4 Jodoh kontrak

"Aku serius, menikahlah denganku Maya."

Maya tersenyum, sudah waktunya ia berhenti bermimpi disiang bolong. Pria kaya dan juga tampan sepertinya pasti memberikan dampak buruk baginya dan semua omongannya pasti hanya sebuah bualan.

"Apa kamu gay?" Tanya Maya dengan lantang membuat Marve melotot tidak percaya, apa ia tidak bisa merasakan jika dirinya normal saat menciumnya semalam?

"Maaf, aku tidak mau berstatus janda padahal aku masih perawan. Terlebih lagi janda dari seorang pria penyuka sesama jenis sepertimu." Lanjutnya dengan ketus, ia kemudian berjalan kearah supir yang memegang televisinya dan merebutnya dengan paksa dan kemudian membawanya pergi begitu saja.

"Wah.. dia memiliki banyak kata kasar dimulutnya. Apakah aku terlihat seperti seorang gay?" Marve tidak habis pikir, ia mengira jika gadis itu akan setuju dengan tawarannya tapi ternyata ia mengacuhkannya lagi.

"Hey gadis kampung.. Kalau begitu ganti rugi kaca lampu mobilku yang sudah kamu pecahkan." Pekik Marve kesal membuat laju sepeda Maya terhenti, ia kemudian membalikan arahnya dan mengayuhnya cepat menuju arah Marve berada.

Marve tidak dapat menghindar saat Maya nyaris menabraknya jika saja Maya tidak menarik rem sepedanya tepat sebelum sepeda itu menghantamnya.

"Kamu gila.." Teriak Marve emosi.

"Kamu lebih gila. Orang kaya yang perhitungan." Balas Maya tidak kalah kencang.

Dengan gusar dan penuh rasa jengkel Maya kemudian membuka kembali ikatan tali yang mengikat televisinya dan memberikannya dengan kasar lalu berkata dengan ketus "Jangan pernah mengganggu hidupku lagi!" sebelum akhirnya mengayuh sepedanya dengan cepat dan pergi menjauh.

"Dia sangat berani.." Komentar sang supir yang tidak percaya jika bos yang selama ini diperlakukan bagai dewa mendapat perlakuan kasar seperti itu dari seorang gadis lusuh.

***

Mulut Maya mengoceh tanpan henti dengan caci makian yang terus keluar menghardik pria aneh yang merusak moodnya itu.

Kini ia tidak hanya lapar tapi juga tidak memiliki apapun untuk dijadikan uang. Dengan rasa kesal Maya memarkirkan sepedanya, tapi kemudian Maya melihat teras rumahnya berantakan dan dua orang pria berbadan tegap tengah mengacak-ngacak kediamannya sedangkan Mina sedang menangis saat ini sambil memeluk Arya yang sudah babak belur.

"Apa yang kalian lakukan disini?" Tanya Maya memekik tidak terima dan menatap tajam dua orang pria yang sedang bercacak punggang kini.

"Bibimu berhutang dan tidak mampu bayar.. jika ia tidak melunasi hutangnya siang ini maka rumah ini akan kami sita." Jawab salah satu pria itu dengan suara membentak membuat Mina semakin menangis ketakutan.

Maya beranjak bangun dan mendekat, "Memangnya berapa banyak hutang bibiku pada kalian?" Tanya Maya kesal, Pria yang berpenampilan bagai pereman itu tidak lantas menjawab tapi berpikir sejenak lalu berkata " tiga puluh juta."

"Sebanyak itu?" Maya tidak menyangka jika hutang bibinya akan sebanyak itu membuatnya mendadak menjadi lemas.

"Aku hanya meminjam satu juta untuk modal berdagang sepuluh bulan yang lalu dan entah mengapa menjadi sebanyak itu." Jelas Mina menangis, ia menyesal telah berurusan dengan rentenir yang mengikatnya hinga tercekik seperti ini.

Pereman penagih hutang itu tidak perduli dengan ucapan Mina dan bersikeras untuk mengambil rumah mereka jika mereka tidak membayarkan hutangnya siang ini juga.

"Aku tunggu hingga siang ini, jika tidak kalian harus angkat kaki dari rumah ini." Ancam pereman itu sebelum akhirnya meninggalkan rumah Maya.

Kepala Maya mendadak pusing mendengar tangisan dari bibinya dan suara rintihan adiknya yang kesakitan, jika tahu akan seperti ini maka harusnya ia tidak menolak uang itu.

Status pernikahan bukanlah hal yang penting bagi gadis miskin sepertinya, jika mereka harus meninggalkan rumah ini maka mereka harus tinggal dimana? Belum lagi Arya harus melanjutkan pendidikannya. Maya tidak bisa diam saja, sambil menyeka air matanya ia kembali pergi membawa sepedanya.

"Maya kamu mau kemana nak.." Mina berteriak tapi Maya tidak menghiraukannya.

