20 Hadiah dari Pak Hadi

Setelah beberapa detik mereka saling berpandang, Belva segera melepaskan tangannya.

"Kenapa dilepas sih kak tangannya. Padahal masih menikmati."

"Bisa-bisanya kamu mau mengingkari janji sendiri padahal Baru beberapa menit mengikrarkan."

"Maaf kelepasan. Bagaimana bisa seorang anggota OSIS yang terkenal kharismatik dan keren parah dapat nilai 20," ucap Tania setengah berbisik, lalu dia melanjutkan tawanya.

"Sudah, nggak usah banyak komentar. Periksa, terus katakan padaku salahnya di mana. Perasaan sudah seperti apa yang kamu ajarkan. Jangan-jangan apa yang kamu ajarkan kemarin itu menyesatkan."

Tania mencoba untuk menahan tawanya. Lalu segera memeriksa hasil ulangan Belva.

A letter is writed by Hendro yesterday.

Tania membaca jawaban Belva nomor satu.

Tania kembali tertawa terbahak-bahak. Bahkan kali ini lebih keras. Tawanya benar-benar tidak bisa ditahan. Belva hanya melotot semakin tajam.

"Kak Belva, mulai kapan sih verb 3-nya write jadi writed. Jangan ngarang deh."

"Sekali lagi kubilang, tugas kamu di sini mengajariku. Bukan mengejek." Belva masih menatap Tania jutek. Sebenarnya dia malu, tetapi berusaha untuk bersikap biasa saja.

"Oke, Oke. Sekarang aku serius Kak. verb 3 nya write itu written, bukan writed kak. Di inget ya?" Tania melirik ke arah Belva yang sedang manyun. Tania masih sedikit menahan tawa.

"Terus, ini kan kejadiannya yesterday. Jadi Sudah lampau. To be yang kita gunakan bukan 'is' tapi was. Kan lampau, Kak. Jadi kalimatnya, A letter was written by Hendro Yesterday."

Tania menjelaskannya dengan telaten. Dia mulai membuat tabel tentang active dan passive sentence per tensesnya. Dijabarkannya satu persatu oleh Tania. Belva terlihat manggut-manggut mendengarkan dengan takzim.

Ya, terkadang apa yang dijelaskan oleh orang terdekat itu jauh lebih bisa diterima oleh otak, daripada dijelaskan oleh guru. Belva tersenyum, diam-diam dia kagum dengan kemampuan Tania dalam bidang bahasa Inggris. Sungguh, saat Tania serius begitu, dia tampak begitu memesona di mata Belva. Kadar manisnya bertambah, dan entahlah seperti ada kecerdasan yang terpancar yang membuat gadis itu lebih menarik.

"Nah, sampai di sini Kak Belva masih bingung nggak?"

"Sudah lumayan sih. Apalagi setelah kamu buatkan tabel seperti ini, sepertinya otakku lebih mudah mengingatnya."

"Nah, tips belajarku seperti itu. Aku selalu buat peta konsep yang sekiranya otakku mudah menerima."

"Ish, sok sok an. Orang kamu hanya unggul bahasa Inggris saja, lainnya jeblok parah kan? Apalagi matematika." Belva mulai mencibir.

"Hmmm ... Ish, apalah Cantika ini. Bisa-bisanya dia membocorkan rahasiaku."

"Tapi kamu terlihat enjoy aja dan tidak tertekan. Nggak seperti temanmu yang lainnya."

"Gini kak, bagiku, kita ini manusia dan bukan robot. Wajar dong kalau kita tidak bisa menguasai semua bidang. Yang penting, kita tahu apa kelebihan kita dan selalu kita maksimalkan di bidang itu. Belajar itu perlu, sangat perlu. Tapi bagiku pribadi, aku juga perlu waktu untuk membahagiakan diriku sendiri. Meskipun aku tahu, papa aku tak pernah bangga padaku. Karena aku tidak pintar seperti Kak Doni. Nggak masalah lah, hanya aku sendiri yang tahu kemampuanku." Tania menunduk. Ketika membicarakan ayahnya, raut muka anak itu selalu berubah. Entahlah, kata ayah selalu berarti luka bagi dia. Meskipun begitu, dia tetap menginginkan Ayahnya Ada. Dia tetap menginginkan ayahnya menghuni rumah mereka bersama-sama. Apapun yang terjadi.

