3 3. Pemotretan

Berita kematian pejabat ulung Karl Magine Grow dan keluarganya menyebar luas di berbagai media. Bahkan semua berita mengatakan kematian Karl dan keluarganya akibat pembantaian dari sekelompok orang. Namun begitu, sudah dilakukan penelitian dan pencarian pelaku pembunuhan oleh berbagai pihak dan dua hari ini tak ditemukan barang atau sesuatu yang mencurigai seseorang sebagai pelakunya. Itu semakin membuat semua aparat penegak hukum dan para polisi mati-matian untuk segera menemukan pelakunya bahkan ribuan pencari berita juga ikut andil dalam menerka-nerka siapa pembunuh dibalik kematian keluarga Karl dengan sejumlah bukti-bukti yang juga mengada-ngada.

Harry masuk ke dalam ruangan.

"Tuan. Saatnya pemotretan produk sepatu dan jas keluaran terbaru," lapornya begitu sampai di depan meja Tuannya.

Lucas menutup koran yang sempat ia baca. Gelas anggurnya ia taruh di meja.

"Baiklah ... Mari alihkan berita menjijikkan Karl," ujarnya lantas berdiri dari kursi putarnya sembari merapikan jas hitamnya.

"Harry. Kau sudah mengirim anak Karl, bukan?" tanyanya sembari melangkah keluar ruang kerjanya.

"Sudah, Tuan," jawab Harry yang mengikuti di belakangnya.

Lucas mengangguk."Identitas barunya?"

"Masih diurus Mike, Tuan."

"Dimana, Erix?"

Harry mengotak-atik IPad-nya. "Erix sedang berkencan dengan wanitanya di restourant blue varien," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Ipad.

"Wanita bodoh!"

Harry menutup IPad-nya. Tersenyum menanggapi celetukan tuannya. Benar ... hanya wanita bodoh yang mau berkencan dengan si pembohong ulung seperti Erix. Apalagi mulut penuh drama dan tatapan menjijikan darinya. Membuat siapa saja ingin muntah jika melihatnya.

Kling!

Harry kembali membuka IPad-nya begitu benda pipih itu kembali berbunyi. Ia masuk ke dalam mobil setelah sebelumnya membukakan dan menutup pintu untuk tuannya. Di sampingnya David yang menyetir serta tuannya yang duduk di kursi belakang memainkan ponselnya.

Matanya terus fokus pada titik hitam di dalam layar IPad-nya. Dimana seseorang itu berada sekarang. Ia meng-zoom daerah yang ditempati seseorang di sana. Dan tersenyum ketika tau tempat pasti seseorang itu menetap sekarang.

"Tuan. Robert Smith berada di Puerto Deseado, Argentina sekarang," lapornya menatap Tuannya.

Lucas tersenyum mengejek. "Ia tak akan lama berada di sana, Harry. Kupastikan tak ada tiga hari ia akan memohon padaku," ujar Lucas tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel mahalnya.

"Baik, Tuan."

Harry lantas menghubungi mata-mata dibagian Argentina. Sementara Lucas kembali sibuk dengan ponselnya tanpa mempedulikan apa yang akan dilakukan Harry selanjutnya.

"Kenapa kau berhenti, David?" tanya Lucas tanpa mengalihkan fokusnya pada ponsel saat ia rasakan laju mobil tiba-tiba berhenti. Perasaan antara kantor dan tempat pemotretan masih jauh. Jadi tak mungkin David menghentikan laju mobilnya karna sudah sampai bukan?

"Jalannya tiba-tiba ditutup, Tuan," jawab David. Matanya mengernyit membaca tulisan di depan sana.

Harry yang sejak tadi sedang menelpon langsung mematikan sambungannya. Matanya fokus jalan di depannya. Sepi.

"Akan ku check sebentar," tukasnya lalu segera keluar dari mobil tanpa aba-aba.

Lucas tak acuh. Ia masih terus terfokus pada ponsel di tangannya. Sedangkan David melihat gerak gerik Harry di luar sana.

Aneh. Jalan ini tak pernah mengalami perbaikan sebelumnya. Tapi kenapa tiba-tiba ada peringatan jalan di alihkan karna ada perbaikan??

Dorr!

"Harry!" pekik David di dalam mobil begitu matanya melihat peluru sudah bersarang di perut Harry dengan suara tembakan yang cukup jauh.

Lucas sontak melihat keadaan. Brengsek! Siapa yang berani menjebak mereka di jalan sepi seperti ini.

David langsung keluar dari mobil menghampiri Harry yang menahan panasnya sengatan logam di dalam perutnya tanpa memperdulikan jika saja ia juga tertembak oleh peluru mereka. Sementara Lucas yang ada di dalam mobil lantas mengambil alih bagian setir. Tangannya meraba bagian dashboard, mencari sesuatu di sana yang dapat ia jadikan senjata. Ah dapat!

