2 Heroine Gila!

"Jangan masuk! Dokter sedang beristirahat." seru perawat wanita yang berusaha menghentikannya.

Bukannya mundur, Nesya justru tetap melaju ke depan hingga ia membuka pintu geser dari seorang dokter muda yang sudah lama dikenalnya. "Halo, Dok. Aku sudah membuat janji di jam istirahat ini, lewat pesan. Kau sudah melihatnya?"

"Uhuk, uhuk, uhuk.." Dokter yang telah meletakkan jas putihnya itu langsung tersedak, ketika melihat kedatangannya yang tampak mengejutkan baginya. "Be-nar-kah?"

Dengan pengertian Nesya mengambilkan air gelas mineral yang di tersedia di meja dan menancapkan sedotan plastik untuk pria tersebut. "Kalau makan jangan bicara. Lihat, sekarang kau tersedak. Minumlah."

Tanpa berkata apapun, pria itu langsung menyambar minumannya dan menghabiskannya. Setelah fase tersedak itu selesai, dia melirik tajam ke arahnya dan memicing, "Aku tersedak bukan karna bicara, tapi karna kau mendadak masuk dan membuat keributan."

"Maafkan aku." ucap suster wanita tersebut, menyela ucapannya.

"Tidak apa-apa, pasien satu ini memang suka seperti itu. Kau harus mulai terbiasa dengannya. Sekarang, kau bisa melanjutkan istirahat siangmu. Aku yang akan mengurusnya."

"Baiklah." jawabnya yang ikuti oleh menutupnya pintu ruang praktik tersebut.

"Kenapa kau mengganti suster-mu yang kemarin? Padahal aku sudah nyaman dengannya."

Seakan belum cukup dengan tersedaknya yang terakhir kali, Dokter Dave langsung menjejalkan sepotong roti besar ke dalam mulutnya dan membuang semua sisa kemasan plastiknya.

"Hanya karna kau menyukainya, bukan berarti dia harus menahan dirinya untuk tetap di sini." Dokter itu mengambil satu gelas air lagi dan meminum setengahnya secepat kilat. "Aku sudah menghabiskan makananku, bagaimana jika kita memulainya sekarang?"

Nesya menyandarkan bahunya, menyilangkan kakinya dan melipat tangannya di depan dada. "Oke."

Dokter muda itu menarik laci pertamanya dan mengambil secarik kertas dari sana. "Dengarkan baik-baik. Jika kau terbangun di tengah malam, jangan biarkan dirimu terkejut. Jika kau terlanjur terkejut. Tarik napas dalam-dalam."

Sambil mendengarkan sang dokter membaca teksnya, Nesya menjentikkan jari, menatap sekitar dan mengangguk sesekali. Hingga akhirnya dia selesai dengan bacaannya.

"Ulang dua kali lagi."

Baru si dokter merasa lega sejenak. Kini dia harus mengulang pembacaan teksnya, hanya oleh karna satu perintah dari Nesya.

"Cukup." Potong pria itu di tengah proses membacanya. "Bukankah saat ini yang harus kita lakukan adalah mencari cara untuk mengobatinya?"

Mendengarnya memotong proses terapi yang sedang dilaluinya, Ia pun menjadi geram. "Sebagai ahli psikologi, berikan pendapatmu mengenai kondisiku. Menurutmu apa aku bisa sembuh? Apa ada cara efektif untuk mengobatiku?"

Rupanya ucapannya berhasil membuat bungkam pria itu dan kini dengan senyum lebar ia berkata seolah bukan dirinya yang sakit. "Benarkan? Sudah kubilang itu penyakit yang tidak dapat tersembuhkan. Jika begitu, lantas kenapa kau membuang-buang waktu."

Ucapannya yng ekstrim, sontak membuat pria yang ada di hadapannya terdiam memaku. Hingga dengan kesadaran yang belum penuh benar, dokter itu berbisik yang terdengar seperti umpatan, "Kau gila."

Bukannya marah, Nesya justru tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah pria tersebut. "Tapi karena orang gila ini kau mendapatkan uang untuk biaya hidupmu, kan?"

Sepertinya bukan hanya dirinya yang gila, dokter ini pun juga tidak berbeda darinya. Mendengar ucapannya yang sedikit melecehkan, pria itu malah tertawa keras, seolah sedang mendengar acara lawakan di tv.

Yah, mungkin ini adalah efek samping dari menjadi dokter dari para orang sinting.

"Astaga. Terkadang kau menakutkan, Nesya." Ucapnya sambil mengusap air matanya setelah puas tertawa.

"Tenang. Wanita yang mencekik ku setiap malam jauh lebih menakutkan dariku. Jadi jangan terlalu terkejut."