Dengan sekuat tenaga Maya mengayuh sepedanya melaju kencang menuju tempat yang sebenarnya tidak ingin ia datangi tapi ia tidak tahu harus pergi kemana lagi sekarang.

Bunyi bel berdentang dengan cepat, dengan mata sembab Maya terus membunyikan bel rumah mewah itu sampai akhirnya seseorang membukakan pintu gerbangnya dan tanpa permisi Maya menerobos masuk begitu saja membuat satpam mengejarnya tapi Maya telah berhasil memasuki rumah itu.

"Siapa kamu?" Tanya seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahun dengan wajah yang masih terlihat muda dan terawat juga baju mewah dan perhiasan melingkar indah dilehernya.

Maya segera mendekat dan hendak menyentuh tangan wanita itu tapi dengan cepat wanita itu menghindar.

"Tante.. ini aku Maya." Ucap Maya menangis, Wanita itu melihat penampilan Maya yang lusuh dari ujung kaki hingga kepala.

Gadis lusuh dan juga tidak terawat sangat berbeda dengan gadis berumur lima belas tahun yang lalu yang begitu cantik terawat.

"Aku tidak mengenalmu.." Ucap wanita itu setelah menelan ludahnya, gadis ini benarlah Maya anak dari kakak angkatnya yang sudah ia palsukan kematiannya enam tahun yang lalu untuk mendapatkan harta miliknya.

"Tante.. Aku mohon, aku telah menuruti semua perkataanmu untuk menghilang dan tidak pernah terlihat lagi. hanya kali ini kumohon bantulah aku." Dengan berlutut Maya memohon sambil menangis, meski wanita itu merasa kasian tapi ia tetap membiarkan Maya diseret keluar dari dalam rumahnya dan berkata "Aku tidak pernah mengenalmu." Mengabaikan setiap panggilan memohon padanya.

Lutut Maya kembali berdarah kini saat ia harus jatuh tersungkur ketika penjaga rumah itu mendorongnya dengan kasar keluar dari dalam rumah mewah itu.

Maya hanya dapat menangis dan menatap rumah itu penuh kebencian tapi sayangnya ia tidak dapat berbuat apapun.

Dengan sekuat tenaga Maya beranjak bangun dan menyeka air matanya, menagis disini tidak akan menghasilkan apapun.

Sedangkan perasaan cemas kini perlahan menghinggapi wanita yang tadi mengusir Maya.

Ia adalah Kania adik angkat dari mendiang ibu Maya, saat kecelakaan itu terjadi tanpa buang waktu ia menghasut Maya dan adiknya agar pergi meninggalkan rumahnya dengan alasan jika ibunya sudah menjadi tersangka penggelapan uang perusahaan dan agar Maya tidak menanggung apa yang ibunya perbuat, Kania mengirimnya jauh ke Kalimantan dan membakar kediaman Maya yang dulu dan memalsukan kematian Maya dan Arya dengan mengganti tubuh korban kecelakaan yang tidak memiliki identidas dan menjadikan jasad itu adalah Maya dan adiknya.

Tapi mengapa Maya bisa kembali kekota Jakarta dan dapat mengetahui kediamannya disini? Kini perasaan menyesal timbul dibenaknya karena seharusnya ia membunuh Maya dan Arya bukan memalsukan kematian mereka. Jika sampai ada yang mengetahui identitas Maya maka harta yang selama ini dinikmatinya akan menghilang dan kembali pada Maya.

Ya, Kania hanya anak angkat jadi ia tidak mendapatkan apapun dari grup Wings jika ibu Maya tidak menghidupinya. Tapi ketamakan telah menguasainya sehingga ia tidak memperdulikan apapun selain harta yang harus ia kuasai.

***

Dengan menarik nafas dalam Maya menekan pintu bel rumah mewah kediaman Marve.

Wajahnya menunduk lesu sedangkan matahari mulai terangkat tinggi hingga Maya dapat merasakan panasnya cuaca hari ini.

"Ayolah.. Aku mohon." Ditengah rasa putus asanya, Maya hanya dapat menangis dan berdoa. Berharap jika ia masih memiliki kesempatan kedua untuk menarik kata-katanya.

"Tuan angkuh.. aku bersedia menikah denganmu.. Bukalah pintunya." Maya menundukan kepalanya sambil mengetuk-ngetuk gerbang tinggi yang menjulang itu dengan sisa air matanya.

Ia tidak dapat membiarkan rumahnya diambil, hidupnya boleh berantakan tapi hidup adik dan bibinya tidak boleh berantakan.

Sementara itu, Marve melihat dari layar tabletnya, ia sengaja menunggu di dalam mobil bagaimana Maya terlihat menyesali penolakannya.

"Uang memang dapat membeli apapun." Marve tersenyum, ia merasa menang melawan gadis itu. Kemudian ia menyuruh sopirnya untuk menjalankan mobilnya melaju dari tempatnya berhenti disisi jalan.

