9 My pretty wife

Marve tidak dapat melepaskan pandangannya saat melihat Maya belajar dengan serius tentang etika di meja makan.

Ia tertawa setiap kali Maya mendapatkan teguran, begitupun saat Maya harus berjalan tertatih saat memakai sepatu berhak tinggi dengan kepala tegak lurus kedepan.

Seperti tuli Veronica mengabaikan semua keluhan yang Maya lontarkan, ia memarahinya layaknya seorang guru yang tegas.

Meski terlihat kesulitan Marve melihat bagaimana Maya berusaha dengan keras untuk memenuhi standar Veronica. Belakangan Marve baru mengetahui jika Veronica pernah bekerja menjadi guru kepribadian keluarga bangsawan di Inggris dan dari sanalah Marve dapat melihat Veronica memiliki aura bangsawan yang anggun dan tangguh tapi tidak melupakan kelembutan seorang wanita.

Matanya kembali pada Maya yang kini mulai mengantuk mendengarkan penjelasan Veronica, tapi Veronica menebaskan rotan keatas permukaan meja membuat Maya kembali duduk dengan tegak.

Maya sangat menggemaskan jika sedang tidak berdaya seperti itu, dengan sembunyi-sembunyi Marve memotret wajah Maya yang terlihat lusuh sampai akhirnya Maya menyadari dan menatap kesal kearah Marve yang kini mulai pura-pura memotret sembarang arah.

Tapi mata Marve tidak dapat pergi jauh dari Maya, dengan perlahan dan sembunyi-sembunyi ia kembali melirik kearah Maya namun kali ini Maya menyadarinya.

Maya berucap dengan matanya seakan memohon untuk menghentikan pelajarannya sejenak tapi Marve pura-pura tidak memahaminya membuat Maya bertambah jengkel kini.

...

"Wah.. otak ku sekarang mungkin sudah menjadi lurus seperti punggungku saat ini." Keluh Maya, ia merebahkan tubuhnya di sofa besar depan televisi, Veronica baru saja pulang lima menit yang lalu kini ia seperti baru saja keluar dari dalam neraka.

"Mengapa dia menyuruhku duduk dengan tegak seperti itu? Punggungku sakit sekali." Maya mulai merengek kini dan membalikan tubuhnya agar punggungnya yang merasa pegal terasa lebih baik.

"Dia bahkan memberikanku tugas.."

Maya menggerutu tidak habis pikir, mengapa ia harus belajar bahasa inggris lagi sekarang. Ia hanya lulusan SMP dan pada saat masih sekolah dulu ia sangat malas belajar karena ia merasa ia cukup kaya untuk melakukan apapun meski buruk dalam pelajaran tapi Tuhan membalikan hidupnya dan menjadikannya seorang gadis miskin dan pada saat itu yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak jadi bahasa asing bukanlah hal penting baginya.

Ia hanya mengetahui beberapa kosa kata lantas bagaimana ia dapat menjawab semua soal ditangannya kini.

"Aku kira menjadi kaya semua akan sangat mudah tapi mengapa aku sangat menderita kini." Keluh Maya

Maya memutuskan untuk melupakan sejenak tugasnya yang menyebalkan itu. Ia lantas menekan tombol satu dan dengan cepat Dewi sudah berada dihadapanya menunggu perintah.

"Bu.. Apa para pelayan sudah pulang?" Tanya Maya, Dewi menjawab dengan wajah senang "Tuan menyuruh mereka semua pulang lebih awal dan mulai besok pelayan dirumah ini hanya bertugas saat pagi dan sore hari."

"Mengapa begitu?"

Dewi tersenyum malu sambil menjawab jika Marve mungkin menginginkan waktu berdua dengannya karena bagaimanapun mereka adalah pengantin baru.

Maya hanya menjawab dengan kalimat oh, sebenarnya ia hanya basa basi menanyakan pelayan lain. Ia hanya ingin jika Dewi menggosokan sedikit krim pereda nyeri dipunggungnya.

Dengan menurut Dewi segera mengambil krim pereda nyeri di kotak obat.

Marve yang baru saja keluar kamar tidak sengaja berpapasan dengan Dewi yang terburu-buru.

"Untuk apa itu Dewi?" Tanya Marve "Apa kamu sakit?" Sambungnya khawatir.

Dewi tersenyum dan memberikan krim pereda itu pada Marve. "Punggung nyonya sepertinya sakit akibat terlalu lama duduk tegak. Tadinya saya ingin mengoleskannya untuknya tapi Anda sepertinya senggang. Lebih baik jika Anda yang mengoleskan krim ini pada punggung nyonya."

