webnovel

Persembunyian Bintang

Hari masih pagi dan syuting baru mau dimulai, tapi baik Ben maupun staff yang mengikutinya, mereka sudah berwajah murung lantaran udara panas lokasi syuting yang menguapkan semua tenaga mereka.

Sebenarnya kondisi ini sudah tertulis di naskah, bahwa sebagian besar lokasi yang akan digunakan film ini adalah lokasi luar ruangan. Ben sendiri setelah mengetahui fakta itu, tetap menyanggupi dan menerima naskah tersebut, yang berarti ia harus bertanggung jawab atas apa resiko yang akan ia terima, tak peduli apapun alasannya menerima naskah tersebut. Namun yang selalu menjadi masalahnya adalah kenyataan selalu tak sama dengan bayangannya. Jadi walaupun ia berusaha membesarkan diri dan mempersiapkan mentalnya, ia tetap tak bisa menyangkal rasa kesal yang berputar-putar di dadanya karena cuaca panas yang mengganggunya.

Hanya manajernyanya seorang-lah yang tampak tak terganggu dengan keadaan ini dan hanya menatap buku jurnalnya dengan khidmat sambil memegang payung di tangan lainnya.

"Orin, bisakah kau geser sedikit payungnya? Wajahku masih terkena sinar matahari."

Bukannya menggeser payungnya, Orin justru menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Ben. Hingga karena efek dua pria besar berdempetan, udara menjadi lebih panas.

Baru saja ia hendak mengeluh, Orin sudah dapat membaca pikirannya dan memberikan sinyal pada asistennya untuk mengarahkan dua kipas portable ke arahnya, guna menyurutkan emosinya. Berkat ketanggapan itu, Orin dapat menunda ledakan emosinya dan ia dapat kembali sedikit lebih bersantai untuk menghadapi sesuatu yang tak terduga nanti.

"Kau tidak memiliki jadwal apapun hari ini selain syuting film. Tapi sebelumnya, kita harus menyapa penulis dan sutradaranya."

Di sanalah Orin mulai mengedarkan pandangannya dan berjalan menuju sebuah tenda besar yang sudah disediakan

Dengan tangkas asisten managernya menyediakan kursi khusus untuknya dan mempersilakannya duduk beristirahat di sana.

"Tunggulah di sini." pesannya pada Ben dan staff penata rias yang mengikutinya. "Aku akan mencari penulis naskah dan sutradara terlebih dulu."

Tentu, perhatian Orin di sambut senyum sumringah oleh semua staffnya. Terlebih staff wanita yang membawa peralatan cukup besar, sambil mengikutinya kesana kemari.

Tak sedikit yang menghela lega, tapi sebagian besar dari mereka, kembali mengerjakan tugasnya dengan membereskan riasan Ben yang mulai kacau karena keringat.

"Ayo." ucap Orin mengajak asistennya pergi bersamanya. Lalu tak lama kemudian, keduanya hilang dari pandangan.

"Beristirahatlah." Ben mencoba menunjukkan sisi kemanusiaannya, pada para staff yang mengikutinya. "Kita masih akan syuting sampai malam. Jadi simpan tenaga kalian untuk nanti."

Tapi bukannya mendengarkan anjurannya, mereka justru mengabaikannya ucapannya dan hanya tersenyum simpul sambil berkata, "Hanya sebentar lagi."

Karena Ben sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berdebat, ia pun terdiam dan membiarkan wajahnya dipoles semau mereka, selagi ia terkantuk-kantuk lantaran angin sepoi- sepoi yang menghantam ringan tubuhnya.

Ah, andai suasana ini dapat bertahan lebih lama.

Perlahan rasa nyaman itu membuatnya tanpa sengaja mendoakan sesuatu yang buruk. Mendadak karena ingin mengecap ketenangan itu lebih lama, ia mulai berharap sesuatu yang terlarang.

Semoga Orin tak segera menemukan sutradaranya. Atau semoga si penulis naskah tidak kunjung tiba di tempat syuting.

Hingga sayup-sayup terdengar suara yang sangat dikenalnya. "Apakah ada yang melihat Ben?"

Menurut rumor, saat seseorang menutup mata, maka indera yang lain akan lebih tajam. Saat ini-lah Ben mulai mempercayai kalau kabar itu benar.

"Apa Ben ada di sini?"

Sontak, matanya terbuka lebar dan ia mengarahkan pandangannya pada para staff yang sibuk mendandaninya.

"Apa kalian mendengar suaranya?"

Mereka saling berpandangan dan mengedikkan bahu, "Siapa?"

"Wanita pengganggu itu."

Celakanya, di tengah ia bertanya panik, suara itu makin mendekat.

Segera Ben bangkit berdiri dan mengambil ponselnya yang ada atas di salah satu perlengkapan staffnya.

"Cegat dia!" Perintahnya kali ini mutlak. Mereka bisa sesekali tidak menghiraukan ucapannya. Tapi untuk wanita yang satu itu, mereka harus setangkas mungkin menjauhkan gadis itu darinya, atau bencana akan terjadi.

Ben menekan beberapa nomor di layar ponselnya dan ia menempelkan ponselnya itu ke telinganya, selagi ia kocar-kacir melarikan diri.

Namun sayang sekali, setelah lama ia menunggu, ia hanya mendengar nada sambung.

Apa yang sedang dilakukan Orin? Kenapa dia selalu tak menjawab teleponnya di saat-saat seperti ini?

