23 W (Ending)

"Pak Miko," lirihnya saat netranya menangkap sosok yang dicarinya berada di halaman rumah. Sebuah sapu lidi dan sekop berada di kedua tangan beliau, sepertinya baru saja selesai membersihkan halaman.

"Mia?" ditaruhnya kedua barang tersebut di garasi sebelum menghampiri Mia. "Ada apa?" berondongnya setelah memastikan motor yang dikendarai Mia sudah terparkir dengan baik.

"Saya dapet berita kalau," ia agak ragu untuk mengutarakan sumber kegelisahannya, namun tatapan pria di depannya mampu membuatnya berterus terang. "Mahasiswi itu memutuskan untuk ke luar dari kampus.

"Bagaimanapun juga, namanya udah terlanjur buruk. Seolah-olah ia-lah sumber dari segala skandal itu. Saya jadi cemas, Pak. Saya nggak bisa tenang untuk saat ini."

"Oke, saya paham kekhawatiran kamu itu. Kita bicarakan di dalam, oke?"

"Apa saya pindah saja ya? Di kampus swasta juga nggak papa, asalkan nasib kita aman."

"Minum dulu," Pak Miko menyerahkan segelas jus berwarna orange kepada Mia, mungkin jus mangga? Diteguknya jus tersebut hingga tersisa setengah gelas. "Kenapa harus pindah?"

"Ya biar saya agak tenang, Pak. Biar karir Bapak juga aman di sana."

"Begini, Mia. Masalah karir, bisa saja saya yang mengalah dan pindah ke kampus lain. Tapi kamu, masa depan kamu masih panjang. Kamu perlu menuntut ilmu buat bekalmu nanti."

"Saya ingin pindah, Pak."

"Benar-benar ingin? Atau hanya sekedar ingin sja?"

"Paaaak..."

"Mia, saya yakin kita bisa bertahan. Saya pastikan kamu selalu aman.

"Tunggu dulu, sedari tadi kamu getol banget pingin pindah. Kamu mau menghindari saya?"

"B-bukan begitu, Pak..." elaknya. Ya kali jujur?

"Berarti dugaan kedua saya tepat."

Mia mengernyit heran. Dugaan apa, dikira lagi penelitian kali ya... "Maksudnya?"

"Kamu sudah benar-benar menerima saya, siap berkomitmen sama saya. Makanya kamu milih pindah supaya bisa terbebas dari kegelisahan kamu itu.

"Bukannya kamu takut hubungan kita terbongkar? Makanya jalan amannya kamu milih pindah. Bukan begitu, Mia?"

Seringai yang baru pertama kali ia lihat, membuatnya semakin waspada dengan dosen killernya itu. Kok malah jadi meluber ke mana-mana, sih?

"Eh? Ada tamu?"

Kedatangan Bu Nanda berhasil membuyarkan suasana aneh di ruang tamu tersebut. Mia bergegas menghampiri beliau dan menyalimi tangannya.

"Ibu dari mana?" tanya Mia.

"Ibu baru saja beli sayur di pasar. Kamu sudah sampai dari tadi? Sebentar ya, Ibu tinggal mandi dulu. Kamu ditemeni sama Mas Miko dulu."

Bu Nanda berlalu dari ruang tamu, menghilang di balik pintu kamar beliau.

"Terimakasih."

Mia terheran, "buat apa ya, Pak?"

"Sudah menerima saya. Yaa, walaupun kamu tidak berterus terang ke saya, tapi bisa saya simpulkan demikian.

"Intinya, kita hadapi semuanya bersama-sama. Di depan sana pasti banyak sekali ujian dalam hubungan kita. Saya harap kamu bisa tetap bertahan di sisi saya."

Mia termenung. Seserius itukah Pak Miko mendekatinya? Ah, ia lupa akan fakta bahwa Pak Miko itu pria dewasa. Tentunya lebih memilih untuk menjalin hubungan jangka panjang, dibanding hubungan yang hanya berujung pada perpisahan, bukan?

.

"Hei, makan dulu yuk?" sebuah tangan terulur di depannya, menunggunya untuk menerima uluran tersebut.

Diraihnya tangan tersebut, kemudian berlalu ke ruang makan dengan tangan saling bergandengan erat.

"Kamu masih kepikiran soal hasilnya nanti?" pertanyaan itu Mia tanggapi dengan sebuah anggukan. Ia takut mengecewakan harapan Bu Nanda, tapi di sisi lain ia juga sangat berharap bisa lolos dalam seleksi yang diikutinya.

"Jangan terlalu dijadikan beban, Mia. Ibu memang berharap kamu nggak jadi pindah, tapi bukan berarti Ibu tidak mendukung kamu. Apapun pilihan kamu, jalanilah dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah."

Mia menerima sebuah pelukkan dari Bu Nanda setelah ucapan beliau itu. Rasa bersalahnya sedikit terurai, dan apapun hasilnya semoga itu memang yang terbaik.

Selesai makan siang, Mia beralih ke ruang tamu. Menunggu detik-detik diumumkannya hasil ujian yang telah ia ikuti. Hingga menit demi menit berlalu, tibalah waktu pengumuman yang membuatnya semakin berdebar.

Setelah memantapkan niat dan menyemangati dirinya sendiri, perlahan diketiklah beberapa tulisan untuk dapat masuk ke akunnya. Ia sudah pasrah apapun hasilnya nanti. Yang terpenting ia sudah berusaha, dan tidak menyerah begitu saja.

"Miaaaa..." sebuah pelukkan ia terima dari Bu Nanda. Ia masih belum berani untuk membuka matanya. Kesiapannya tadi tiba-tiba luntur begitu saja, meninggalkan dirinya yang terduduk lemas di sofa.

"Apapun hasilnya, yang terpenting kamu sudah berusaha, Mia," sebuah usapan terasa di kepalanya. "Buka mata kamu sekarang," seolah terhipnotis, ia menuruti perkataan pria di sebelahnya.

Dibukanya mata secara perlahan, meneliti deret demi deret huruf yang terangkai menjadi sebuah kalimat yang mampu mengubah hidupnya. Ia semakin lemas setelah memastikan pengumuman tersebur sekali lagi. Ponselnya hampir saja terlepas jika saja tak diambil alih oleh Pak Miko.

"Saya selalu ada buat kamu, sampai kapanpun. Jangan berhenti berjuang, ya?"

.

.

.

.

.

The End

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya cerita ini berhasil terselesaikan. Huruf demi huruf yang terangkai, tak luput dari tombol Delete, Copy Paste, bahkan Undo Redo. Untuk pembaca yang budiman, yang telah mendukung karya ini, saya ucapkan terimakasih.

Sekali lagi, terimakasih atas dukungan kalian. Sampai jumpa di lain kesempatan ;)

avataravatar