5 Pesan dari Belva

Dari awal jam pelajaran sampai jam pelajaran berakhir, Tania hanya murung dan cemberut tidak seperti biasanya. Cantika yang kebetulan duduk satu bangku dengannya, begitu heran melihat tabiat Tania hari itu. Dia banyak diam. Diamnya karena kecewa. Dia tahu kekecewaan itu karena dia berharap terlalu besar.

"Sebenarnya kamu kenapa?" tanya Cantika sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas.

"Enggak kenapa-kenapa," jawab Tania tanpa senyum dan dengan nada lemas, tidak ceria seperti biasanya.

"Bayi pun tahu kalau kamu sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan Tania yang biasanya. Tania kan nyablak tidak pendiam seperti ini. Cerita padaku, ada apa?"

Tania tidak menjawab. Ia hanya melamun menghadap ke luar kelas. Matanya segera terbelalak, ketika Belva lewat depan kelasnya. Ia langsung berlari menuju ke arah Belva.

"Kak Belva, tunggu!" teriak Tania. Seketika Belva menoleh.

"Apa?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

"Apa? Kak Belva masih bertanya?" tanya Tania dengan menggebu.

"Apa sih? Nggak jelas."

"Kak Belva yang enggak jelas. Kenapa tadi Kak Belva nggak datang ke taman?"

"Oh ... Itu. Lupa," jawab belva enteng.

"Lupa? Begitu enteng ya Kak Belva bilang lupa? Aku sudah datang sejak jam 5.30 supaya tidak terlambat. Tetapi kak Belva sama sekali tidak menghargai kesepakatan yang sudah kita sepakati bersama."

"Kesepakatan? Heh. Kan aku yang minta di ajari? Kenapa malah kamu yang kelewat semangat dan sampai marah-marah seperti ini? Aku kan sudah bilang kalau aku lupa. Lagian kamu siapa sampai marah begini sama aku?"

"Berarti kak Belva sama sekali tidak menganggap penting sebuah janji. Itu karena aku bukan siapa-siapa. itu karena aku adalah orang yang tidak penting sampai Kak Belva sama sekali tidak menghargai aku. Ternyata selama ini Aku kagum sama orang yang salah. Aku pikir kamu masih punya hati. Ternyata tidak. Kak Belva tidak tahu bagaimana bahagianya aku semalam karena aku akan bertemu dengan kak Belva. Tidak tahu bagaimana semangatnya aku bangun pagi, karena aku ingin segera bertemu dengan Kak Belva. Tapi apa yang aku dapat? Sudahlah. Aku memang orang yang gak penting, bahkan hanya sekedar ingin belajar bersama dengan kak Belva pun aku tidak layak." Tania berbicara dengan mata berkaca-kaca. Ia benar-benar kecewa karena ekspektasinya yang terlalu tinggi. Ia menatap Belva sejenak, lalu ia segera berlari ke dalam kelas, mengambil tas, dan segera berlari ke depan gerbang. Dia tidak mempedulikan Cantika yang sibuk bertanya ada apa?

Sedangkan Belva, ia hanya mematung di tempatnya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa sikapnya bisa membuat Tania merasa sekecewa itu.

***

Tania menunggu kedatangan Kak Doni di depan gerbang sekolah dengan mata memerah. Ia benar-benar merasa kesal sekaligus malu. Ketahuan sekali ia terlalu berharap. Mungkin ia terlalu ekspresif, hingga akhirnya ia malu sendiri, seolah ia sedang ditolak.

Tit ... Tit ...

Terdengar bunyi bel motor Kak Doni. Tania yang sedang melamun langsung berjingkat mendengar itu. Lalu ia segera menghampiri kakaknya.

"Apaan sih kak? Berisik." Tania mengambil helm dari tangan Kak Doni sambil cemberut.

"Kakak sudah panggil-panggil kamu beberapa kali, tapi kamunya terus melamun. Lagi ngelamunin siapa?" goda Kak Doni sambil tersenyum meledek.

"Mikirin dedemit yang nggak punya hati," ucap Tania sewot.