Matanya menyorot tajam pada orang-orang di tengah hutan dengan topeng wajah masing-masing. Ia tau mereka tidak sepenuhnya mengincar Harry atau David, melainkan dirinya. Kenapa ia bisa tau? Itu sudah biasa terjadi untuk orang sepertinya. Terlihat sangat jelas sorot mata mereka langsung mengarah padanya ketika ia membuka kaca mobil. Bahkan mereka langsung membidik Lucas sebagai sasaran empuk, tapi sebelum pelatuk mereka mengenai Lucas ...

Dorr!! Dorr!! Dorr!!

Dorr!! Dorr!! Dorr!!

Secepat kilat peluru dari pistol Thunder 50 BMG di tangan Lucas membidik tepat dikening mereka masing-masing.

Lucas tersenyum mengejek setelah melihat mayat mereka tergeletak begitu saja di tanah. Apa mereka pikir menghilangkan nyawa seorang Lucas segampang itu? Jangan harap!

"Tuan, kau tak apa?" tanya David khawatir dengan Harry dirangkulannya.

Darah segar mengucur deras dari perut kiri Harry tapi ia terlihat baik-baik saja. Mungkin pria itu memang sudah biasa tertembak hingga tak marasakan kesakitan sama sekali jika ada logam panas bersarang ditubuhnya.

"Bawa Harry masuk!" perintah Lucas. Matanya mengawasi lingkungan sekitar jika saja masih ada musuh yang bersembunyi. Mungkin saja, kan?

"Pelurunya tak cukup ganas. Tapi tadi ... aku hanya kaget dan tak bisa menghindar," ucap Harry dengan cengiran khasnya.

Lucas melirik Harry sebentar dari spion kecil di dalam mobil lalu mulai melajukan kembali mobilnya cepat dengan David yang sibuk mengamati perut robek Harry di kursi belakang.

"Tuan. Motor yang kau pesan sudah sampai di mansion Morristown," lapor Harry yang spontan digeplak David dari samping. Pasalnya David sedang sibuk menjahit luka diperut kirinya dan Harry yang terus saja bergerak.

"Kau gila? Ini sakit, David!" protes Harry tak terima. Matanya bahkan melotot tak percaya pada David.

David hanya memutar bola mata menanggapi Harry lalu kembali fokus pada perut terbuka Harry yang masih robek. Sedangkan Lucas tak peduli dengan dua anak buahnya yang tak pernah bisa akur. Pikirannya melayang tentang siapa dibalik insident penjebakan mereka. Lucas lantas memasang earphone-nya. Mengetik salah satu nama di kolom pencarian dan segera menghubunginya.

"Kau mengirim utusan lagi, Erg?" tanya Lucas to the point saat penggilannya terhubung.

Terdengar kekehan pelan di seberang. "Rupanya kau tau dalangnya, Tuan Vantouxer yang terhormat."

Lucas tertawa mengejek. "Tak ada orang yang mau berurusan denganku melebihi kau, Erg."

"Ya, memang benar. Mereka hanya bisa berteriak benci namamu di belakang tanpa mau mencoba bermain dengan pemilik nama termasyhur di negeri ini. Ah ... mereka memang payah. Benarkan, Tuan Lucas?"

"Mereka memang payah dan aku sangat senang dengan kepayahan mereka, Erg. Dengan begitu, aku yang akan memainkan mereka Menjadi mayat busuk di ruang bawah tanahku. Bukankah kau juga harus bersiap-siap untuk segera ku mainkan, Erg?" tukas Lucas santai.

Brakkk!

Terdengar sangat jelas suara meja digeprak dari seberang teleponnya. Lucas semakin terkekeh mendengarnya. Musuh satunya ini memang gampang sekali emosi dengan kata-kata yang ia ucapkan. Padahal ia sangat santai menanggapi ucapan-ucapannya yang seolah lebih unggul dari Lucas. Oh astaga ... dia bodoh atau payah?

"Kau memang, brengsek!" umpat Erg penuh emosi.

Tut!

Lucas segera mematikan sambungan teleponnya setelah dirasa cukup obrolannya dengan musuh bebuyutannya sejak dulu itu. Ia mengembalikan ponselnya disaku jas dan kembali memfokuskan pandangannya ke depan.

"Apa yang mengirim orang-orang itu Tuan Erg lagi, Tuan?" tanya Harry. Kali ini ia tak mendapatkan refleks tangan nakal David di kepalanya karna ia berbicara dengan tuannya tanpa bergerak dari posisinya.

"Siapa lagi yang suka usil padaku selain pria bodoh itu?" Lucas bertanya balik dibalik kemudinya.

Harry terkekeh. "Dia tak bosan-bosannya mengganggumu, Tuan. Apa harus kusingkirkan saja?"

"Tidak perlu. Dia cukup menghiburku."

David melotot. Apa Tuannya bercanda? Apa yang dimaksud dengan menghibur? Apa bermain tembak dan peluru yang bisa bersarang ditubuh adalah hiburan? Astaga yang benar saja. Tuannya memang aneh tapi ia menyayanginya. Sementara Harry hanya tersenyum menanggapi ucapan tuannya. Tuannya yang beda dari yang lain.

avataravatar
Next chapter