webnovel

Prolog

Dalam sebuah ketenangan yang tak dapat ia gambarkan, seorang wanita berkepala empat tersenyum padanya. Tatapannya yang teduh dan senyumannya yang hangat, terasa begitu kuat menyentuhnya. Lalu dia pun berkata, "Terimakasih."

Glek.

Seolah sebuah tuas telah ditarik, mendadak adegan yang nyaman dan menenangkan itu berubah menjadi gelap gulita dalam sekejap, hingga hanya meninggalkan seberkas perasaan aneh yang menyeruak di dalam hatinya.

Apakah tadi ia sedang bermimpi?

Matanya yang tak dapat melihat apapun dalam kegelapan itu, hanya menyerahkan kepercayaannya pada tangannya yang menyisir meja samping ranjangnya dan ...,

Klik!

Lampu mejanya menyala dan membiarkan dirinya merasa tenang dalam sinar redupnya,

'Tenanglah diriku.' ucapnya pada dirinya yang masih bernapas dengan tersengal-sengal. Lalu menepuk-nepuk bahunya sendiri dengan tangan di silangkan. 'Tarik napas dengan hidung, lalu keluarkan lewat mulut.'

Di sanalah ia mendadak merasakan getaran aneh yang merambat dari tangannya yang bersentuhan dengan dadanya.

dug dug.. dug dug.. dug dug..

Jantungnya! Ia merasakan detak jantungnya yang tidak beraturan! Ini bukan ..., Ini belum berakhir ....

Tepat di saat ia menyadarinya, ia melihat sesosok wanita berlari menghampirinya, lalu menaruh tangannya pada lehernya.

Huk! Tenggorokannya tercekik dan ia merasa kesulitan untuk bernapas.

"Kau!" geramnya.

Wanita itu tetap terdiam seperti biasanya, dan menyembunyikan wajahnyanya di balik penutup kepalanya.

"Kau tidak lelah terus menerus menghampiriku? Kau pikir aku temanmu ...? argh!"

Mungkin sebaiknya ia tak banyak berbicara. Sehingga karena tindakannya, kini dia mengencangkan cengkramannya dan membuatnya semakin kesulitan bernapas, tapi ia masih tetap dapat hidup.

"Bunuh, bunuh saja jika kau membenciku. Tapi kenapa kau terus menyiksaku seperti ini." tantangnya dengan suara parau.

Tapi wanita itu tetap tidak menjawab dirinya. dia hanya terus mempererat cekikan di lehernya dan terus melanjutkan siksasaannya terhadap dirinya.

Karenanya, ia mencoba mengerahkan seluruh tenaga untuk meronta. Entah dirinya mencakar tangan wanita itu, atau mencoba menendangnya dengan kakinya —yang tentu tidak pernah mengenai wanita itu—. Akibatnya kini ia benar-benar kehabisan napas. Tangannya yang kuat mencengkram tangan wanita itu, perlahan mulai melemah. Kakinya yang tadinya menjejak ke sana ke mari, sekarang hanya bergerak lemah tanpa daya. Hingga yang tersisa hanyalah kesadarannya yang semakin menipis seiring berjalannya waktu.

Dalam napas yang berharga itu, ia berbisik pada wanita itu. Bisikan yang selalu ia ucapkan setiap malam, ketika napasnya mulai menguap dalam ketiadaan. "Si-apa ... kau?"

Meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk melontarkan pertanyaan tersebut, wanita itu tampak tak berniat menjawabnya dan mencekiknya dengan kejam hingga ...,

"Aaahhh ..., haahh ..., haahh ...," Dalam kesadaran satu, ia tersadar dalam kehidupan lainnya.

Tangannya yang masih bergetar mencoba menyingkirkan penutup mata yang masih terpasang rapi ke kepalanya dan meraba meja sisi terdekatnya untuk menemukan tombol nyala lampu mejanya.

Klik! Seperti harapannya, sekarang ia bisa melihat setidaknya secercah cahaya lemah yang menerangi ruang kamarnya.

Namun ini belum cukup. Bagaimana jika wanita itu akan datang menghampirinya lagi? Bagaimana jika ia masih ada di dunia mimpinya yang lain?!

Tanpa persiapan yang matang, ia beranjak dari tempat tidurnya dan berusaha berlari dengan kakinya masih lemas. Hingga seperti menjalani kejadian yang sama berulang-ulang, kini ia jatuh tersungkur di lantai seperti malam-malam sebelumnya.

Air mata ketakutan menyelubungi matanya dan dengan tertatih-tatih ia mencoba mencapai saklar lampu yang ada di ujung ruangan, meskipun ia harus merangkak atau menyeret badannya sekalipun.

Kemudian dengan mengerahkan segala usaha, ia akhirnya berhasil mendekati saklar lampu kamarnya dan dengan tubuh yang masih terduduk di lantai, ia merambat pada dinding kamarnya yang sebeku es dan menekan tombol lampu.

