3 Arini

"Kak Anya, folder laporan keuangan yang dulu punya kak Amor disimpan di mana?" Suara manis Arini, karyawati baru pengganti posisi Amor membelah lamunan Anya. Ini ketiga kalinya perempuan gemas dengan pesona dewi itu bertanya pada Anya.

Anya memutar bola mata besarnya. Kesal. Sudah tiga kali ia menerangkan dengan sejelas-jelasnya setiap folder di laptop yang Amor pakai dulu. Kemarin dan kemarinnya lagi sudah Anya ulangi jelaskan. Cantik parah tapi pikunnya juga parah.

"Coba cari di pantry. Di lemari kabinet deket kulkas. Deret kedua dari atas, di belakang wadah gula, di tengah-tengah wadah kopi dan wadah boncabe."

Arini terperangah. "Beneran ada di pantry kak? Serius?" Arini mengangkat pantatnya dari kursinya. Raut mukanya benar-benar serius. Anya menepuk jidat.

"Ya Salaaam..." Anya mengusap dadanya perlahan sambil menghela nafas. Mengumpulkan rasa sabarnya yang mulai terberai.

"Cari di data D. Nama foldernya Amoria Caem. Semuanya yang lo butuhkan ada di situ." Anya akhirnya memberinya petunjuk yang benar dengan tempo suara perlahan. Bukannya petunjuk sesat yang barusan. Berharap Arini kali ini akan mengingatnya baik-baik dan tidak akan mengulangi pertanyaan yang sama di lain hari atau Anya akan meledak bagai bom waktu. Karena Anya sebenarnya bukanlah tipe wanita penyabar.

"Ok, kak. Kirain beneran di pantry. Makasih kak." Arini terkekeh dengan gaya anggun. Menutup separuh wajahnya dengan kesepuluh jemari tangannya yang lentik. Anya sempat iri dengan keindahan jemari-jemari kuncup bunga cempaka itu.

Ya Allah, apa gue ngajuin pindah divisi aja ya...dari pada stress ngadepin partner kerja yang setengah otaknya masih inden di Korea Utara.

"Kak."

Apa lagi?

Anya memaksa lehernya untuk menoleh. Hanya sekedar menoleh sedikit saja, Anya merasa begitu tidak ikhlas. Akhirnya rasanya jadi sebelas dua belas dengan sakit leher.

"Kak Anya punya pacar?" tanya Arini tiba-tiba, hampir saja membuat Anya makin naik tensi. Pertanyaan sensitif seperti ini nih yang bisa membuat Anya frustasi. Kemarin ayahnya sekarang mahkluk bernama Arini Puspasari.

"Nggak punya," Anya menyahut malas sambil mengembalikan posisi wajahnya kembali lurus ke depan laptopnya.

Tapi yang naksir gue banyak!

"Waah...sama dong kaya abang aku. Dia arsitek." Arini lalu memamerkan sebuah foto pria ganteng di ponselnya. Membuat Anya mau tidak mau menjadi penasaran dan kembali menoleh dengan cepat.

"Jomblo udah dua tahun lho, kak." Arini menggeser slide foto berikutnya, membuat mata bulat Anya terbelalak lebar menatap foto pria dengan anugerah ganteng mutlak. Arsitek pula. Bisa menjadi sebuah pencerahan bagi Anya di tengah masalah peliknya.

"Lo mau kenalin abang lo ke gue?" Anya cepat-cepat berasumsi dengan nada penuh harap.

Arini tersenyum lebar seolah meng-iyakan.

"Kak Anya mau aku kenalin ke abang?"

Anya mengangguk keras penuh harap. Mungkin ini salah satu petunjuk dari Allah bahwa Anya telah menemukan jodoh yang selama ini ia idam-idamkan. Kalau bisa laki-laki itu saja yang akan ia gandeng pulang kampung, biar ayahnya tidak perlu repot-repot menawarkan jodoh buat Anya. Arsitek, mapan, ganteng....Ooh angan-angan Anya terbang begitu tinggi.

"Tapi kenalan aja ya kak. Abang kayaknya lebih suka sama cewek yang pakai hijab lebar. Yaaa…yang soleha gitu. Nggak kayak kita kak, yang masih suka pake rok mini. Hihihi..." Arini terkekeh geli di ujung kalimat. Harapan Anya yang baru saja melambung tinggi langsung menukik tajam, pecah berceceran habis itu dilindas truk sapi.

