webnovel

part 2

Sedari tadi aku hanya mengganti-ganti saluran di televisi. Tak ada yang menarik tuk di tonton, hanya ada berita, sinetron, sinetron lagi, kartun, lalu sinetron lagi, dan berita lagi.

"Mama pulang!" Aku menoleh, mendapati mama tengah berjalan menghampiri, wajahnya berseri-seri, sebuah senyum sumringah terbit di bibirnya.

"Ma? Ada apa?" tanyaku bingung, menatap mama yang tengah meletakkan map di meja.

"Coba tebak, ada apa?" tanya mama balik, sontak aku menggembungkan pipi dengan kesal.

"Kenapa Mama balik bertanya?" rajukku, mama terkekeh geli lalu mengacak rambutku gemas.

"Jawab saja, sayang."

"Humm, mama dapet kerja ya?" tanyaku hati-hati, mama menggangguk, wajahnya terlihat jelas bahwa ia sangat bahagia. Sejujurnya aku tidak suka mama bekerja, tapi aku juga tak mau membuat mama sedih. Karena itu kututupi dengan menarik senyum lebar dengan mata yang berbinar. "Benarkah? Di mana?"

"Di bank, sekarang Mama jadi pegawai bank," ucap mama antusias, matanya memancarkan haru.

"Tuhkan, benarkan, Ma? Mama pasti dapet kerja di sana." Aku menatap mama dengan bangga, mama mengangguk kemudian memelukku erat.

"Makasih sayang, berkat kamu Mama bisa dapat pekerjaan yang layak." Aku hanya bisa mengangguk.

Mama itu lulusan S1 akuntansi, karenanya tidak diragukan lagi mama bisa berhasil lolos jadi pegawai bank. Ya, akulah yang mengusulkan pada mama untuk mencoba melamar kerja ke bank begitu melihat riwayat pendidikan yang mama kemban. Sayang sekali dulu papa menolak mama bekerja, jadilah mama selama ini hanya sebatas ibu rumah tangga.

"Abangmu belum pulang?" tanya mama sembari membereskan mapnya.

"Belum." Wajah mama berubah sedih, sebuah helaan napas lolos dari bibirnya. Mama tak berbicara lagi setelah itu, langsung melenggang masuk ke kamarnya.

Bang Rean sekarang berubah drastis, selepas pulang sekolah tak pernah langsung pulang, ia pulang setelah sore menjelang malam, tapi jika pulang ia hanya langsung masuk kamar, saat makan malam pun, ia sering kali diam, jika mama tanya hanya jawab dengan dehaman atau gelengan kepala. Kami seperti orang asing sekarang. Bang Rean dulu sangat humoris, jika kami sedang berkumpul, dialah yang paling bawel. Namun semuanya berubah semenjak ayah naik jabatan, dan mempekerjakan sekretaris perusak hubungan orang itu. Keluargaku jadi berantakan sekarang.

Aku tersentak kala melihat sekelabat bayangan lewat di depanku, itu Bang Rean, dia main menyelonong tanpa menyapaku, sontak aku langsung meraih tangannya, dia menoleh menatapku, tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Bang, abis dari mana?" tanyaku, menatapnya penuh selidik.

"Main." Dia berusaha melepaskan tanganku yang mencekal tangannya.

"Bang, kenapa sih? Sikap Abang berubah, gak pernah ngobrol sama Amel lagi?"

"Apaan sih?! Lo itu dah besar, ga butuh gue lagi, main sama temen-temen lo, gue sibuk!" Aku langsung melepaskan tangan Bang Rean, ia pun langsung melenggang ke kamarnya tanpa peduli padaku lagi. Baru kali ini Bang Rean membentakku, rasanya aku benar-benar sudah tak mengenalnya lagi.

Aku menatap kepergiannya, sampai ku lihat mama keluar dari kamar, berpapasan dengan Bang Rean yang melewati depan kamar mama, tapi ia hanya tak acuh, tetap melenggang ke kamarnya tanpa memedulikan mama. Sedangkan mama, menatap sendu punggung itu yang terus menjauh sampai hilang di balik pintu. Aku tahu mama sedih dengan perubahan sikap abang.

Ku putuskan tuk mengahampiri mama. "Mah, nanti masak ya buat makan malam? Aku kangen masakan mama," pintaku sembari menarik ujung bajunya, walau tinggiku sudah sebahu mama. Berusaha mengalihkan perhatiannya agar tak sedih lagi.

"Hm? Baiklah sayang, mau makan apa?" Mama tersenyum, lalu mengusap pucuk kepalaku.

"Mau ayam kecap!"

"Ck, kayak bocah mulu." Mama dan aku tersentak, lalu menoleh pada sumber suara. Bang Rean. Ia menyandarkan punggung di dinding dekat pintu kamarnya.

"Biarin!" Aku pura-pura mendengus kesal, berharap mendapat reaksi lainnya darinya, tapi justru ia hanya memutar bola mata lalu beranjak dari tempatnya.

"Rean, kamu mau makan apa, Nak?" tanya Mama.

"Terserah." Ia tetap melenggang ke dapur, mama mendesah pasrah, lalu kembali menatapku.

"Yaudah, Mama mau belanja dulu ya."

Mama masuk ke kamar, mengganti pakaian dan mengambil dompet terlebih dulu.

Selepas kepergian mama, lagi-lagi yang ku lakukan hanya duduk di ruang tamu seorang diri, dengan televisi menemani.