Klik! Lampu kamarnya pun menyala terang, sampai tak ada satu area pun yang masih tertutupi gelap. Lalu sambil menggigil, matanya menyisir setiap sudut kamarnya dan ia pun meringkuk ketakutan di depan pintu kamarnya.

Wanita itu, wanita itu tidak ada di sini, kan?

Suara isak tangisannya yang menggema pun menjadi terdengar sangat menakutkan, sampai kini ia menutup telinganya rapat-rapat.

"Tidak. Tidak." teriaknya seorang diri.

'Jika kau terbangun di tengah malam, jangan biarkan dirimu terkejut.' Tidak sia-sia dirinya menggemakan anjuran dokter pria itu sepanjang hari. Karna di saat-saat genting seperti ini, ia berhasil mengingatnya.

'Jika kau terlanjur terkejut. Tarik napas dalam-dalam.'

Dengan napas yang tersengal-sengal, ia mencoba menghirup udara baik-baik. Hingga seluruh dadanya dipenuhi oleh oksigen dan penuh sesak oleh udara.

'Lalu keluarkan.'

Cepat-cepat ia menghela napasnya keluar.

'Tunggu. Jangan cepat-cepat. Tapi pelan-pelan saja.'

Segera ia menahan napasnya dan mengeluarkan sisa karbon dioksida yang tersisa di dadanya, dengan perlahan.

'Jika napasmu sudah normal, sekarang luruskan kakimu.'

Matanya menatap ke arah kakinya yang menekuk —tanpa sadar— dan tubuhnya yang membungkuk. Lalu perlahan ia meluruskan kakinya.

'Jangan lupa punggungmu juga.'

Ia menegakkan punggungnya.

'Jika terlalu sulit. Kau bisa menyandarkan bahumu pada tembok.'

Seperti ucapan dokter itu, ia kemudian melakukan hal yang sama.

"Lalu buatlah dirimu senyaman mungkin'

Perlahan ia mulai melepaskan otot-ototnya yang menegang dan membiarkan tubuhnya menerima rasa nyaman yang menenangkanmya.

'Jangan lupa, tarik napas dalam-dalam dan keluarkan'.

Tarik napas, keluarkan.

'Goyangkan kakimu dan tanganmu sedikit.'

Meskipun ia sudah tenang, tapi tangannya masih terasa kaku dan lemas. Rasanya ia tak ingin melakukannya. Namun karna dokter itu berkata begitu, baiklah, ia akan menurutinya.

'Dan kau bisa mulai berdiri sekarang'

Dengan kaki yang masih membutuhkan persiapan, ia berusaha mempersingkat waktu yang diperlukan kakinya, untuk dirinya segera bangkit dari lantai. Alhasil dirinya kembali tergelincir dan jatuh terduduk di lantai. Dengan enggan akhirnya ia membiarkan tubuhnya menyesuaikan diri, lalu pelan-pelan ia mulai berdiri dengan kedua kakinya yang sudah menjadi normal lagi.

'berjalanlah menuju kaca jendela'

Ia pun menyisir lokasi sekitar dengan matanya, dan dengan langkah yang mantap ia berjalan menuju ke arah sebuah area besar kamarnya yang ditutupi oleh gorden yang lebar.

Srrrreekkk.

Dalam sekali hentakan, ia membuka tirai jendela kamarnya yang besar, dan di hadapan kaca yang ukurannya berkali-kali lipat dari dirinya, ia melihat kesibukan jalan raya yang bahkan masih bertahan hingga tengah malam. Rentetan manusia yang mencoba menjalani kehidupan meskipun membosankan. Salah satu dari manusia itu adalah dirinya.

Ia kemudian melihat sosok dirinya yang terpantul dalam kaca jendela tersebut. Rambutnya yang berantakan, air keringat yang mengalir dimana-mana, dan wajah yang lesu tanpa semangat hidup. Bagaimana bisa seorang manusia hidup sekacau itu?

Dengan ujung jarinya ia pun berusaha menyisir rambut panjangnya yang berantakan, lalu mengucirnya dengan model buntut kuda. Kemudian kedua belah tangannya menyusuri leher jenjangnya yang berair demi menghilangkan tetesan keringat yang terlihat. Tak lupa, ia melepaskan satu kancing pakaian teratasnya agar ia bisa lebih bebas bernapas.

Selesai.

Kini sosok yang baru muncul di depannya. Seorang wanita yang penuh kesempurnaan dan hidup layaknya kisah di negeri dongeng. Wanita itu cantik, kaya dan mempesona, namun ia memiliki satu kekurangan yang tidak diketahui orang ...

'Angkat tanganmu dan pegang dadamu' tersisa kalimat terakhir yang menjadi pembuka hari barunya. 'tak perlu kujelaskan. Tapi selamat pagi'.

Ia pun mengangkat sebelah tangannya dan memegang dadanya, "Ah, detak jantungku menghilang. Rupanya aku benar-benar berada di dunia nyata."

..., dia sudah mati.

*****

Next chapter