webnovel

R

"Naik, Mia..."

Dengan perasaan dongkol Mia naik ke atas motor KLX yang menjemputnya itu.

"Helmnya di pakai, jangan cuma dijinjing kayak gitu. Mau rambut kamu berantakan nanti?"

Mia memasang helm di kepalanya dengan ogah-ogahan. Bukan karena takut rambut berantakan seperti yang dibilang tadi, tapi lebih ke takut kejedot helm di depannya itu. Kan sakit!

"Pegangan!"

Tak butuh waktu lama mereka sampai di kediaman Bu Nanda. Kayaknya akhir-akhir ini ia sering banget berkunjung ke sini deh. Sampai-sampai pekerja di sana hafal sama Mia.

"Cah ayu... Makasih lho udah dipilihin bajunya, Ibu suka banget sama pilihan kamu," Bu Nanda menyambutnya dengan ramah saat ia baru saja sampai di sana.

"Pak Miko yang beliin, Bu," balasnya sungkan. 'Kan memang Pak Miko yang bayar, Mia bagian pilih-pilih aja kemarin.

"Sudah-sudah, Mas kamu bersih-bersih dulu sana. Mia biar sama Ibu dulu," Bu Nanda menarik Mia ke ruang tengah, mengajaknya duduk di sofa depan tv.

"Gimana kuliahnya?"

"Hehe, masih harus adaptasi, Bu," jawabnya jujur.

"Nggak apa-apa, dijalanin aja. Dinikmati, mungkin memang di sinilah jodohmu, Cah ayu. Sudah ujian belum jadinya?"

"Senin depan, Bu. Mia minta doanya, ya?"

"Ibu selalu doain yang terbaik buat kamu sama Masmu. Walaupun Ibu lebih suka kamu nggak jadi pindah, tapi Ibu tetap bakalan mendukung apapun pilihan kamu. Semoga kamu berhasil nantinya.."

Sejujurnya Mia mulai menikmati kehidupan barunya di fakultas pertanian. Walaupun ia sering menjumpai kesulitan dalam memahami materi, tapi ada teman-temannya yang bersedia membantunya, bahkan ada yang lebih tidak tau apa-apa dibanding dirinya.

Hanya saja ia masih ingin memperjuangkan cita-citanya sebagai seorang perancang busana. Apapun akan ia lakukan, bahkan jika harus memulai lagi dari awal ia rela. Jika orangtuanya tidak bisa membiayai, ia akan berjuang keras agar bisa lolos lewat jalur beasiswa.

Setiap ada peluang, sayang jika harus dilewatkan bukan?

"Mia, ke ruang kerja saya sekarang."

"Di sini saja," bukan Mia yang menolak. Bu Nanda yang menahan Mia agar tidak mengikuti permintaan putranya tersebut.

"Ada yang harus kami bicarakan, Bu," tolaknya pelan.

"Ya nggak papa, memangnya Ibu nggak boleh tau?"

"Bukan begitu, Bu..."

"Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Pintunya jangan ditutup, awas saja kalau kalian macem-macem nanti," setelah memberi peringatan, Bu Nanda berlalu ke dapur.

Mia terdiam di sofa ruang kerja Pak Miko, duduk bersebelahan dengannya. Helaan nafas terdengar darinya, namun ia tetap bertahan untuk tidak menolehkan kepalanya.

"Kamu sudah tau gosip yang beredar di kampus, bukan?"

"Udah. Maksud Bapak apa sih posting kayak gitu? Walaupun wajahnya nggak kelihatan, tapi itu berhasil membuat orang-orang heboh, Pak. Lalu bagaimana kalau mereka tau siapa yang ada di foto itu?"

"Masih belum jelaskah?"

"Hah? Jelas apanya, Pak?" tanya Mia bingung. Jujur ia nggak bisa langsung paham sama perkataan beliau ini.

"Kamu udah lihat postingan saya belum sih sebenernya?" Pak Miko mulai merasa kesal pada gadis di depannya itu. Kenapa sulit sekali untuk membuatnya paham apa yang ia inginkan?

"Intinya," ia menghela nafas sejenak, berusaha menghimpun kesabaran dan keberanuan. "Saya ada rasa sama kamu. Saya ingin mengenal kamu lebih jauh lagi."

Mia terperangah di tempat, "Bapak sakit?" tanyanya heran.

"Saya serius, Mia. Memangnya kamu pikir kenapa saya repot-repot menawarkan diri untuk membantu kamu?"

"Bapak nembak saya?"