"Ecieeee ... Sepertinya adik kakak sudah mulai main-main perasaan ini."  Kak Doni kembali menggoda dengan menowel dagu Tania dengan jari telunjuknya.

"Apa sih kak Doni, ayo jalan." Tania segera naik ke jok belakang motor bebek Kak Doni. Sang kakak hanya bisa tertawa sambil melajukan motornya.

Kurang lebih 30 menit, mereka sudah sampai di rumah. Tania membuka pintu rumah dengan murung. Baru saja ia melangkah 1 langkah ke dalam rumah, ia sudah mendengar teriakan papa dan Mamanya di ruang Keluarga.

"Kenapa Mama setiap hari curiga terus sama papa? Papa sudah bosen dicurigai terus, Ma." Pak Hadi, papa Tania, berbicara dengan nada tinggi.

"Mama curiga juga berdasar, pa. Bukan asal curiga. Kalau papa tidak pernah menghianati Mama sebelumnya, Mama tidak akan separno ini." Bu Siwi, mama Tania menimpali. Suaranya tidak kalah lantang.

Sebenarnya Tania sudah bosan mendengar pertengkaran orang tuanya setiap hari. Teriakan mama dan papanya sudah seperti makanan yang harus ia lahap setiap hari, mau tidak mau.

Tania mematung di depan pintu, ia enggan melangkah ke kamarnya yang harus melewati ruang keluarga di mana mama dan papa Tania sedang beradu argumen.

"Dek, nggak usah didengerin. Kamu langsung masuk kamar aja." Kak Doni menepuk pundak Tania lembut.

"Mana mungkin aku tidak mendengarkan mereka, Kak. Apa mereka tidak bosan bertengkar setiap hari. Aku pusing mendengar teriakan itu setiap hari, kepalaku rasanya seperti mau pecah." Tania menunduk. Ia sudah merasa kesel di sekolah gara-gara Belva, dan sekarang ditambah lagi dengan cekcok orang tuanya yang tiada habis.

"Kamu jangan khawatir. meskipun orang tua kita selalu bertengkar yang menyebabkan suasana menjadi panas, kan selalu ada kakak yang akan menemani kamu dan bisa mendinginkan suasana." Kali ini Kak Doni berbicara serius dengan nada lembut.

Kak Doni memang kakak yang sangat baik untuk Tania. Kadang ia jahil, selalu menggoda Tania. Kadang juga bisa bersikap sangat dewasa, persis seperti sekarang ini.

Tania memandang kakaknya, lalu tertawa kecil meskipun air mata menetes ke pipi chubbynya. Itulah Tania. Ia selalu bersikap ceria, seolah tidak pernah mendapat beban berat. Padahal sebenarnya, ia selalu diam dan murung ketika berada di rumah. Rumah yang dulu selalu menjadi tempat yang nyaman bagi Tania untuk pulang, sekarang berubah menjadi hunian yang sama sekali tidak memberi kenyamanan untuk Tania.

Keceriaan yang selalu ia tampakkan itu, hanya upaya untuk menyembunyikan kepedihan dan upaya untuk menghibur dirinya sendiri.

"Ish, sudah SMA kok masih nangis. Malu!" Kak Doni mengusap air mata Tania dengan ibu jarinya. Ia mengusap dengan lembut. Sebenarnya Doni prihatin melihat adiknya yang harus melihat pertengkaran itu setiap hari. Tapi dia bisa apa? Yang bisa ia lakukan hanya menghibur Tania, bersikap seolah-olah ia tidak terpengaruh dengan adanya pertengkaran hebat orang tuanya.

Mendapat perlakuan seperti itu, tangisnya bukannya reda, tapi semakin menjadi. Tania langsung memeluk kak Doni. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang di rumah itu.

Drt ... Drt ... Ponsel Tania bergetar. Ia melepaskan pelukan Kak Doni, lalu ia segera ngambil handphone dari dalam tas.

Ada sebuah pesan dari Kak Belva. tania mengucek matanya sekali lagi. Benar, nama Kak Belva tertera di sana. Ia segera membuka pesan itu.

~Kak Belva~

[Rambutan!]

Hanya satu kata, tetapi berhasil membuat hati Tania kobat kabit.

avataravatar
Next chapter