webnovel

Page 1 | Surat Untuk Li-Chen

Seah sudah siap dengan tas yang berisi barang bawaannya. Ia sudah menantikan hari ini sejak lama. Hari di mana ia akan membalaskan dendamnya yang terkubur selama sepuluh tahun lamanya pada Keluarga Kerajaan Treetania.

Tidak, dalang utama yang menjadi targetnya adalah Rajanya. Seseorang yang telah merenggut kebahagiaan serta orang-orang terdekatnya. Seseorang yang merusak keharmonisan Negerinya. Seseorang yang benar-benar tidak pantas di sebut Raja.

"Kau akan mati, Helios Treetania."

Seah membuat sebuah lingkaran sihir di tanah, ia menggunakan magis teleport untuk mempersingkat perjalanannya.

-------

Gadis itu muncul di tengah-tengah hutan perbatasan Kerajaan Treetania. Kemudian berjalan lurus hingga sampai di sebuah padang rumput bagian utara Kerajaan.

Seah mulai memasuki kawasan Kota, ia akan mencari lebih banyak info di hari pertamanya di sini.

Hari itu musim panas, cuaca di luar mantel Seah terasa semakin terik. Membuat ia yang terkurung dalam mantel itu kepanasan.

"Ugh, jika saja aku bisa mengendalikan cuaca, mungkin aku akan menurunkan salju," keluhnya.

Kemudian Seah mencari lokasi yang tertulis pada kertas pemberian Armon dua bulan lalu.

"Penginapan di Jalan Aurume nomor 17, Kota Hikkan." Seah membaca kalimat yang tertera pada kertas itu.

Ia berjalan sambil melihat sekeliling, memastikan kalau dirinya tidak tersesat.

'... Kau harus melewati hutan perbatasan di utara Kerajaan, lalu ... uhuk! cari seorang pria bernama Li-Chen, dan berikan kertas kuning ini padanya ... lalu ... kau ... pergi ke alamat ....'

Suara Armon yang sedang sekarat kembali menyeruak dalam kepalanya. Seah memejamkan matanya guna menghilangkan ingatan kejadian itu untuk saat ini.

Seah menghela napas pelan, ia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Setelah berjalan cukup jauh, Seah berhenti di depan sebuah toko kue. Ia kembali memeriksa catatannya.

Alamat yang di tuliskan di kertas itu tepat di tempat Seah berdiri.

"Toko kue? bukankah seharusnya penginapan?" tanya Seah pada dirinya sendiri.

Kemudian, ia memasuki toko kue itu. Ia menanyakan kepada salah satu penjaga toko, siapa pemilik toko kue ini.

"Pemilik toko ini adalah Duke Li-Chen, Nona," katanya.

Seah tersentak kaget setelah mendengar kata 'Duke' mengiringi nama Li-Chen. Ia berusaha terlihat tenang agar tak menimbulkan kecurigaan.

"Ada keperluan apa dengan Tuan Duke?"

"A-aku di utus untuk menyerahkan sesuatu padanya dari seseorang."

"Boleh saya periksa dahulu?" tanya penjaga toko itu.

"Maaf, tapi tidak bisa."

Air muka penjaga toko itu nampak tidak senang setelah mendengar penolakan Seah.

"Kami tidak mengizinkan siapapun bertemu atau memberikan apapun kepada Tuan Duke tanpa pemeriksaan terlebih dahulu.

Silahkan Nona keluar dari toko kami, atau saya akan turun tangan."

Seah hanya bergeming, ia tak memperdulikan usiran penjaga toko itu.

Ia tak peduli meskipun harus berperang dahulu sebelum bertemu Duke Li-Chen. Yang terpenting di pikirannya adalah menyampaikan surat dari Armon.

Penjaga toko itu sudah kehilangan kesabaran, ia melepas sarung tangannya, menunjukkan sebuah simbol daun semanggi berkelopak tiga dengan sebuah mahkota di tengahnya.

Seah tahu itu adalah simbol Kerajaan.

Penjaga toko itu mengangkat tangannya setinggi wajah. Kemudian, mulai mengeluarkan cahaya berwarna kelabu yang menajalar ke sepanjang pembuluh darah di tangan kanannya.

"Kau yang memaksa, Nona," katanya.

Seah masih bergeming, ia hanya menatap dingin penjaga toko itu.

Penjaga toko itu mulai mengayunkan tangannya, ia hendak meraih bahu kiri Seah.

Gadis itu masih bergeming. Hingga, ketika tangan penjaga toko itu hampir menyentuhnya, dengan sigap Seah meraih tangan kekar itu.