"Benarkah. Wah, aku jadi penasaran padanya."

"Jika ada kesempatan, aku bisa memperkenalkannya pada dokter, lain kali."

"Baiklah. Kenalkan aku padanya kapan-kapan. Siapa tahu dia akan menjadi pasien tetapku, seperti kau."

Nesya menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar. "Benar. Anda tidak perlu khawatir, aku akan mengiklankan klinikmu ini pada semua kenalanku."

Dokter itu pun membalasnya dengan senyum sopan lainnya dan membungkuk sedikit, "Astaga, kau sangat perhatian. Terima kasih banyak."

"Tentu. Tapi bekerjalah dengan lebih baik lagi." Lalu selagi menuding kertas yang dipegang dokter tersebut, Nesya mengajukan syaratnya. "Bacakan tulisan itu lima kali lagi."

Kata 'lima' membuat pria itu terperanjat ke belakang dan sambil menelan ludah dia menatap kertas tersebut dengan Nesya secara bergantian. "Lima?!"

"Ya. Lima."

Meskipun jawabannya sudah cukup jelas, tapi itu tak lantas membuat dokter tersebut menjalankan tugas dengan segera. Hingga ia tak sabar lagi.

"Bisakah kita memulainya sekarang?" Nesya menengok jam tangannya dan menghela napas keras-keras. "Aku ada jadwal setelah ini."

"Jadwal? Maksudmu dengan editor bukumu?"

"Tidak. Bukan buku, melainkan film." jawabnya cepat.

"Film? Tapi selama ini kau selalu menolak semua tawaran sutradara yang ingin mengadaptasi novelmu."

"Ya, aku memang tidak suka. Tapi ...,"

Di saat yang tepat, seseorang menghubunginya dan merecokinya dengan nada dering yang mengganggu. Segera ia melihat layar ponselnya, lalu menunjukkan siapa yang menghubunginya.

"Dia-lah yang membuatku menerima tawaran itu."

Selagi Dokter Dave terkekeh, Nesya harus mengahadapi pria merepotkan itu. "Ya, Alvin Surya. Ada apa?" Nesya menerima teleponnya dengan nada sesopan mungkin yang terdengar sangat dibuat-buat.

"Bagaimana bisa kau memanggil kakakmu seperti itu?! Lupakan. Dimana kau sekarang? Kau tidak lupa janjimu, kan? Aku mendapat kabar kalau kau belum sampai lokasi syuting. Apa kau sudah tidak ingin hidup? Lihat saja jika kau tidak datang hari ini, aku akan menyeretmu bersamaku dan terbang ke tempat di mana kak Ethan berada."

Begitu nama kak Ethan disebutkan, mendadak hantaran pasir yang panas dan kemah lusuh yang sempit dan kotor berkelebat di pikirannya. Lalu dengan keringat bercucuran, ia pun mengangguk keras, seakan kakaknya dapat melihat kesungguhannya dari ujung telepon. "Baiklah. Aku memang sedang dalam perjalanan ke sana, tapi karena searah, aku ingin mampir sebentar ke dokter."

Entah kemana hilangnya orang yang tadi berniat hendak menyeretnya pergi, hingga sekarang yang terdengar di telinganya adalah nada lembut perhatian yang berbicara seolah dia mampu melakukan apapun demi dirinya. "Kau sakit?"

"Ya." Dengan manja, Nesya mencoba menggoyahkan keputusan kakaknya. "Karena itu bolehkah hari ini aku tidak datang syu..."

"Diam bocah nakal!" Bentak kakaknya padanya yang membuatnya mendesis kesal.

"Jangan berteriak!" Dari seekor anjing yang manis, dalam sekejap Nesya langsung mengeluarkan tanduknya.

"Berhenti merecoki Dokter Dave dan biarkan dia beristirahat dengan benar. Kenapa kau datang di jam makan siang?!"

"Itu karna kau memaksaku ikut syuting siang ini!"

"Kau bisa datang di pagi hari!"

"Pagi hari, ada banyak pasien!"

"Kau bisa mengantri!"

"Aku benci menunggu!"

"Kau.."

"Aku pergi syuting sekarang." Nesya langsung menutup ponselnya dan menghentikan ocehan kakaknya.

Setelah selesai berurusan dengan kakaknya, kini matanya langsung bertemu dengan mata Dokter Dave, yang menatapnya sambil berpangku tangan.

"Sepertinya cukup sampai di sini terapi kita." Dengan wajah yang berbinar, Dokter Dave mengusirnya pergi. "Kau harus segera berangkat bekerja. Semangat."

*****

avataravatar
Next chapter