihadapannya ini sampai akhirnya pria itu teringat dengan sosok gadis penjual kue tradisional yang biasa menerobos masik tempat ini namun penampilan gadis itu kini sungguh berubah.

"Kamu penjual kue itu.." Pria itu tersenyum tidak percaya, Maya kemudian duduk disebelah pria berkaca mata itu dan sedikit bercengkrama dengan kucing yang berada di dalam dekapan pria itu.

"Kemana saja kamu? Aku sangat merindukan kue-kuemu..." Pria itu bertanya dengan antusias, sudah hampir seminggu ia menunggu Maya di depan gerbangnya tapi Maya tidak pernah datang lagi.

"Aku sudah menikah jadi aku sudah tidak berjualan lagi." Jawab Maya, ia merasa sedikit sedih saat mengatakan itu.

Pria itu kemudian menggeser tubuhnya dan meminta Maya duduk disebelahnya.

"Kenapa berhenti berjualan?" Tanya pria itu.

"Aku sudah menikah sekarang."

"Sungguh?" Pria itu terlihat kecewa.

Tapi Maya masih dengan senyum hangatnya, "Datanglah ke pesta pernikahan kami. Suamiku bilang ia mengundang semua penghuni rumah disini."

"Kamu menikah dengan salah satu penghuni rumah disini?"

Pria itu kemudian menatap Maya, apakah dia seorang wanita simpanan? Maya masih terlihat tidak menarik seminggu yang lalu tapi kini ia terlihat sangat berbeda.

"Ya.. " Jawab Maya singkat.

Maya teringat akan sesuatu jika dirinya belum mengetahui nama pria disebelahnya itu yang sudah menjadi pembeli setia kue-kue yang dijualnya selama ini.

"Siapa namamu?" Tanya Maya bersamaan dengan pria itu membuat mereka tertawa.

"Aku Andre.." Pria itu mengulurkan tangannya.

Maya seperti tidak asing dengan nama itu jadi ia tidak langsung menjabat tangan Andre hingga Andre menegurnya kembali.

"Namamu tidak asing.. Aku Maya."

"Benarkah? kebetulan sekali. Cinta pertamaku juga bernama Maya dan kamu mirip dengannya." Raut wajah Andre terlihat menjadi murung kini, sambil membelai kucingnya ia menatap langit yang mulai terang.

"Benarkah? Aku jadi ingin bertemu dengannya."

"Dia sudah meninggal enam tahun yang lalu."

Maya mengatupkan bibirnya saat mendengar jawaban Andre "Maaf.." Ucapnya menyesal, tapi Andre kemudian menunjukan senyumannya kembali.

"Aku harus kembali, aku harus menangani sebuah kasus hari ini." Andre beranjak bangun dan tersenyum.

"Kasus?" Maya bertanya menggantung membuat langkah Andre terhenti.

"Aku seorang pengacara." Jawabnya sebelum benar-benar meninggalkan Maya.

....

avataravatar
Next chapter