18 Luka yang bersembunyi

Maya sudah mulai tenang kini, ia membiarkan hembusan angin membawa pergi semua lukanya.

Kini maya menatap kosong kearah langit yang gelap. Tidak ada bintang-bintang yang terlihat bahkan cahaya bulanpun tertutupi awan.

"Apa langit selalu segelap ini?" Tanya Maya, saat Marve baru saja menyelimuti bahu Maya yang duduk termenung di balkon kamarnya sambil menatap langit malam.

Kini Marve duduk disebelah Maya dan memandang langit yang sama. "Saat siang langit menjadi terang." Jawab Marve.

"Aku ingin melihat bintang. Aku pernah mendengarnya dari sebuah film jika bintang adalah jelmaan orang yang kita sayangi yang telah tiada, aku ingin melihat apa aku dapat melihat wajah orang tuaku diantara bintang-bintang di langit malam." Ucap Maya, setiap kalimatnya terdengar menyedihkan.

"Aku sangat merindukan mereka." Maya menyeka dengan cepat air matanya yang menetes tanpa dapat ditahannya sambil tersenyum menoleh menatap Marve yang kini memandangnya.

"Mereka tidak pernah datang dimimpiku setelah kematian mereka. Aku bahagia akhirnya mereka mau menemuiku. Selama ini ku pikir mereka membenciku. Karena akulah penyebab kematian mereka." Maya mulai menangis terisak kini. Hatinya terasa sesak hingga ia tidak mampu menahannya.

Luka yang selama ini dipendamnya akhirnya meledak membuat rasa sakit yang tidak tertanhankan.

"Mereka tersenyum padaku.. Lalu mengatakan aku harus hidup dengan bahagia. Hatiku sangat sakit, aku berlari kearah mereka hingga aku terjatuh tapi mereka tetap menjauh. aku memanggil sambil menangis hingga suaraku serak tapi perlahan mereka menghilang bersama kabut tanpa menoleh padaku." Maya bercerita dengan uraian air mata yang tidak tertahan dan Marve hanya dapat merangkulnya untuk menenangkannya.

"Mereka meninggalkanku lagi.." Isaknya semakin kencang.

"Tenanglah Maya, aku bersamamu sekarang." Bisik Marve, matanya memerah. Ia tahu bagaimana rasa sakit itu perlahan membunuh semua kebahagian yang dimilikinya saat orang tuanya satu persatu meninggalkannya.

"Aku merindukan mereka, Marve. Mengapa mereka hanya datang sebentar lalu pergi kembali?"

Marve tidak dapat menjawab selain memeluk Maya lebih erat lagi.

...

Hari telah pagi, Marve baru saja berbicara dengan Veronica saat Maya perlahan menuruni tangga. Kakinya masih terasa sakit tapi itu bukanlah alasan untuknya bermalas-malasan.

Dilihatnya Veronica meraih tasnya dan berjalan meninggalkan kediaman mereka.

"Marve.." Maya memanggil Marve saat ia belum benar-benar menuruni tangga.

Marve menoleh dan tersenyum, ia berjalan menghampiri Maya dan segera menggendong Maya tanpa aba-aba membuat Maya menjerit tapi Marve tidak mendengarnya meski Maya meronta meminta diturunkan.

"Marve.. turunkan aku. Kita mau kemana?" Tanya Maya saat Marve sudah berjalan kearah pintu keluar dan mobil telah menunggu dengan pintu terbuka.

Marve kemudian menurunkan Maya dan mendudukannya disebelah kursi kemudi dan memakaikannya sabuk pengaman.

"Marve.." Maya memanggil kembali, tapi Marve tetap mengabaikannya, ia terlihat mengambil kunci dari tangan supir pribadinya dan kini telah berjalan kearah kursi pengemudi dan benar saja Marve sudah berada disebelahnya.

"Ayolah Marve, aku bukan hanya udara hampa disini. Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku." Oceh Maya kesal.

Marve kemudian menarik nafas dan mencondongkan tubuhnya kearah Maya dan menatapnya lekat kini Maya telah menciut sempurna saat Marve tidak berkedip sama sekali saat menatapnya sedekat ini.

"Sayang.. tenanglah, atau aku akan menciummu." Ucap Marve berhasil membuat Maya mengangguk pelan.

Marve menarik tubuhnya kini dan mulai menyalahkan mesin mobil.

Wahh.. mengapa dia menjadi semakin mesum setiap harinya? Maya berbicara dalam hati, membuatnya merinding setiap kali mengingat bagaimana Marve selalu menggodanya belakangan ini.

"Apa aku sama sekali tidak boleh bicara?" Tanya Maya hati-hati. Marve menoleh ia senang karena Maya sudah terlihat seperti sebelumnya. Tidak ada lagi sorot mata kesedihan yang terpancar dari matanya kini semua sudah terlihat baik-baik saja.

"Hanya tersenyum tanpa menjawabku?" Cibir Maya, ia sedikit kesal karena Marve mengacuhkannya seperti saat ini.

Lalu tiba-tiba saja mobil yang mereka kendarai berhenti dan membuat tubuh Maya sedikit terguncang. Kini mobil yang mereka kendarai telah menepi disudut jalan.

"Marve!" Maya memekik dan menoleh kesal. Mengapa Marve mengerem secara mendadak seperti ini? Tapi Marve tetap diam dan sedetik kemudian ia mengecup bibir Maya lembut dan singkat membuat mata Maya membulat sempurna karena begitu terkejut.

