3 C

Suasana riuh memenuhi koridor depan ruang laboratorium. Para mahasiswa terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing, tak lupa dengan modul yang melekat pada diri mereka.

Ada yang menunduk dan membacanya dengan serius, ada yang merem sambil komat-kamit buat menghafal, namun ada pula yang sibuk menyalin tulisan dari modul dalam sebuah kertas dan ditulis kecil-kecil.

Dan yang lebih gilanya lagi, ada pula yang malah tiduran dan sesekali menjahili kawan-kawannya yang sedang sibuk menghafal.

"Jaringan yang mengangkut hasil fotosintesis untuk diedarkan ke seluruh bagian tumbuhan namanya-"

"Xylem!" Potong sebuah suara, mengaburkan konsentrasi temannya yang sedang sibuk belajar.

"Diem, deh! Nggak tau sini lagi belajar?!" tegur temannya yang merasa tak terima diisengi begitu saat sedang sibuk-sibuknya. "Udah teriak, salah lagi."

Tau apa yang dilakukan si pelaku itu? Dia malah ngakak guling-guling mengapresiasi keberhasilannya dalam berbuat jahil.

"Monokotil itu berkas pengangkutnya menyebar, sedangkan dikotil berkas pengangkutnya teratur, dipisahkan oleh-"

"Yaaahhh... Mereka LDR dong??"

"-kambium."

"Eh, gue mau curhat dong??"

"Berisik! Bentar lagi mau responsi, bukannya belajar malah gangguin temennya yang lagi serius belajar," ucap temannya kesal.

"Ngapain belajar? Nanti kan pasti dapet contekkan," ucapnya bangga.

Sepertinya cukup sulit untuk menyadarkan orang yang tabiatnya kayak gitu. Rasanya pingin jedotin kepalanya ke tembok biar agak normalan dikit gitu. Beneran, sekali lagi menyulut emosi, bonyok itu kepala!

"Woy! Parah-parah!" teriak seorang cowok yang baru saja tiba di sana dengan nafas yang ngos-ngosan. Udah mirip pemberi utang yang nagih utang, tapi malah ditinggal main petak umpet sama pengutangnya.

"Kenapa?" tanya yang lainnya mulai heboh.

Cowok tersebut menenggak air mineral dari sebuah botol yang berada di dekat kakinya, entah milik siapa itu. Tak ada protes dari siapapun, karena rasa penasaran mereka akan berita yang bakalan disampaikan.

"Gawat! Pokoknya kalian harus belajar bener-bener. Nanti di dalem jangan ada yang nyontek, kerjain dengan sungguh-sungguh dan dengan usaha sendiri."

"Buruan! Udah mirip nasehatin bocah aja!" gerutu Si Tukang Jahil tadi tak sabaran.

"Nanti bakalan ada dosen yang ikut mengawasi jalannya responsi sore ini. Pokoknya harus main aman, jangan sampai ada kesalahan dikiiiiit aja. Bisa-bisa dapet D semua kelas kita!"

"What???" Pekikkan tak percaya langsung mengubah atmosfer di koridor tersebut.

Suasana makin kacau, runyam! Mereka langsung membuka kembali modul masing-masing, membacanya kilat, dan sesekali memejamkan mata untuk menghafal.

Berbanding dengan seorang mahasiswi yang malah asyik di pojokkan sambil ngangguk-ngangguk dengan mata terpejam. Ia sama sekali tak menghiraukan keributan yang baru saja terjadi, dan lebih memilih menyumpal kedua telinganya dengan headset.

Ia tak akan sadar bahwa semua temannya sudah memasuki ruang responsi, jika tidak ada sebuah tepukan yang berhasil menyadarkannya. Ia mendongak, dan hendak berucap namun berhasil dipotong oleh orang tersebut.

"Cepat masuk, atau kamu ngulang tahun depan."

Tak ada kemarahan atau emosi dalam perkataan tersebut, namun rasanya sangat menakutkan ketika diucapkan oleh dosen tampan nan killer itu.

"B-baik, Pak," ucapnya terbata sebelum berdiri dari duduk lesehannya kemudian masuk ke dalam ruangan dengan patuh.

.

"Baiklah, sudah dapat lembar jawaban semuanya? Jangan lupa tulis identitas kalian di pojok kanan atas, tulis juga kode soal di sebelahnya," intruksi asisten praktikum perempuan yang baru saja selesai membagikan soal responsi.

Ia kembali lagi ke depan kelas, kemudian mengamati jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Mahasiswi tersebut terlihat sekali tidak nyaman, lebih tepatnya canggung dan tidak bisa leluasa karena dosen pengampu turun tangan langsung untuk mengawasi jalannya responsi.