Marve terpaku setelah menerima krim itu, dengan cepat Dewi berjalan menuju kamarnya tapi sebelum itu ia berkata lebih dulu pada Marve. "Semua pintu sudah saya kunci rapat, saya hanya akan berada di dalam kamar. Saya tidak akan keluar hingga besok jadi lakukan apapun yang kalian ingin lakukan."

lakukan apa yang ingin kalian lakukan? Itu terdengar seperti sesuatu yang mengarah pada hubungan intim pasangan suami-istri yang berakhir dengan menggairahkan, Marve hanya tertawa pelan tidak percaya dengan apa yang ada di pikirannya.

Ia kemudian memandangi krim peredan nyeri itu sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju tempat dimana Maya berada yang kini sudah tertidur dengan badan terkelungkup.

Dengan hati-hati Marve membuka sepatu tinggi dikaki Maya dan kemudian melihat kearah punggung Maya.

"Haruskah aku melakukannya?" Marve berpikir dengan keras, tapi melihat Maya yang begitu terlelap ia tahu jika Maya sangat kelelahan kini.

Marve meletakan krim itu di atas meja, Maya dengan mata terpejamnya dapat mendengar suara itu "Tidak perlu sungkan bu.." Ucap Maya , ia tidak tahu jika itu adalah Marve bukan Dewi. "Lakukan saja, punggungku seakan remuk, sakit sekali." Keluhnya, Marve menjadi tidak tega kini, tapi haruskah ia melakukannya?

"Maya.." Marve memanggil Maya namun Maya tidak menjawab sepertinya ia sudah terlelap kembali.

Dengan menarik nafas dalam, ia perlahan membuka ritsleting dress Maya dan kini memperlihatkan punggung mulusnya.

Maya memiliki kulit yang indah, ia tidak terlalu putih atau terlalu gelap. kulitnya bersinar seperti ada butiran permata menempel dipermukaan kulitnya.

Astaga Marve, apa yang kamu pikirkan?

Marve segera memalingkan wajahnya, ia adalah pria normal. Melihat Maya seperti ini, membuatnya menjadi tegang.

Tidak mau membuang waktu Marve segera memoleskan sedikit krim pereda nyeri dipunggung Maya dan mengusapnya lembut, ia tidak mampu lagi memandang punggung Maya kini, mungkin ia akan melakukan hal diluar batas jika terus memandangi Maya.

Jadi Marve hanya mengusapnya dengan cepat dan menaikan kembali ritsleting dress Maya.

"Tidak apa Marve, Maya adalah istri sahmu.." Marve menyakinkan dirinya sendiri jika itu bukanlah hal buruk karena bagaimanapun Maya memanglah istrinya terlepas dari kontrak yang mereka sepakati pernikahan mereka tetaplah sah dimata agama dan negara.

Kini Marve bingung dengan apa yang harus ia lakukan sekarang, haruskah ia tetap disini dan menunggu Maya bangun?

Tapi kemudian wajah cantik Maya mengalihkan konsentrasinya, semakin dilihat Maya semakin terlihat cantik.

"Tunggu, apa aku baru saja terpesona? Lagi?" Marve berkata pada dirinya sendiri, ia baru menyadari jika seharian ini ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari Maya.

Ia kembali melihat wajah Maya, dan menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajahnya yang teduh. Marve mendekatkan wajahnya dan menatap Maya lebih intens, memperhatikan setiap lekuk indah diwajah Maya yang halus dan luwes.

Hentikan Marve, kendalikan dirimu..

Suara dipikirannya yang berteriak seakan tidak didengarnya, ia terus mendekatkan wajahnya mengikuti kata hatinya.

Sampai wajah mereka benar-benar dekat saat ini, Marve merasakan hembusan nafas Maya yang hangat, bibirnya membuatnya tergoda.

Terbersit dalam benaknya, akankah bibirnya masih terasa pahit seperti waktu itu? Rasa penasaran membawanya lebih dekat lagi bahkan sangat dekat sehinga sedikit lagi ia bergerak maka bibir mereka akan bersentuhan.

Tapi kemudian Maya membuka matanya sehingga mata mereka bertemu.

Marve mematung, ia tidak menarik dirinya dan hanya diam ditempat tapi Maya yang masih linglung mengedipkan perlahan matanya.

"Suamiku sangat tampan..." Maya berucap tanpa sadar, ia mengira jika ia bermimpi saat ini dan kembali memejamkan matanya.

Perasaan Marve menghangat, entah dari mana kehangatan itu datang membuatnya memberanikan diri mengecup lembut bibir Maya singkat.

***

avataravatar
Next chapter