Kini Ben berganti ke target selanjutnya. Sekarang yang sedang ingin di huhunginya mati-matian adalah asisten manajernya, yang —ia tahu pasti— saat ini dia sedang bersama Orin.

Namun sungguh mengecewakan. Dia tak mendapatkan respon yang diinginkannya. Sama halnya dengan Orin, asisten manajernya juga tidak menjawab teleponnya.

Dimana mereka sekarang?! Apakah sutradara dan penulis itu jauh lebih penting daripada kondisi mendesaknya sekarang?

Terlebih ketika dirinya berjalan lewat, ia berpapasan dengan beberapa kru yang tampak mengenalinya. Mereka menundukkan kepala dan tak sedikit yang menunjukkan senyum sopan di wajahnya. Namun situasi darurat ini membuatnya kehilangan wibawa. Terburu-buru ia menyapa mereka dengan senyum dan seperti seorang yang berada dalam DPO, dia melaju dengan cepat selagi menghilang dari pandangan mereka.

Hingga sekarang ia mulai kehabisan napas dan rasa tak aman masih menyelimutinya.

Drrrttt.. Drrrttt..

Ponselnya bergetar. Manajer yang tadinya tak bisa ia hubungi, sekarang akhirnya meneleponnya balik.

"Ada apa?" tanyanya tanpa bersalah.

"Gadis gila itu datang." ucapnya dengan megap-megap.

"Jangan menyebutnya begitu. Jika ada yang mendengarnya, kau bisa memperburuk citramu."

Ben sedang tak membutuhkan nasihat sekarang, ia hanya ingin ketenangan yang menjadi upah dari semua kerja kerasnya. "Bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini?"

"Justru aneh jika dia tak tahu kau ada di sini." Ucap Orin dengan nada yang sangat santai. "Film ini sudah mengambil banyak perhatian media, bahkan sebelum kau masuk ambil bagian di dalamnya. Kini kau membintanginya dan berita antusiasme mengenai film ini semakin menjadi-jadi. Jadi bukankah justru tidak masuk akal jika dia tidak tahu?

Ben berkacak pinggang dan menghela napas, "Lantas maksudmu, fakta kalau 'dia mengutit kemanapun aku pergi', masuk akal? Sesuatu yang wajar, begitu?"

"Tidak juga." ucap Orin yang terlihat mulai ragu-ragu lantaran suaranya yang terdengar merajuk. "Tapi kau dimana sekarang?"

Ben melihat sekitar dan mengerutkan dahi. "Entahlah, aku juga tak tahu."

"Kalau begitu, cepatlah kembali."

"Tidak mau. Lebih baik aku tersesat seperti ini daripada harus menghadapi gadis gila itu." tolaknya mentah-mentah.

"Masalahnya saat ini aku sudah sampai di tenda tadi dan ... gadis yang kau hindari itu tak ada di sini."

Mata Ben terbelalak dan kini ia menatap sekitar dengan penuh waspada. "Tapi tadi aku menyuruh yang lain menghadangnya."

"Kau pikir dia mudah di atasi? Kau sendiri saja tak bisa menghadapinya, bagaimana kau bisa mengharapkan mereka dapat melakukan apa yang tak bisa kau lakukan? Jadi cepatlah kemari, setidaknya tenda ini akan menjadi tempat teraman bagimu untuk berlindung."

"Baiklah. Aku akan segera ke sana."

Setelah susah payah melarikan diri, sekarang dia harus menemukan jalan untuk kembali.

Ben melihat ke arah jalan belakangnya, lalu berbalik ke jalan bercabang yang ada di depannya.

Jika dirinya menggunakan jalan yang sama, maka itu tak berbeda dengan bunuh diri. Karena gadis itu pasti sedang mengikutinya selagi menyusuri jalan yang telah ia lintasi.

Lalu ia mengarahkan pandangannya ke depan dengan tak yakin. Namun bagaimana jika ia justru akan tersesat jika memaksa berjalan ke depan.

Di situlah seorang wanita berkucir kuda menabraknya keras, hingga ponselnya yang ia genggam erat-erat jatuh ke tanah dengan menimbulkan sebuah bunyi keras.

"Maaf." ucap gadis sambil mengambilkan kembali ponselnya yang tergeletak di tanah.

Entah bagaimana, kejadian itu sedikit menyebalkannya. Mungkin itu karna situasinya yang sedang kurang menyenangkan. Atau mungkin karna benda kecil yang dia jatuhkan itu berisi hal-hal penting, yang membuatnya kerepotan jika ia kehilangannya.

Namun yang pasti perasaan itu hanyalah sebuah kesensitif-an yang semu, yang langsung menghilang ketika dirinya mendengar suara itu lagi.

"Kalian tahu dimana Ben?"

Dengan mendesah kesal, Ben mencoba kembali melarikan diri dari kehadiran gadis itu. Namun di saat yang mendesak itu, tiba-tiba wanita yang menabraknya justru memegang tangannya. Ia mencoba menarik halus tangannya, tapi gadis itu tetap menahannya di sana.

"Aku.."

"Mau kubantu?" tanya gadis itu sambil memiringkan kepalanya.

Entah yang dirasakannya hanyalah sebuah ilusi atau memanglah seperti itu adanya. Namun Ben bisa merasakan ada aura beku yang menjalar dalam sentuhan gadis itu, dan itu membuat bulu kuduknya meremang.

*****

Next chapter