Jahanaaam! Maksud lo gue nggak soleha gitu? Emang! Terus ngapain juga lo promosiin ke gueeee?!!

"Maaf bercanda kak, jangan marah ya." Arini buru-buru minta maaf sambil merimgis melihat muka Anya merah padam seperti warna pantat baboon.

"Nggak kok," Anya menjawab dengan wajah poker face. Berusaha keras mengekang emosinya agar tidak meledak.

Tapi gue pengen banget telen lo bulat-bulat.!

"Eh, kak, coba deh liat. Tabelnya boleh aku warnai warna pink? Biar nggak monokrom. Ngebosenin." Arini dengan mudahnya sudah berganti topik. Semudah ia memberi harapan palsu pada Anya semenit yang lalu, lalu menghempaskannya.

"Jangankan tabel pink, lo kasih emoticon gaje juga boleh!" Anya bangkit dari kursinya. Ingin ke toilet, ingin mencuci muka agar turun emosinya.

"Mau kemana kak?"

"Toilet."

"Ngapain ke toilet kak?"

"Gali sumur!"

"Buat apa gali sumur kak? Ini kan lantai dua puluh?"

Fix! Gue ketularan bego sekarang.

***

Jika dibandingkan dengan cobaan ayah minta mantu, cobaan dalam bentuk Arini juga salah satu yang terberat. Menguji kesabarannya yang tidak seberapa.

Penampilan Arini boleh saja cantik jelita, namun ukuran otak dipertanyakan. Sebesar kepalan tangan orang dewasa atau sebesar biji melinjo yang minta digeprek.

Pekerjaan Arini juga tidak pernah beres. Selalu saja membuat Anya bergerak untuk membantunya di sela-sela kesibukannya. Namun wajah cantik tidak berdosa itu membuatnya selalu dimaafkan dengan mudah jika membuat kesalahan. Itu menurut pengamatan Anya yang mulai gemar memperhatikan Arini yang memiliki banyak penggemar di kantor sejak awal kedatangannya.

"Kaaak...pusing aku." Arini mengeluh manja sambil menyandarkan pipinya di tepian kubikel Anya. Dengan puppy eyes yang seolah-olah minta dielus kepalanya.

Jika ia memasang wajah memelas yang seimut itu di depan para pria, mana bisa mereka tahan iman? Mereka bakal berlomba-lomba menawarkan tenaganya bahkan mungkin jiwanya.

Pusing kenapa dek? Sini abang bantuin. Kamu duduk manis aja, abang yang kerjain.

Haus dek? Ini abang udah beliin es kopi starbuck.

Mau es cendol asli Bandung dek? Abang berangkat sekarang nih ke Bandung.

Tapi berhubung yang ada di depannya adalah Anya. Cewek jelang tiga puluh tahun yang sedang PMS, gajian menipis dan sedang dikejar ayah yang minta mantu, maka beda responnya.

"Pusing kenapa?" jawab Anya sambil fokus mengerjakan beberapa purchase order yang masuk hari ini. Namun ia menarik nafasnya dalam-dalam.

Sabar Anyak...sabar... orang sabar pantatnya lebar...

"Angka-angkanya bikin pusing."

Anya melirik si manja yang kini pasang wajah manyunnya yang tampak dibuat imut.

Sabar Anyak...sabar...

"Ya udah matiin laptop terus lo balik," Anya menyahut acuh tak acuh.

"Aduuuh kaaaak, kenapa aku malah disuruh pulang? Aku butuh solusi nih kak, solusi." Arini mengerang kesal dengan manja.

"Bukannya tadi lo bilang pusing?"

"Iya pusing. Tapi bukan pusing yang kayak gitu."

"Ya terus lo mau gue ngapain? Mau gue panggilin ambulans? Dukun beranak apa mantri sunat?"

"Iiiih…kak Anya, malah ngelawak. Lucu deh." Arini tertawa dengan polosnya tanpa menyadari bahwa Anya yang ada di depannya ingin sekali mengunyahnya hidup-hidup.

"Pusingku langsung sembuh," tambahnya sambil kembali duduk tegak sambil mengikat rambut panjangnya jadi ekor kuda. Visualnya yang tampak menggemaskan itu membuat Anya meliriknya sesaat lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Pujian Arini tidak membuatnya tersanjung. Justru sebaliknya.