Kini Maya hanya dapat mengedipkan matanya karena merasa rohnya telah memudar bersama udara yang mulai terasa sesak.

"Marve.." Hanya itu yang dapat terlontar dari bibir Maya yang terasa kaku kini.

"Kamu ingin aku menciummu lagi?" Tanya Marve, tubuhnya masih menghadap kearah Maya sedangkan Maya sudah tidak memiliki kekuatan bahkan untuk menoleh dan menatap Marve, ia hanya mampu menggelengkan kepalanya dengan cepat tanda ia tidak ingin mendapatkan ciuman lagi.

Marve kembali memandang kedepan dan tersenyum, ia sangat senang mengintimidasi Maya seperti ini sampai ia merasakan tangannya kesakitan dan ternyata Maya menggigitnya tanpa ampun.

"Maya.." Marve memekik, ia mencoba melepaskan lengannya dari cengkraman gigitan Maya tapi Maya tetap menggigitnya sangat kuat hingga Marve dapat merasakan taring Maya menembus kulitnya.

"Maya.. kamu ingin memakanku hidup-hidup heuh?" Marve berteriak kesakitan sampai Maya perlahan melepaskan gigitannya tapi matanya tetap menatap Marve tajam.

"Kamu gila.." Ucap Marve kesal setelah menutup lengannya yang sedikit berdarah dan terdapat jejak gigi Maya yang menempel.

"Kamu yang gila.. Jika kamu menciumku tanpa permisi lagi seperti tadi aku akan mengunyahmu hidup-hidup." Balas Maya, ia terlihat menakutkan saat ini tapi Marve tidak mau kalah begitu saja.

"Baiklah jika itu maumu.." Ucap Marve, ia terlihat menyerah dan Maya tersenyum senang, ia merasa menang kini dan dengan begitu Marve tidak akan bertindak sesuka hatinya.

"Aku akan menciumu saat ini juga.."

Maya kembali membulatkan matanya saat Marve kembali menciumnya dan kali ini ciumannya menuntut, bibir Marve sungguh membuat hati Maya berdesir.

Sialnya bibir Marve terasa manis, Maya tidak dapat menolaknya bahkan ia ingin membalasnya, bukan ingin tapi dia sudah membalas ciuman Marve. Menyesap bibir Marve bergantian sesuai apa yang Marve lakukan, ini bukan ciuman pertama ataupun kedua mereka jadi Maya sudah cukup banyak belajar dengan membuka sedikit mulutnya dan membiarkan lidah Marve memasuki rongga mulutnya, menjulurkan dan membelitkan lidahnmereka, menariknya kedlam rongga mulut Marve dan menyesapnya tanpa terasa membuat Maya mengerang. Oh Maya tidak ingin berhenti, ciuman ini membuat darahnya terasa mengalir ke seluruh tubuhnya membuatnya tegang dan menginginkan Marve menciumnya lebih dalam lagi sehingga Maya tidak kuasa untuk tidak menekan tengkuk Marve, mencengkram rambutnya dan memperdalam ciuman mereka.

"Seseorang yang baru saja mengancamku tapi ia membalas ciumanku.. Astaga, sangat tidak tahu malu.." Marve menyentuh bibirnya yang terasa bergetar sambil tersenyum penuh kemenangan saat Maya hanya dapat diam dengan wajah memerah karena merasa malu, Marve melepaskan ciuman mereka disaat Maya masih menyesap bibir bawah Marve dengan liar.

Marve kemudian mengusap lembut rambut Maya sebelum kembali menyalahkan mesin mobilnya.

Sepertinya Marve melupakan akan kontrak pernikahan yang menjerat mereka yang sewaktu-waktu dapat mencekik mereka jika cinta menarik tali kontrak itu kedasar jurang perpisahan karena kontrak mereka telah berakhir.

Kini Maya hanya perlu meyakinkan hatinya untuk tidak goyah lagi meskipun ciuman Marve sangat memabukkan, sikap Marve mungkin hanya sebatas godaan hasrat seorang pria pada wanita. Maya harus bersikap teguh, semoga saja ia bisa.

Marve tidak akan pernah jatuh cinta padamu Maya, bahkan jika kamu berubah menjadi seekor angsa kamu tidak akan dapat terbang menjangkaunya. Itulah kenyataannya.

Maya menarik nafas dalam dan memilih membuang pandangannya kejalan.

"Marve.."

"hem.."

"Aku sekarang takut jatuh cinta padamu."

Marve tidak menjawab ucapan Maya, ia hanya memalingkan wajahnya menunggu lampu merah berubah warna menjadi hijau.

"Apa seorang suami tidak boleh mencium istrinya?"

Maya tertegun, pernikahan mereka memiliki batas waktu dan pantaskah mereka beranggapan jika mereka sepasang suami istri sesungguhnya?

Marve menanti akan jawaban Maya, tapi Maya tidak kunjung berucap bahkan setelah lampu lalu lintas kembali berubah warna.

Marve harusnya dapat menahan diri bahkan kini ia tidak mengerti dengan bagaimana perasaannya pada Maya yang sesungguhnya.

Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada Maya?

Jatuh cinta dalam waktu sesingkat ini?

"Maafkan aku.." 

***

avataravatar
Next chapter