Belva menatap Tania yang sedang serius berbicara. Laki-laki itu jarang melihat Tania berbicara serius seperti itu. Saat itu pula, Belva paham betul bahwa ada yang membuat dadanya terasa sesak.

"Lebay banget sih," ucap Belva sambil memukulkan lks-nya ke kepala Tania lembut. Belva tahu, mata Tania mulai memerah, dia tidak ingin sampai air mata Tania jatuh.

Tania langsung menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan.

"Gara-gara kak Belva nih. Eh, udah Bel Kak. Anterin ke kelas dong? Biar sekali-kali ada yang mengantarkanku ke kelas." Tania menggerakkan alisnya ke atas beberapa kali.

"Ogah! Ke kelas sendiri aja sana."

Melihat itu, keisengan Tania kembali muncul. Dia segera mengambil tas yang ada di atas meja, Dia cangklong di punggungnya lalu berdiri.

"Hai teman-teman, mau tahu enggak berapa nilai Kak_" Tania berteriak sambil meletakka telapak tangan kanan dan tangan kirinya di samping mulutnya. Namun sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Belva segera menutup mulutnya untuk yang kedua kalinya.

"Ish, makhluk ini ember banget sih. Ya udah ayo aku antar ke kelas." Belva sewot sambil mengambil tas punggungnya.

Sedangkan Tania hanya senyum senyum penuh kemenangan.

***

"Tan, tadi kamu di jemput Kak Belva lagi?"

"Iya. Nggak apa-apa kan? Ternyata pacar kamu itu payah, masa nilai bahasa Inggrisnya cuma, eh enggak jadi."

"Cuma berapa?"

"Rahasia."

"Ya sudah itu nggak penting. Tan, aku nggak tau kenapa, tapi aku takut kamu jatuh cinta sama kak Belva. Lebih baik aku jujur seperti ini kan? Daripada nanti di belakang persahabatan kita jadi rusak."

Tania yang saat itu mendengarkan penjelasan Pak Hadi di depan kelas, langsung berpaling dan menoleh ke arah Cantika. Dadanya kembali berdebar. Can, sebenarnya hal itu sudah terjadi. Tania sudah mulai mengharap sesuatu yang lebih dari Belva.

"Tenang saja, aku sama Kak Belva itu cuma bersahabat aja. Lagipula kamu tahu persis kan tipe perempuan yang disukai pacar kamu itu? Dia tidak mungkin suka sama anak ceroboh sepertiku. Jadi kamu jangan khawatir. Kamu nggak akan melarang aku bersahabat sama Kak Belva kan?"

Tania mencoba memilih kata-kata yang tepat, supaya Cantika tidak mencurigai apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Sebenarnya, ada hal yang lebih dia khawatirkan, Ya itu dia khawatir kalau Cantika tidak membiarkan Belva untuk dekat dengannya lagi. Bagaimana bisa? Tania Sudah sangat nyaman dekat dengan Belva, meskipun sampai kapanpun mereka tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Namun, menjadi sahabat saja, itu sudah lebih dari cukup untuk Tania. Ya, status itu tidak penting kan? Yang penting kedekatannya seperti apa.

"Asal kamu benar-benar bisa menjaga kepercayaanku, Aku tidak akan melarang kamu bersahabat dengan Kak Belva. Aku cuma khawatir saja, Tan. Nggak apa-apa kan? Wajar kan bila aku khawatir?"

Ya, dari tatap mata Cantika, Tania faham kalau Cantika benar-benar khawatir, dan mungkin menganggap Tania adalah ancaman bagi hubungan mereka. Namun, Cantika tidak mungkin melarang mereka untuk bersahabat.

"Ish, jangan lebay deh Cantika. Kayak aku calon pelakor aja. Aku tahu kok etika persahabatan. Aku nggak akan pernah menghianati kamu, tenang saja," ucap Tania sambil tersenyum. Tentu saja bukan senyum yang tulus, karena apa yang diucapkan tidak sinkron dengan apa yang ada di hatinya.

"Ehm ... Sedang membahas apa sih? Pak Hadi boleh ikut gabung?"

Seorang laki-laki paruh baya dengan kumis tebal, dan rambut yang setengah botak sedang berdiri di samping mereka dan menatap tajam kearah mereka berdua.

Tania dan Cantika seketika membeku. Bapak berkepala setengah botak itu pasti sebentar lagi akan memberi mereka hadiah.

avataravatar
Next chapter