Ia sedikit mencengkramnya. Namun, penjaga toko itu malah berteriak kesakitan.

"Kau bereaksi terlalu berlebihan," ucap Seah tanpa melepaskan cengkramannya.

Penjaga toko itu terus berteriak, ia meminta maaf kemudian menyuruh Seah melepaskan cengkramannya.

"Ada ribut-ribut apa ini?"

Suara bariton khas seorang pria itu mengalihkan perhatian Seah serta penjaga toko yang sedang di cengkram tangannya.

"T-tuan Duke ..." lirih penjaga toko itu.

"Lepaskan tangan pegawaiku, Nona."

Seah menurut. Ia melepaskan tangan kekar itu serta meninggalkan jejak keunguan di pergelangan tangannya.

"Kau Duke Li-Chen?" tanya Seah.

Pria yang berdiri dengan setelan tuxedo biru laut itu hanya mengangguk.

"Ada yang perlu aku sampaikan secara empat mata."

Seah merogoh bagian dalam mantelnya.

"Di ruanganku saja," kata Duke Li-Chen.

Seah mengangguk, kemudian mengekori pria itu sampai ke lantai dua.

- - -

"Kau kenal Armon?" Seah mengawali pembicaraan.

"Ya, dia sahabatku."

Seah mengangguk, kemudian menyerahkan selembar kertas berwarna kuning yang dilipat dengan rapi.

"Armon menyuruhku memberikan itu padamu sebelum ... ia meninggal."

Li-Chen menerima kertas itu, ia membukanya di hadapan Seah.

"Kau ... kau memiliki hubungan apa dengan Armon?" tanya Li-Chen dengan suara yang parau seperti menahan kesedihan setelah membaca isi surat itu.

"Nanti kau tahu sendiri," sahut Seah.

Li-Chen menutup wajahnya dengan tangan kiri. Ia bertumpu pada meja di hadapannya. Pria itu ... menangis.

Seah hanya menundukkan kepalanya di hadapan Li-Chen. Meja besar itu menjadi pembatas jarak antara Li-Chen dengan dirinya.

Setelah hening selama beberapa saat, Seah memberanikan dirinya untuk menanyakan isi surat itu.

Li-Chen memberikan kertas kuning itu pada Seah. Ia rasa gadis di hadapannya berhak membaca surat itu juga.

Seah menerima kertas itu dengan sedikit gugup. Ada rasa kalut di hatinya saat menerima surat itu.

"Tidak, simpan saja untuk dirimu. Aku takkan sanggup membacanya."

Seah mengembalikan kertas kuning itu.

Keheningan kembali melanda keduanya.

Hingga beberapa belas menit berlalu, Li-Chen menghela napas berat. Pria itu menatap Seah dengan mata basahnya.

"Kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau, aku akan menutup toko nya untuk kenyamananmu," ucap Li-Chen.

Seah mendongak, menatap Li-Chen yang berdiri di hadapannya.

"Kenapa harus tutup toko?" tanya Seah.

"Hanya untuk kenyamananmu saja."

Li-Chen beranjak pergi. Namun, setelah meraih kenop pintu, pria itu berbalik.

"Oh, aku lupa. Kita belum berkenalan!"

Pria itu kembali ke tempat duduknya di hadapan Seah.

"Aku Li-Chen Sharwood, kau boleh memanggilku apa saja, kecuali Duke."

Pria itu mengulurkan tangannya. Seah menyambut uluran tangan itu dengan tenang.

"Kau bisa memanggilku Seah."

Li-Chen tersenyum tipis.

"Berapa umurmu?" tanya Seah.

"Dua puluh empat tahun."

Seah terkesiap.

"Hah?"

"Kenapa?"

"Aku kira ... kau lebih tua dari Armon dan ... sudah menikah," ucap Seah.

Li-Chen tertawa. Ia menceritakan tentang dirinya pada Seah.

"Begitu, ya."

Setelah itu, Li-Chen pamit keluar. Seah sudah mengucapkan terima kasih sebelum pemuda itu menghilang di balik pintu.

Kini tersisa dirinya sendirian.

Seah membereskan barang-barang di dalam tasnya, ia melepas mantelnya namun tidak dengan sarung tangannya.

Ia mudah akrab dengan siapa saja, tetapi tidak berarti Seah mudah mempercayai orang itu. Seperti Li-Chen.

Seah menghela napas pelan, kemudian beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

"Setidaknya aku mendapatkan tempat tinggal gratis disini," katanya.

°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°