2 2. Si Pragma dan Si Ludus

——————————————————————

Dia tampan, jadi aku menyukainya.

-Davira -

——————————————————————

"ADAM LIANDRA KIN!!! SEMANGAT KAK ADAM!!!" Suara melengking kaum hawa kini memenuhi stadion kala peluit pertama nyaring dibunyikan. Ruih gemuruh tepuk tangan penonton dari atas tribune mengiringi kemudian. Papan besar bertuliskan nama remaja berperawakan tinggi dengan dagu lancip dan kedua alis tebal menyiku tak luput dari fokus seorang gadis yang hanya duduk memangku tangan di atas perut datarnya. Bibirnya sama sekali tak berucap layaknya fans yang menggila sebab idolanya sedang berada di dalam medan perang sekarang ini.

Sesekali bibir merah mudanya hanya tersenyum kecut sembari terkekeh kecil kala menyadari betapa riuhnya kaum hawa sebaya dengannya yang sedang menggila sore ini.

"Vira, lo nonton juga akhirnya?" suara lirih mengejutkannya tiba-tiba. Gadis yang disebut namanya itu menoleh sekilas, sebelum akhirnya kembali pada posisi nyamannya -bersandar pada dinding standion-

"Sekali-kali liat cowo gue tanding 'kan?" jawabnya enteng.

Gadis di sisinya hanya mengangguk ringan tanpa mau membalas.

"Lo sendiri?" Davira melanjutkan.

"Nonton pacarnya temen gue," sahutnya sembari terkekeh kecil.

Dia adalah Davira Faranisa. Bisa dibilang setengah Good Girl setengah lagi Bad Girl tergantung situasi dan kondisi, begitu kata teman-temannya. Davira Faranisa atau yang kerap dipanggil Vira  adalah jajaran yang masuk nominasi si cantiknya sekolah. Tubuhnya semampai, matanya bulat, alisnya rapi melengkung bulan sabit, hidungnya tak terlalu mancung, standarnya orang tanah jawa. Kulitnya putih susu, senyumnya manis berlesung pipi. Suaranya sedikit serak tapi kalau didengar dengan seksama lembut nan menangkan. Katanya sih, Davira itu anak persilangan dua negara. Kalau ditanya begitu, Davira selalu membatah dengan berani mengucap sumpah demi apapun bahwa ia produk lokal dengan penuh karunia kesempurnaan dari Sang Pencipta.

Pacarnya adalah Adam Liandra Kin. Yang kalau sudah pakai seragam basket, berdiri di posisi paling tengah sambil tersenyum kuda, riuh satu sekolah memanggil namanya penuh semangat. Si remaja yang dikenal orang paling berwibawa di sekolah. Setiap perkataannya selalu berbobot dan jadi pemikiran masa depan sekolah. Perawakannya? Tak diragukan lagi kalau sudah menyangkut fisik. Dialah yang paling mendekati sempurna diantara teman-temannya yang lain. Parasnya tampan sangat mempesona. Tubuhnya kurus tinggi dengan lengan berotot pepak yang membuatnya makin digilai kaum hawa. Katanya, kalau si remaja berponi tipis ini tersenyum, matanya mirip bulan sabit di langit malam. Giginya putih nan rapi. Tidak banyak orang yang tahu tentang kehidupan pribadi remaja bertubuh jangkung ini, hanya satu yang mereka tahu. Adam adalah kekasih Davira. Itu saja.

Davina adalah sahabatnya Davira juga Adam. Agak mirip memang namanya, tapi sifat mereka bak langit dan bumi. Kalau Davira si cuek dengan keadaan tentang fans gila Adam, Davina adalah si pemerhati. Bisa dibilang segala informasi yang berhubungan dengan ke-alay-an fans Adam adalah hasil jerih payah seorang Davina Fradella Putri —"Lo punya pacar tapi gak lo urus, beneran sayang lo sama dia?" Begitu celotahannya terhadap Davira. Namun jawabannya selalu sama. "Gue pacarnya, bukan istrinya."

"Udah mau selesai tuh." Davina menepuk pundak Davira. Gadis berambut sebahu itu menoleh sekilas. Melirik jam kecil yang melingkar ditangan kirinya. Mata bulatnya kemudian melirik papan nilai di sisi stadion. Tim Adam menang lagi kali ini, memang tidak pernah diragukan lagi kalau juara tanding selalu menang di setiap pertandingan.

