webnovel

Berlian yang Terbuang

"Aku tidak akan pergi! Ini rumahku! Kalian keluargaku! Aku tidak akan pernah pergi dari sini!"

"Pergi saja, sebelum aku membunuhmu!"

"Mustahil daddy mau membunuhku! Kau selalu berkata bahwa kau akan selalu menyayangiku!" Jean tak menyerah membela haknya.

Edgar menunjuk Jean, kemarahan tersirat di sorotan matanya. Kecamannya tak main-main. "Diam, kau monster. Kau sadar? Kau membunuh orang-orang tak bersalah! Aku tak pernah mengajari anak-anakku membunuh orang lain! Kau bukan putriku lagi!"

"Karena mereka merundungku selama ini! Mereka semakin agresif setiap harinya. Sumpah, aku tak bermaksud melakukannya, daddy! Aku tidak sengaja!"

Suara letusan tembakan pun meraung-raung di perkarangan rumah keluarga Argent membelah keheningan langit malam, senapan gentel di tangan Candice mengancam Jean agar dia segera pergi dari rumah.

"Kubilang pergi dari rumahku! Aku pasti menembakmu jika tetap di sini. Kau membuatku muak, monster! Pergi!!" hardik Candice menarik pelatuknya lagi.

Beberapa peluru nyaris melukai tubuh Jean, kalau saja tangan Candice tetap tenang dan tidak bergetar. Setiap peluru yang dilesatkan, semuanya meleset jauh.

Air mata Jean berhenti luruh, melihat bekas peluru yang telah dilesatkan. Batinnya telanjur terluka. Air muka di wajah jelitanya menyiratkan ketidakpercayaan luar biasa. Keluarganya pun menolak keberadaannya, ini semua memang kesalahannya. Betapa pun terluka jiwanya, melukai orang lain hingga kehilangan nyawa tetap tidak dibenarkan.

[ "Bagaimana bisa ibu kandungku melakukan hal semacam ini?" ]

"Pergi!!!" murka Candice menodong senapan lebih tinggi. Pertanda dia serius dengan segala ucapannya.

Kali ini Jean menyerah, mengingat pandangan asing dari Edgar, Candice dan Millie yang menusuk hingga ke palung jiwanya. Dia menghempas napas panjang, tak menyangka hidupnya akan berakhir tragis begini.

"Aku minta maaf untuk segalanya." kata Jean pedih.

Jean melihat rumahnya baik-baik untuk kali terakhir, mengingat tiap detil serta kenangan-kenangannya. Sebab dia, pasti akan merindukan tempatnya dilahirkan dan dibesarkan ini. Sayang sekali, perpisahannya dengan cara menyedihkan begini.

Tanpa kata-kata Jean menarik langkah untuk menjauh, mulai sekarang dia harus pikirkan kehidupannya sendirian, teruntuk masa depannya yang suram dan kehidupannya yang telah hancur berkeping-keping. Punggungnya pun berbalik dan kali ini, Jean benar-benar pergi. Kakinya tidak akan pernah kembali lagi.

[ "Aku harus kuat dan tegar. Mulai sekarang, tidak ada harapan yang bisa kugantungkan selain pada diri sendiri." ]

Tangisan Candice terpecah nyaring, tubuhnya merosot di serambi rumah dalam pelukan Millie dan Edgar.

.

.

Tepat menjelang tengah malam, Jean luntang-lantung di South Kensington dengan langkah kaki tertatih-tatih, kedinginan dan kelaparan, lipatan lambungnya terasa perih sampai ke belakang punggung. Menyusuri gedung-gedung otentik bergaya gotik ciri khas kota London, jalanan selalu berdenyut setiap saat oleh kepadatan kendaraan.

Banjaran apartemen, kafe, restoran dan kedai, semua orang mulai turun untuk menutup jendela dan pintu. Dia belum sempat berganti pakaian, tubuhnya kotor semua. Kecuali celana jins satu-satunya pakaian bersih paska serangan Brody tadi.

