19 S

"Pa, doain Mia ya biar lancar ngerjain tesnya nanti. Semoga aja Mia bisa lolos beasiswa, jadi nggak nambahin beban Papa sama Mama. Kecuali biaya sehari-hari, hehe..."

"Nggak mau dipikir-pikir lagi, Nak? Kamu sudah jalan dua semester, apa nggak sayang kalau harus mulai lagi dari awal?"

"Mia mau berusaha dulu, Pak. Sekarang ada kesempatan, Mia mau menggunakannya dengan sebaik mungkin. Toh belum tentu rejeki Mia juga 'kan?"

"Lalu bagaimana kalau nanti lolos?"

Jujur, Mia belum terlalu memikirkan secara mendalam apa yang akan ia lakukan nanti. Intinya ia cuma pingin ke luar dari fakultas pertanian, dan pindah ke jurusan yang disukainya sedari dulu. Masalah mata kuliahnya nanti, ia rasa tak akan berbeda jauh dengan pelajaran SMK nya dulu.

"Mia hanya ingin berusaha dulu, Pa. Kalau lolos, berarti itu rejeki Mia."

Mia mengamati jam yang ia pakai di tangan kirinya, "kayaknya bentar lagi mau dimulai ujiannya, Pak. Mia minta do'anya ya."

Panggilan berakhir setelah ia mengucapkan salam. Mia menghela nafas perlahan, haruskah ia bertahan? Tapi ia rasa nggak ada salahnya juga mencoba kesempatan yang ada di depan mata.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Dosen Pak Miko

¤ Lancar ujiannya.

¤ Maaf tidak bisa mengantar.

Dwi Arumia

¤ Terimakasih, Pak

¤ Nggak papa, Bapak 'kan sibuk ngajar juga

Setelah berdoa sejenak, ia mulai memasuki ruang ujian bersama peserta yang lain. Disiapkannya segala persiapan sebelum ujian dimulai, dari mulai kartu ujian sampai alat tulis.

'Bismillah...'

.

Angin sepoi-sepoi, segelas besar es jeruk, dan semangkuk mie ayam.

Menu yang Mia pilih sebagai makan siangnya kali ini setelah menguras tenaga dan pikiran untuk mengerjakan soal.

Ia duduk di salah satu meja yang kebetulan kosong, dan ia sendirian aja. Kelihatan banget kalau jomlo, apa-apa sendirian udah kayak pendekar aja.

Siapa peduli? Yang penting perut kenyang, hatipun senang. Toh orang-orang yang lewat juga cuek aja, palingan nggak sengaja noleh sejenak, terus langsung diabaikan gitu aja.

Ia belum sempat mengaktifkan data, selesai ujian langsung aja cabut buat nyari makan siang. Keburu laper kalau harus cek ponsel lebih dulu.

Sebuah panggilan masuk langsung nongol saat data seluler ia nyalakan.

"Duh duh, ini Si Bapak nggak sibuk apa gimana sih ya? Kok bisa-bisanya langsung nelfon pas gue online gini," ia menyentuh icon warna hijau, dan nampaklah wajah tampan memenuhi layar ponselnya. Sejenak ia salah fokus saat melihat wajah dan rambutnya yang masih agak basah. Seger banget!

"Gimana ujiannya?"

Mia tersentak saat menyadari bahwa ia baru saja mengagumi sosok dosen killernya itu. Dengan tergagap, ia menjawab pertanyaan dosennya tersebut.

"Kalau boleh egois, saya nggak mau kamu lolos di ujian kali ini. Apapun akan saya lakukan untuk mempertahankan kamu, sebagai mahasiswi saya, dan sebagai seorang wanita yang sedang saya perjuangkan.

"Tapi saya nggak bisa bersikap seperti itu. Itu bukan hak saya. Yang bisa saya lakukan hanyalah mendukung apapun yang akan kamu pilih nantinya."

Mia berdehem pelan. "Bapak udah nggak ada jadwal ngajar lagi?"

"Nanti jam setengah tiga," hening sejenak. Mia kembali menyantap mie ayamnya yang sudah mulai mendingin. "Kamu di mana?"

"Lagi makan siang di alun-alun. Kenapa, Pak?"

"Ya sudah kamu makan dulu. Jangan dimatiin video call saya."

Itu Pak Miko lagi di ruang dosen 'kan? Emangnya nggak takut kepergok sama rekannya yang lain? 'Kan takut menimbulkan fitnah nanti!

"Bapak di ruang dosen?"

"Iya. Kenapa?"