"Gue ke belakang dulu." Davira beranjak dari posisinya. Menepuk ringan pundak sahabatnya yang hanya tersenyum dengan erangan kecil tanda mengiyakan perkataan Davira.

°°°°°LudusPragmaVol2°°°°°

Seperempat jam berlalu. Suara tawa khas milik Adam kini terdengar jelas di telinga Davira. Gadis bertubuh semampai itu beranjak dari tempat duduknya. Mencegat remaja berkaos biru tua tanpa lengan yang sedikit terkejut dengan kehadirannya.

"Kamu dateng?" Adam tersenyum ringan. Sembari menatap paras ayu kekasihnya, tangan panjangnya terulur untuk menerima handuk kecil yang sengaja disiapkan Davira untuknya.

"Sekali-kali 'kan?" Davira menimpali. Tersenyum kuda kemudian.

"Habis ini mau jalan-jalan sama aku?" Davira melanjutkan. Adam yang hanya diam sembari menyeka keringatnya kini mengangguk pasti.

"Aku ganti baju dulu," lanjutnya mengusap lembut puncak kepala gadis yang hanya setinggi bahunya itu.

°°°°°LudusPragmaVol2°°°°°

Sang bayu semilir membelai permukaan kulit putih susu Davira. Jari-jemarinya kuat menggenggam pergelangan tangan Adam. Seakan-akan takut lepas kalau satu jari saja geser dari posisi awalnya.

"Minggu depan kita dua tahun." Davira berucap tiba-tiba. Adam sedikit menunduk untuk menatap gadis yang sedari tadi sedikit mendongak untuk menatap paras tampan dengan ujung poni yang masih terlihat basah sebab keringat hasil bertanding setengah jam yang lalu.

"Kamu mau sesuatu?" Adam menghentikan langkahnya. Tubuh jangkungnya memutar. Terdiam sejenak lalu menarik tubuh gadis bermata bulat itu ke tepi trotoar. Mendudukkannya tepat di bawah pohon hijau yang melindungi tubuh mereka dari senja saat itu.

"Kamu," jawab Davira lirih sembari tersenyum simpul.

Adam memutar posisi duduknya menghadap Davira. "Selain aku?"

"Raga kamu."

Adam tersenyum, "Lainnya?"

"Perasaan kamu."

Lagi-lagi Adam tersenyum. Mengusap kepala gadis yang masih menatapnya penuh pengharapan.

"Kenapa kamu suka aku?" Adam bertanya tiba-tiba. Davira terdiam —Keluar dari topik pembicaraan, lagi.—

"Karena kamu tampan, pintar, berwibawa, dan kaya," jawab Davira tegas. Kembali menatap sepasang lensa yang identik dengannya.

"Kenapa aku suka kamu? Karena kamu selalu jujur." Adam menimpali.

"Kamu mau sesuatu? Selain aku?" Adam kembali menawarkan. Benar, tahun ini adalah kesempatan baru untuk memberi pasangannya itu sebuah hadiah atas kesabaran yang ia berikan untuk Adam—sebuah liontin misalnya.—

Davira menggeleng. "Aku hanya mau kamu sisihkan waktu lebih lama di akhir pekan ini. Kita jalan-jalan seharian, mau?"

Adam terdiam sesaat. Sayu sepasang lensa menatapnya berharap agar perawakan bertubuh jangkung di depannya itu mengangguk atau paling tidak menjawab dengan kata iya. Kalau dipikir-pikir lagi, Adam tak pernah menyisihkan waktu yang cukup untuknya dan Davira. Di akhir pekan, yang ia lakukan adalah belajar untuk ke perguruan tinggi nantinya juga setelahnya adalah kembali pada dunianya —bola basket dan segala hal tentangnya— Untuk Davira, Adam memang berusaha menyisihkan waktu untuk gadis berambut pekat sebahu itu, namun sangat sedikit. Bahkan, hampir tidak pernah dalam setahun terakhir ini.

Kalau diputar kembali saat mereka bertemu pertama kali dua tahun silam, Adamlah yang memulai segalanya. Mendekati Davira, mengajaknya berkencan pertama kali dan menyatakan perasaan untuk gadis itu. Davira tak menerimanya begitu saja. Alasan dalam pembelaannya untuk menolak si remaja tampan itu adalah dunianya yang penuh ke-brengsekan dan teriakan gila dari kaum hawa.