Jean mengenakan sweater dengan capuchon yang sekiranya cukup sembunyikan wajahnya, ia sangat takut orang-orang mengenali mukanya. Mengingat kacaunya berita yang tersebar di internet. Dia harus segera cari tempat perlindungan yang aman juga beberapa makanan.

"Aku lapar." gumamnya nelangsa mengusap perut. Rasa laparnya kian tak tertahankan saat Jean berjalan beberapa blok.

Sesekali Jean terhenti di depan market 24 jam, melihat beberapa etalase penuh makanan serta pakaian yang digantung membuatnya menggila.

[ "Betapa pun laparnya, aku tidak boleh mencuri. Cukup kesalahanku mencelakai orang lain. Sungguh, aku sangat menyesalinya. Kalau aku bisa memutar waktu. Aku mau perbaiki segalanya." ]

Iseng-iseng Jean merogoh saku jinsnya, berharap temukan benda berharga dan benar saja sesuatu muncul di sana. Jean sempat meraba-raba beberapa saat, agaknya terdapat lembaran-lembaran kertas yang terasa hangat itu. Dia sontak memekik kegirangan ketika menemukan puluhan ribu pounds lecek dari dalam sakunya.

Matanya berbinar penuh haru, "Ya ampun, aku tak ingat punya tabungan sebanyak ini. Untunglah sempat kubawa sebelum berangkat sekolah tadi pagi. Syukurlah, akhirnya aku bisa makan."

Jean berlari ke market tadi, langsung masuk menuju etalase makanan siap saji. Cuma market itu yang tetap buka saat ini juga jarak terdekat yang bisa ia kejar. Jean memilih beberapa makanan yang sekiranya bisa dia konsumsi sampai besok pagi, termasuk minuman kaleng, air mineral serta roti-roti kemasan.

Tiga helai pakaian ganti, sweater dan topi bisbol baru.

[ "Kurasa ini cukup." ]

Televisi di atas kasir menyala, koresponden salah satu stasiun ternama sedang membahas insiden gedung sekolah Essex di London Barat tadi siang. Lagi-lagi rekaman kemarahan Jean yang disiarkan. Dan dari sana Jean tahu kalau Brody, Lula juga Jonah tewas dalam timbunan reruntuhan.

[ "Ya tuhan." ]

Kakinya mati rasa, Jean yang pening butuh duduk sebentar. Mencerna segalanya. Tubuhnya merosot di lorong etalase, Jean menangkup wajahnya.

[ "Aku pembunuh. Aku membunuh mereka..." ]

"Apa kau baik-baik saja, miss?" tanya pria paruh baya pemilik market itu.

Jean terperanjat kaget, menunduk sembari pastikan seluruh belanjaannya. "Ah ya! Saya baik-baik saja, hanya pusing sedikit."

"Yakin? Perlu ke rumah sakit?"

"Tidak perlu, sir."

Ke kasir untuk membayar, Jean terus menundukkan kepala. Tersenyum seperlunya, "Di mana toiletnya, sir?"

"Diujung sana." jawab pria paruh baya itu memberi lembaran kembalian tanpa menaruh curiga, lantas menunjuk pintu akses ke belakang.

"Terima kasih."

Membuang semua pakaian kotor, menggantinya dengan yang baru dia beli. Jean sempat membersihkan dan mencuci rambutnya yang super lengket dan berbau busuk memuakkan di wastafel. Air dingin bercampur harumnya sabun pencuci rambut membuat kewarasannya terjaga penuh, pikirkan langkah hidup selanjutnya.

Dia langsung pergi ketika semuanya selesai.

[ Lapar terpecahkan, sekarang pertanyaannya aku tidur di mana?" ]

Di persimpangan blok, pandangan Jean menerawang ke atas, pikirannya sedang kacau balau. Pendengarannya mencuri sedikit pembicaraan pejalan kaki yang melintas di belakangnya.