"Kalau ada dosen yang tau gimana, Pak? Nanti dikiranya saya jadi simpenan Bapak! Padahal 'kan nggak gitu!" Mia heboh sendiri di kursinya. Ia mengamati sekitarnya, dihembuskannya nafas perlahan saat tak seorangpun yang ngeh dengan kehebohannya tadi.

Bisa jadi skandal nanti!

"Makanya jangan berisik kamu. Panggilnya juga jangan 'bapak', saya bukan bapak kamu. Ngerti?"

"Terus panggil apa? Oom Miko, gitu?" tanyanya sewot. Aneh deh, seorang Pak Miko yang killer ngajak debat cuma gegara panggilan aja!

Beliau berdecak pelan. Ini dia yang terlalu agresif, apa emang Mia yang sok polos sih? Nggak mungkin cewek itu nggak peka.

"Sesuaikan dengan sopan santun, gimana cara memanggil seseorang yang lebih dewasa dibanding kita."

"Oom juga cocok kok, 'kan Bapak emang udah om-om."

"Ya nggak gitu juga. Emangnya kamu mau dikira sebagai simpanan saya?"

"Ogah!" tolak Mia keras. Enak aja, jadi pacar Pak Miko aja udah pikir dua kali, gimana kalau jadi simpenannya? Bisa dicoret dari KK sama Papa nanti.

"Itu kamu minum semua es jeruknya?"

Mia meneliti gelasnya, dan ternyata udah habis separuh gelas. Wow, bahkan dia nggak sadar udah minum sebanyak itu. Kayaknya dia pelan-pelan deh minumnya.

"Iya dong. Mubadzir kalau nggak dihabisin. Tenang aja, perut saya muat kok," Mia menepuk pelan perutnya. Huah, kenyang!

"Ck, dasar karung. Tapi badan tetep aja kurus kering kayak gitu."

"Bodoamat!"

Daripada tambah kesel sama dosen sendiri, mending diakhiri aja video call tadi. Ada-ada saja, seorang Pak Miko VC mahasiswinya cuma buat gangguin makan siang. Kok niat banget...

.

Mia meremas rambutnya pelan.

Udah capek mikir buat ujian, sampai kost masih harus ngerjain makalah buat besok! Andai ia punya kekuatan super kayak Naruto, udah buat kage bunshin yang banyak dia!

"Huft, tarik nafas, buang nafas. Ulangi lagi sampai emosimu stabil, Mia..."

Meskipun lelah, tugas tetep harus dikerjain. Nggak boleh sampai ditinggal! Prioritasnya saat ini adalah belajar, walaupun bukan di jurusan yang disukai sekalipun.

Udah serius aja nilainya pas-pasan, gimana kalau cuma leha-leha aja? Yang ada ia dipaksa pulang sama Papa! Buruknya lagi malah nggak dibolehin kuliah sama sekali!

Yang bener-bener terburuk, nanti dia bakal dinikahin sama orang asing kalau cuma diem di rumah! Nggak mauuu... Pokoknya harus kuliah, biar nggak dikawinin. Titik nggak pakai koma lagi.

"Semangat Mia! Jangan kasih kendor!"

Sekuat tenaga, ia berusaha tetap melek disaat matanya sudah lelah menatap laptop selama tiga jam. Hasrat buat rebahan udah ada, tapi untungnya masih bisa ditahan. Sayang banget kalau ditinggal tidur sekarang, yang ada menguap semua idenya! Mending tidurnya agak molor, jadi besok bangun siangpun tak ada masalah. Toh tugasnya dikumpul siang juga.

Saat dikejar deadline kayak gitu, Mia punya dua kiat jitu. Kiat-kiat itu adalah:

1. Tidur lebih awal, dengan catatan tugas sudah mencapai 75%. Bangunnya jam 3 pagi, jadi bisa selesai tepat waktu.

2. Selesaikan semuanya (apalagi kalau lagi lancar-lancarnya menuangkan ide), tanggung banget kalau mau ditinggal tidur. Jadinya besok bangun siangpun tak apa.

Intinya tugas harus selesai tepat waktu, biar nggak tergesa pas udah deadline nanti. Sesuatu yang dikerjakan secara tergesa-gesa pastilah tak akan maksimal hasilnya.

"Aduuuh, udah jam berapa sih ini? Kok udah pedes banget matanya. Huft, semangat Mia! Dikit lagi beres, langsung print terus tidur."

Di tengah sepinya kamar kost, suara ketikan laptop menjadi satu-satunya backsound nugas malam ini. Jangkrik? Udah nggak ada!

.

.

.

.

.

to be continue

avataravatar
Next chapter