Namun, katanya kalau sudah tertarik dari mata dan dimantapkan ke hati, apapun akan terlewati termasuk alasan penolakan sekuat apapun.

"Minggu ini?" Adam menyahut. Davira yang hanya diam kini mengangguk ragu.

"Oke kalau begitu, kita jalan-jalan keluar kota?"

Davina tersenyum lebar kala mendengar kata luar kota. Artinya seharian penuh dia akan bersama Adam. Seharian penuh.

"Luar kota? Ke mana?" Davira menarik tangan kekasih hatinya itu. Menatapnya lugu sembari menautkan kedua alit cokelat tuanya.

"Kita pikirkan itu nanti." Adam tegas menjawab.

"Latihan basket kamu gimana?"

Adam diam sejenak. Berpikir sembari melirik sekilas Davira yang baru saja merubah raut wajahnya.

"Sehari cuti gak bikin aku kalah 'kan?" Adam terkekeh sembari mengacak kasar rambut pekat gadis di sisinya.

"Mau beli es krim?" Adam menarik tubuh Davira. Menuntunnya kembali berjalan menyusuri trotoar sepanjang jalan kota Jakarta. Senja memang waktu yang paling tepat melepas lelah setelah seharian berjuang untuk hal yang paling ingin diperjuangkan. Seperti basket dan Davira untuk Adam. Dan untuk Davira, menyisihkan ego untuk menemui kekasihnya di medan perang.

Siapa sangka kalau cinta mampu mengalahkan ego setinggi apapun, ambisi sebesar apapun, dan rasa bodoh sekuat apapun. Siapa sangka pula, kalau cinta untuk seseorang memaksa kita membentuk dunia sendiri di antara dunia-dunia kita yang lain. Dunia yang spesial yang harus diutamakan meskipun ada yang lebih utama.

Setiap orang yang pernah jatuh cinta pasti memahami betul dunia apa yang ku tuliskan itu. Dunia yang berisi segala macam perasaan. Senang, sedih, suka, duka, bahagia, damai, tenang, nyaman, indah dan buruk. Dunia yang berhasil mengalahkan ego, ambisi, dan segala macam bentuk prioritas. Dibutakan sejenak hingga waktu yang tak ditentukan. Hingga Tuhan memberi tahu bahwa ada yang salah dalam dunia yang kita bentuk.

Salah? Bukankah hal yang berhubungan dengan cinta itu tak ada yang salah? Mencintai kata orang tua bukanlah kesalahan dan dosa besar sebab kita tak bisa mengatur pada siapa dan kapan kita akan jatuh cinta. Namun, mengapa Tuhan menegur kita dengan pembelaan bahwa kita sedang salah?

Kau tahu, yang salah adalah cara kita menyukai dan mencintai seseorang yaitu dengan membentuk dunia baru. Sebab manusia tidak bisa membentuk dunia dan menjadi Tuhan.

Davira Faranisa.

°°°°°LudusPragmaVol2°°°°°

Di sinilah keduanya berada. Sebuah kedai es krim yang sebenarnya lebih patut jika disebut sebagai surganya es krim di Kota Jakarta. Tempatnya memang tak mewah. Tak ada hiasan di dinding yang memanjakan mata para pengunjung. Namun, jangan tanya pasal rasa. Di sinilah tempat para pencinta makanan lembut bersensasi dingin nan manis itu berkumpul. Acap kali lidahmu mengecap rasa es krim yang kamu pesan, maka hanya ada satu kata untuk mendeskripsikan semuanya. Puas.

"Aku udah pesen, kita tunggu dulu." Adam berucap sembari menarik kursi yang ada di depannya. Seperti biasa, Adam selalu duduk di depan kekasihnya itu alih-alih memilih tempat yang dekat dengan gadis berparas ayu itu. Bukan sebab Adam tak mau, tapi Davira yang menolak jika pria itu duduk di sampingnya.

Alasan kuat Davira Faranisa adalah jika kekasihnya ada di sisinya, maka ia tak bisa menatap dengan benar wajah tampan Adam. Akan tetapi, jika Adam ada di depannya, maka Davira harus menoleh beberapa kali untuk berbincang ringan dengannya.

Dan, Davira benci itu.

"Ngomong-ngomong, ini tempat kencan kita pertama kali setelah semua keadaan baik-baik saja." Davira menyela di tengah kesibukan Adam yang terus memainkan ponselnya.