[ "Bukankah gadis ini edan? Zaman modern sekarang, masih ada yang punya kekuatan seperti itu. Seperti di film saja, ya?" ]

[ "Itu hanya kebetulan, mana ada kekuatan atau hal semacam itu, aku tak percaya. Memang musibah saja, mengapa gadis ini yang disalahkan sih? Kau lihat? Dia sangat cantik kan, kasihan sekali. Pasti tidak adil baginya." ]

Jean menghela napas letih, membenci dirinya sendiri. Membenci hidupnya. Entah ini akan berlangsung sampai kapan.

[ "Maafkan aku." ]

Mengingat segala hal yang terjadi, rasa bersalah ini tidak terperi. Jean sedih lagi. Dia memang pantas mendapatkan ini. Luntang-lantung di kota metropolis yang jam evolusinya bergerak maju dan cepat. Sendirian tanpa keluarga, jauh dari rumah tersayang rasanya sangat menyedihkan.

[ "Aku memang pantas dibuang." ]

Di sebuah gang, Jean melihat tangga besi jalan akses menuju ke atap tepat di belakang sebuah gedung apartemen. Langkah kakinya terhenti, Jean memandang ke atas atap sejenak. Mungkin dia bisa bernaung di sana untuk satu malam saja. Di bawah langit malam bertabur bintang mungkin bukan hal buruk. Tidak ada opsi lain, dan cuma ini jalan keluarnya.

[ "Ya sudahlah, tak apa." ]

Jean menaiki tangga besi itu menuju atap, melangkah dengan hati-hati. Tangganya curam, tingginya beratus-ratus kaki. Sesekali dia terhenti untuk menarik napas lalu melanjutkannya lagi. Saat di atap ternyata hembusan udaranya lebih dingin dibandingkan di bawah tadi. Membuka penutup hoodienya, membiarkan rambut basahnya disapu angin dingin.

Meletakkan paperbag di bawah kakinya, Jean menghela napas dalam-dalam. Atap itu kosong, tidak ada apa pun selain pintu besi yang terkunci rapat dan mesin-mesin indoor penghangat ruangan berbanjar di satu sudut.

[ "Mati, ya?" ]

Jean menghampiri tepi atap tersebut, batinnya bergejolak tak karuan. Matanya disajikan keindahan hamparan pusat kota London yang penuh gemerlap oleh cahaya-cahaya dari beragam bangunan futuristik kemegahan dunia korporasi.

Ujung Big Ben seakan menjamah langit, sungai Thames yang memantulkan kehidupan di atasnya, Tower Bridge tengah melipat kedua jembatannya untuk menyambut kedatangan kapal pesiar mewah yang hendak melintas di bawahnya.

Semua orang punya hidup enak dan makmur kecuali dirinya.

[ "Aku ini memang menyedihkan. Sepertinya mati lebih enak. Untuk apa juga aku hidup, Millie benar, aku pembawa sial. Aku pembawa musibah. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dunia menolakku, teman-temanku mengutukku dan keluargaku malah membuangku. Aku membunuh teman-temanku..." ]

Matanya memandang ke bawah. Surainya melambai-lambai disapu angin kencang. Atap ternyata sangat tinggi dari jalanan aspal, kalau Jean langsung melompat jelas dia tidak akan selamat.

[ "Mengakhiri hidupku, yeah. Ide yang bagus." ]

Jean benar-benar naik ke tepi atap, ketinggiannya luar biasa. Membuat kedua lututnya bergemetaran hebat. Jantungnya berdegub kencang begitu pun angin malam yang berembus ke utara.

"Woah, tinggi sekali…"

Tapi Jean telah bertekad kuat, ia bisa seimbangkan kedua kakinya di sana lebih tenang dan menekan ketakutannya. Bagai berdiri di ujung jurang yang curam. Melihat aspal di bawah sana yang padat kendaraan dan manusia berlalu lalang terjebak dengan urusannya.