Sedangkan Maya kini sudah terduduk lemas, ia lapar dan masalahnya membuat kepalanya sakit sambil memikirkan bagaiman tantenya hidup dengan nyaman. Maya menyesali semua hal yang ia lakukan dimasa lalu dan membuatnya berakhir seperti ini.

Harusnya ia menunggu pengacara ibunya datang dan tidak mendengarkan kata-kata Kania mungkin hidupnya tidak akan seburuk ini.

"Jadi kamu berubah pikiran?"

Maya mendongakkan wajahnya yang sebelumnya ia tenggelamkan dalam lipatan tangannya, pria yang seperti membawa matahari di belakang kepalanya itu menatap lembut.

Entah dari mana rasa bahagia itu datang, melihat Marve seperti melihat harapan baru dari hidupnya membuat Maya kembali menangis.

"Menikahlah denganku.." Ucap Maya sendu. Marve tersenyum tipis dan mengusap rambut Maya lembut dan mengulurkan tangannya sambil berkata "Masuklah.."

Istana itu benar-benar nyata.

Maya tidak dapat berhenti memutar kepalanya melihat dari sudut kesudut rumah Marve yang megah dengan gaya klasik namun kental akan nuansa putih yang bersih dan banyak pelayan yang berbaris rapih menyambut.

Ada banyak bunga dan diruang tengahnya bahkan ada sebuah taman mawar di dalam rumah kaca tepat persis di tengah-tengah ruangan seperti tempat jatuhnya bidadari dari langit karena Maya dapat melihat cahaya matahari menyoroti.

"Apa aku memasuki negeri dongeng?" Ucap Maya tanpa sadar.

Marve tidak menjawab, desain interior rumah ini ditata oleh ibunya. Bahkan orang yang sudah terlahir kaya sejak lahirpun belum tentu memiliki selera seperti ini.

"Bacalah.." Marve melemparkan secarik kertas keatas meja, mereka saat ini sudah sampai diruang kerja Marve yang kini hanya ada mereka berdua.

Dengan menarik nafas berat Maya meraih kertas itu dan membacanya perlahan dan hati-hati.

"Pernikahan kontrak."

Marve berjalan mendekat dan dudut disisi meja dekat Maya berdiri.

"Hanya enam bulan.. kamu akan memiliki semua uang itu tapi kamu harus menjadi istriku yang sempurna."

Mata coklatnya menatap penuh penekanan saat Maya melihatnya diam-diam dari balik kertas yang dipegangnya.

Tidak ada syrat apapun kecuali melarangnya untuk jatuh cinta pada Marve, suatu hal yang mudah karena Maya tidak pernah memikirkan cinta selama ini dan waktu enam bulan bukanlah waktu yang lama.

Cinta tidak akan menghinggapi hatinya terlebih karena Marve memiliki aura dingin yang tidak mungkin Maya jangkau.

"Baiklah, tapi aku memiliki beberapa permintaan tentang bayaranku."

Marve tersenyum, gadis ini sangat cerdik. Uang satu milyar bukanlah hal besar bagi Marve mungkin gadis ini menyelidiki kekayaannya terlebih dahulu sebelum menerima pernikahan ini jadi ia ingin penawaran lebih tapi tidak masalah.

Gadis berani yang lancang itulah yang dibutuhkan Marve untuk melawan kakeknya.

Tapi keserakahan bukanlah hal yang disukai Marve.

"Katakanlah.." Setelah berpikir Marve menanyakannya apa yang akan diajukan Maya, jika ia meminta bayaran lebih maka Marve akan membatalkannya.

"Aku tidak ingin uang satu milyar.."

Benar, ternyata gadis ini tamak, pikir Marve.

Marve kemudian mengambil kertas yang dipegang Maya dan kembali duduk dikursinya.

Wajahnya kembali menjadi dingin kini.

"Aku hanya ingin kamu menjadi sponsor adikku dan membiayai kuliahnya dan melunasi hutang bibiku sebanyak tiga puluh juta."

Marve mengangkat kepalanya, apa ia tidak salah dengar? Hanya sebanyak itu?

Maya mengepalkan tangannya sebelum akhirnya memberikan alasan kepada Marve mengapa ia menolak uang satu milyar itu. Maya memang bercita-cita memiliki banyak uang tapi bukan dengan cara seperri ini.

"Aku menikah denganmu bukan untuk menjual diriku padamu. Aku hanya tidak ingin keluargaku menderita lagi."

Marve menunjukan senyumnya kembali. "Baiklah.." Jawabnya setuju.

Dengan cepat Marve membuat surat kontrak baru dengan persyaratan sesuai keinginan Maya dan setelah itu mereka menanda tanganinya.

"Jadi persiapkan dirimu karena kita akan menikah hari ini juga." Ucap Marve sambil menjawabat tangan Maya yang terasa kasar baginya.

"Hari ini?"

....

avataravatar
Next chapter