"Kalo yang jadi pacar kakak, pasti beruntung banget ya?" ujar Arini tiba-tiba. Memaksa Anya meletakan penanya.

"Kenapa emangnya?"

"Kak Anya bukan cuma cantik, tapi pinter ngelawak juga. Pasti pacar kak Anya bakal hepi terus."

"Masa?" Anya penasaran mengapa Arini berasumsi seperti itu. Masalahnya Anya merasa asumsi Arini tentang dirinya itu tidak benar. Jatuhnya jadi fitnah. Apa gadis ini sedang berusaha menjilat Anya? Mengingat Anya juga dikenal sebagai senior judes di kantor.

Ponselnya lalu berdering. Anya hanya melirik. Dari ayahnya. Bukannya menjawab, Anya malah sengaja reject. Malas jawab, paling-paling ayahnya mau menerornya dengan pertanyaan yang sama.

Ponselnya berdering lagi, sekarang yang muncul di layar ponselnya wajah genit Artha dengan rambut kribo mengembang yang mengajaknya video call. Anya menjawabnya dengan malas.

"Apa!"

"Judes amat lo." Artha malah mencibir namun tersenyum lebar, karena sejudes apa pun Anya tidak pernah berefek apa pun pada Artha. Malah aneh kalau Anya tiba-tiba lemah lembut.

"Gue lagi sibuk."

"Ciyeeeh...sibuk aja masih mau video call ama gue...pasti gue istimewa ya bagi lo."

"Eh kutu firaun. Jangan ngarep ya. Gue cuma iba aja ama lo makanya gue angkat. To the point aja, mau apa lo?"

Artha tertawa keras. Sebutan Anya untuk dirinya sudah banyak. Kutu beras, mutant brokoli, upil kingkong, playboy sinting, lele darat dan yang terbaru kutu firaun.

"Jelek amat ya gue, disamain sama kutu firaun..."

"Gue beneran sibuk, Tha." Anya memamerkan setumpuk pekerjaannya.

"Gue lagi bete. Nungguin klien yang mau meet...tungguuu! Itu di sebelah lo siapa?!" seru Artha tiba-tiba saat menangkap penampakan visual Arini di belakang Anya yang sedang duduk sambil menggoyang-goyangkan kerah kemejanya karena kegerahan sambil sebelah tangannya mengusap keningnya dengan slow motion.

"Anak baru yang gantiin Amoy."

"Cantik gilaaaa!" Artha tampak terpesona dalam layar ponsel Anya. Tampangnya berubah seperti tampang habis mabok lem. "Kenalin ke gue pliss! Kenalin!"

Dasar lele darat ganjen! Cakep dikit sosooorrr!

"Please Anyak. Kenalin dia ke gue. Siapa namanya?"

"Bejo!" jawab Anya sekenanya.

"Hah?! Serius lo?"

"Udah ya gue mau balik kerja. Bye." Anya mengakhiri paksa video call Artha. Mood-nya semakin rusak, gara-gara Artha kumat ganjennya begitu melihat Arini.

Anya cemburu? Nooo, dia cuma kesal. Laki-laki itu selalu dengan mudah hinggap di sana sini. Seperti lalat yang hinggap di satu makanan ke satu makanan yang lain.

"Siapa kak tadi? Kok heboh banget," terdengar suara Arini tiba-tiba.

"Tukang kredit," jawab Anya tenang sambil memasukan ponselnya yang masih meraung-raung ke dalam laci. "Rese banget nawarin panci mulu."

Setengah jam kemudian, Anya mengecek ponselnya. Ada tiga kali panggilan dan beberapa pesan dari Artha.

KutuFiraun: Cewek kece di sebelah lo siapa namanya Nyak?

KutuFiraun: Please...gue minta no hpnya dooong.

KutuFiraun: Neng Anya geulis pisan deh....aa minta dengan sangat doooong.

KutuFiraun: Please jangan bikin gue hilang kesabaran ya! Kalo lo nggak mau juga bagi nomor hpnya, gue santet lo sekarang nih!

Anya mendengus kesal membaca semua pesan itu. Bahkan sekarang Artha pun kena jerat pesona semu Arini.

avataravatar
Next chapter