"Apalah itu, intinya saya benar-benar serius sama kamu. Untuk pria seusia saya rasanya sudah tidak pantas untuk menjalin hubungan seperti itu, tapi saya akan menuruti apapun keinginan kamu."

"T-tapi ini terlalu aneh, Pak."

"Apa yang aneh, Mia? Bisa kamu jelaskan?"

"Bapak dosen saya."

"Itu pekerjaan saya."

"Bapak juga sering marah-marah."

"Saya tidak marah, Mia. Saya memberi teguran kepada siapapun yang melanggar aturan bersama."

"Tapi Bapak galak!" cetusnya, ia sudah kehabisan akal untuk menolak kegigihan pria di depannya itu. Iya, mereka sudah duduk berhadapan sekarang.

"Kamu baru tau kulitnya saja Mia. Saya profesional jika sedang di lingkungan kerja."

Mia terdiam.

Dia nggak ada perasaan khusus buat Pak Miko, kecuali rasa jengkel saat mata kuliah beliau, atau saat harus berhadapan di ruangan beliau.

Rasa ketertarikan kepada lawan jenis sama sekali tidak ia rasakan, hanya debaran biasa akibat terlalu grogi kalau berhadapan dengan beliau.

"Kenapa saya, Pak?"

"Saya nggak tau, Mia. Kalau bisa juga saya nggak milih kamu."

Mia mendengus pelan.

"Bapak bisa menjalin hubungan dengan Bu Kajur yang udah jelas-jelas ada rasa sama Bapak."

"Perlu saya jelaskan lagi dari awal?"

Mia meremas rambutnya pelan. Ia masih sulit untuk mempercayai fakta mengejutkan ini. Rasanya terlalu mendadak, aneh, dan terkesan buru-buru.

"Bapak prank saya, 'kan?"

Nyali Mia menciut mendapati tatapan tajam dari pria tersebut. Ia berdehem pelan mencoba melegakan tenggorokannya.

"S-saya-"

"Kamu tidak perlu menjawab apapun untuk sekarang. Saya hanya ingin mengutarakan apa yang saya rasakan, dan semoga kamu bisa mempertimbangkannya."

Setelah pembicaraan itu, Mia berubah menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Bahkan ia menanggapi gosip kampus dengan datar, tiada gairah hidup di dalamnya.

"Eh, ternyata itu bukan Bu Kajur gaess. Udah ada kejelasan di IG, apalagi cewek itu badannya agak kurusan. Jadi bisa dipastikan kalau itu bukan beliau."

"Ya jelaslah, kan beliau juga bentar lagi mau married. Duh, Pak Miko kapan ya nyebar undangannya?"

Mia menggebrak meja dengan buku yang ia bawa, menimbulkan keributan yang menghentikan keributan di kelas.

"Bisa diem nggak?" tanyanya datar, memunculkan rasa heran dari teman-temannya.

"Kamu kenapa, Mia? Kok aneh banget sih?"

"Iya, tumben diem aja dari tadi?"

"Gue ribur, kalian pada protes. Giliran gue diem, kalian pada heran kayak gitu. Hayati lelah, bwang..."

"Kamu udah tau kalau yang di foto kemarin itu bukan Bu Kajur?" Mia mengangguk. "Kamu tau orangnya siapa?" Mia mengernyit mendapat pertanyaan aneh itu.

"Kenapa tanya ke gue?" tanyanya heran. Apa hubungannya, coba? Walaupun ia tau siapa yang dimaksud Pak Miko, tapi tak mungkin ia ceritakan yang sebenarnya kepada teman-temannya. Gali kubur sendiri namanya.

"Kan kamu sering banget ketemu sama beliau. Siapa tau aja kamu dicurhatin sama beliau 'kan?"

Mia melayangkan bukunya, tepat mengenai lengan temannya tersebut. "Sembarangan! Emangnya gue siapa sampai harus dicurhatin sama dia? Aneh-aneh aja kalian semua."

"Ya 'kan siapa tau, gitu..."

"Bodoamat! Siniin bukunya, gue mau belajar biar lolos ujian nanti."

"Kamu beneran mau pindah? Ninggalin kami yang udah setia nemenin kamu dari awal?"

"Hilih! Yang ada kalian manfaatin gue! Mentang-mentang gue orangnya nggak bisa nolak, kalian jadi seenaknya ke gue. Mana nggak ada yang inisiatif nraktir gue makan lagi," gerutunya kesal.

Huft, bakalan rindu banget kalau ia pindah nanti. Apalagi sama doi.

Di dua tempat berbeda, Kak Revan dan Pak Miko tiba-tiba tersedak saat sedang menikmati minuman masing-masing.

.

.

.

.

.

to be continue

Next chapter