Jean letih, sangat lelah dengan kehidupannya, menjadi berbeda di tengah manusia normal ternyata sulit. Mungkin alam baka cocok untuk pembunuh seperti dirinya.

"Aku tidak punya pilihan lain. Aku tak ingin melukai orang tak bersalah lagi. Mereka benar tentangku. Aku seorang monster mengerikan. Aku harus mati."

Tebersit ketakutan teramat sangat dalam dadanya, Jean ingin sekali melompat namun tetap saja dia pengecut. Di benaknya terbayang kenangan-kenangan indah bersama keluarganya kala segalanya masih tampak normal.

Belum juga Jean melompat, telinganya malah menangkap suara-suara perkelahian yang gesit dan tulang-tulang saling beradu. Tadinya Jean tak mempedulikannya tetapi suara seorang pemuda terdengar merintih serta kesulitan.

Pedang saling berdentang, bogem mentah, adu jotos serta tendangan demi tendangan terdengar jelas. Karena penasaran Jean mengintip dari atap.

"Ya ampun, apa itu?!!"

Pemuda itu berambut pirang, sepasang pedang dalam genggaman tangannya keluarkan cahaya silver menyilaukan. Pedangnya berdentam kembali, beradu dengan musuhnya. Pergerakannya semakin lama kian terlihat melambat, tampak darah segar keluar dari balik jaketnya.

Dia melawan pasukan-pasukan bayangan berasap hitam, wajah-wajah mereka tampak menyeramkan. Tengkorak-tengkorak melayang dengan sepasang mata berwarna merah menyala.

Si pemuda tersungkur, meski kalah jumlah dia tetap melawan sampai titik darah penghabisan.

"Maju kau! Legion, sialan!"

"Apa aku akan diam saja? Atau aku harus menolongnya? Pikir, Jean. Pikir! Bukan urusanku, tapi pemuda itu terluka! Dia butuh bantuan."

Bayangan-bayangan berasap itu mengeluarkan suara-suara menyeramkan, menggema hingga ke angkasa. Sesuatu yang besar terjadi, awan-awan di atas langit menyemburkan nyala api, membentuk sebuah lubang besar di mana suara-suara mengerikan lainnya datang.

Jean merasakan kulitnya terbakar, menyaksikan ratusan asap-asap lainnya menukik tajam turun dari lubang nyala api, bagai pintu neraka yang terbuka. Sepertinya bala bantuan dari pasukan Dark Legion datang berikut desisan-desisan remangkan bulu roma menggema di penjuru kota London.

"Bisakah aku membantu orang lain dengan kekuatanku?! Bagaimana caranya?"

Pemuda itu terjerembab ke belakang, menahan serangan Dark Legion dengan kedua pedang silvernya yang kokoh.

"Aku tidak akan kalah!" ucap si pemuda pantang menyerah.

Sesuatu bercahaya kuat menguar dari pedangnya sebabkan ledakan dahsyat bercahaya silver menyilaukan yang menembak langsung ke lubang nyala api di angkasa, kekuatan cahaya silver si pemuda berusaha menutup pintu neraka itu.

Sebagian pasukan Dark Legion musnah oleh cahaya itu, pintu nerakanya pun berhasil ditutup kembali, namun kekuatan pedangnya tidak bertahan lama sementara ratusan Dark Legion lainnya terus berdatangan. Pemuda itu tak akan bertahan dalam menit-menit ke depan.

"Okay! Okay! Cukup sudah! Dia tidak akan bertahan lama! Setidaknya aku harus berbuat sedikit kebaikan sebelum aku mati!"

Jean turun dari tepi atap, kedua tangannya bekerja kemudian keluarkan cahaya terang berwarna crimson.

.

.

Mohon dukungannya, gais. Story ini saya sertakan untuk kompetisi WSA 2022. I'm nothing without your support. Thanks a lot.

NavaKaicreators' thoughts
Next chapter