Remaja jangkung itu mendongak. Menatap Davira yang melirik layar ponsel Adam. Ekspresi wajah gadis itu ... menyebalkan.

"Sebab kamu yang memaksa," kekeh Adam kecil.

Davira mengangguk. Benar sekali. Dirinya lah yang memaksa Adam untuk memilih kedai sederhana berisi puluhan macam menu es krim yang sekarang menjadi tempat favoritnya kala demam es krim melanda dirinya.

Dulu, Davira tak bisa berada di tempat ramai seperti ini. Dalam alasan kuatnya, lagi-lagi hanya pasal kalimat 'sebab Davira tak menyukainya'. Davira membenci keributan, tempat-tempat umum yang didatangi banyak orang dan riuhnya jalanan Kota Jakarta yang tak pernah sela.

Akan tetapi, percayalah. Davira juga manusia yang pasti ingin dengan apa yang menjadi tren saat ini. Banyak teman-temannya yang menyarankan padanya untuk mencoba menu terbaik di kedai ini. Katanya, bukan hanya harga yang terbilang murah untuk kantong pelajar, namun juga rasa yang tak pernah membuat lidahmu kecewa.

Lalu, Adam lah yang membuat Davira memutuskan untuk mampir dan menikmati semua menu yang ada. Kemudian, alasannya berubah jadi begini, "Sebab ada Adam yang menemaniku, jadi aku bisa tenang berada di tempat ramai."

"Silakan menikmati menunya kak!" Seorang pelayan menyela aktivitas keduanya. Baik Adam maupun Davira hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Membiarkan si pelayan berseragam itu untuk pergi menjauh dari meja mereka.

"Adam," panggil Davira lirih. Pria yang baru saja ingin menyendok es krim di depannya itu menoleh. Memberi tatapan polos pada Davira. Meskipun begitu, paras seorang Adam Liandra Kin tak pernah terlihat buruk. Wajahnya .... sangat-sangat tampan!

"Em, sebentar lagi ujian. Mungkin aku akan sibuk—"

"Aku akan menunggumu," selanya tegas. Davira menaikkan sisi alis cokelatnya. Remaja ini selalu saja sukses membuat hatinya luluh.

"Kalau lama?" tanya Davira singkat.

"Berarti nunggunya juga lama," sahut Adam dengan nada enteng. Satu suapan lolos masuk ke dalam mulutnya. Sejenak melirik Davira yang hanya diam sembari tersenyum menatapnya dengan tingkah bocah yang selalu Adam tunjukkan kala dirinya sedang memakan makanan manis bertekstur lembut itu.

"Kalau kamu bosen nunggu?" Davira bertanya lagi. Kali ini ia ikut menyendok es krim dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia melirik Adam yang terkesan cuek dengan pertanyaannya itu.

"Aku punya pacar lain," tukasnya dengan nada melirih.

Davira mendongak. Menghentikan aktivitasnya kemudian menatap Adam dengan tatapan sinis miliknya. Kalimat yang baru saja diucap remaja jangkung yang masih asik memainkan ujung sendoknya masuk ke dalam gundukan es krim itu memang terdengar begitu memilukan untuk pasangan muda sepertinya. Namun, siapa sangka bahwa itu hanya lelucon ringan yang selalu diucapkan remaja itu kala Davira mulai kembali dalam dunia realitasnya. Bahwa, tak akan ada pasangan yang mau menunggu pasangannya dalam jangka waktu yang bisa dibilang berlebihan.

"Bola basket?"

Adam mengangguk. "Dan timku," katanya lagi.

Davira terkekeh. Sejenak melirik Adam yang hanya tercengir kuda untuk kalimatnya itu.

Bagi Davira, Adam adalah remaja pertama yang berhasil meluluhkan hati batu dan sifat keras kepalanya. Davira adalah gadis yang tertutup dengan dunia luar. Membatasi dirinya untuk tidak masuk ke dalam hal-hal yang tidak berguna seperti sebuah hubungan percintaan. Sebab bagi Davira, akan ada waktunya sendiri untuk memulai sebuah cinta. Namun, nanti. Saat dirinya sudah dewasa dan bisa berpikir dengan baik. Sebab Davira adalah seorang Pragma. Ya, Pragma.

...To be Continued...

avataravatar
Next chapter