"Kerjakan dengan sungguh-sungguh, jangan tengok kanan-kiri."

Semua peserta langsung menegang di kursinya masing-masing. Bahkan asisten praktikum-pun ikutan tambah tegang.

Padahal dosen tersebut nunduk aja dari tadi, kok bisa tau? Apa beneran dosen itu punya indra ke enam?

"Yang ketahuan nyontek saya ambil lembar jawabnya," ancamnya.

Tidak ada lagi yang bersuara, mereka lebih memilih duduk anteng di kursi sambil mencoba mengingat-ingat materi yang sudah dipelajari. Meskipun demikian, ada saja yang malah corat-coret random di belakang lembar soal sambil melontarkan sumpah serapah dalam hati.

'Asssem!!! Mana tadi nggak belajar lagi? Nyontek siapa kalau gini ceritanya? Bukannya selesai ngerjain soal, yang ada malah selesai sudah harapan buat nggak ngulang lagi!"

"Kalian bisa mulai mengerjakan sekarang, waktu mengerjakan lima puluh menit."

Astagaaa, lima puluh menit dapet apa? Mana banyak banget soalnya. Udah gitu masih ada soal uraian yang teoritis banget! Duh, modyar ueee...

Seorang mahasiswi yang duduk di pojokkan terlihat awas mengamati sekelilingnya, mencoba mencari celah untuk minta bantuan.

"Psssst!" ia berusaha memanggil teman di sebelahnya.

"Apa?" tanya orang itu tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang dapat dilakukannya, tentunya membutuhkan ketelitian tinggi untuk dapat memahaminya.

"Yang di pojok kanan belakang, sekali lagi berulah saya ambil lembar jawabannya!" tegas sebuah suara yang berada di depan.

'Assseeemmm!!!' umpatnya dalam hati.

Oke, ternyata beneran nggak ada celah buat minta bantuan ke siapapun. Bisa apa selain pasrah dan ngerjain sebisanya?

.

"Dasar asem semuanya! Kan gue jadi nggak bisa ngerjainnya?" teriak Mia setelah ujian responsi berakhir. Teman senasibnya pun merasakan hal yang sama, udah pasrah deh mau dapet nilai apa aja. Syukur-syukur dapet BC, biar nggak diwajibkan ngulang, dan tentunya kelihatan lebih cakep dibandingkan cuma dapet C!

Berbeda dengan gerombolan anak-anak cerdas yang ngeluh soalnya susah, tapi lembar jawaban sampai full dan minta nambah lagi.

"Takut banget sumpah, mau nafas aja rasanya takut," sebuah aduan menguar dari gerombolan tersebut. "Untung aja tadi udah belajar, jadi udah siap," lanjutnya.

"Eh iya, tadi ada beberapa soal yang nggak kejawab. Udah pusing duluan akuuu..."

"Samaaa. Aku malah nggak sempat baca materi gegara sibuk rapat organisasi," timpal yang lainnya heboh.

"Heh! Nggak bersyukur banget jadi orang! Masih mending bisa ngerjain, lah orang kayak gue? Jungkir balik sampai muntah juga nggak bisa ngerjain," sahut Mia heboh.

Ia merasa tersinggung saat menjumpai human-human yang kayak gitu. Ngakunya nggak bisa ngerjain, belajarnya mendadak, atau bahkan nggak sempet buka materi, tapi tiba-tiba... Wuuuuussshhhh, dapet nilai A di KHS nanti, mentok-mentok dapet B!

Edan nggak tuh?!

"Udahlah Mi, kita emang golongan dodol. Dipoles gimana aja tetep aja dodol, cuma jenisnya aja yang beda. Bisa dodol garut, jenang dodol, atau dodol dolanan (Jawa: jual mainan)," hibur temannya yang termasuk dalam kelas dodol juga.

"Kita??? Lo aja kali?!"

Tanpa berkata lagi Mia langsung berlalu dari tempat itu, menjauhi sumber emosinya saat ini lebih penting dibanding ber-ramah tamah dengan mereka.

"Mia!"

Sebuah panggilan menahan langkah gadis itu yang sebentar lagi sampai di parkiran. Ia kembali ke teras fakultas, "iya, Pak? Ada apa?"

"Hasil kuis sama tugas temen kamu," ucap beliau sambil mengangsurkan tumpukan kertas dan makalah. "Tolong bagikan," lanjutnya kemudian berlalu dari hadapan Mia.

'Sabar Mia, siapa tau nanti nilaimu jadi bagus? 'Kan kamu jadi koordinator kelas, udah sering juga bantuin beliau. Semoga Pak Miko bisa lebih baik ke kamu, dengan nggak ngasih nilai C ke kamu,' batinnya mencoba menyemangati diri sendiri.

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter