webnovel

Mooniversary

.

.

.

Dua tubuh panas saling beradu dan menyatu di atas ranjang yang sempit dan berderit. Kedua bibir bengkak yang nyaris berdarah masih intens melumat satu sama lain.

Si gadis meringis ngilu kala kekasihnya mempercepat tempo dorongan. Dan membuat kulit sensitif mereka saling beradu dan bergesekan. Nyeri namun begitu membuat candu.

Fiya akhirnya memutuskan memberikan kesuciannya pada Ariel. Dia ingin kekasihnya berubah, dan tak meniduri sembarang perempuan lagi. Biar dia saja yang menyerahkan dirinya. Kapan pun dan dimana pun kekasihnya ingin menyetubuhinya.

Mungkin terkesan bodoh jika kau tanyakan pada perempuan kebanyakan, karena memberikan tubuh dan kehidupanmu pada seorang lelaki tak pernah menjamin bahwa dia akan setia kepadamu. Tapi, berbeda dengan Fiya. Cintanya yang terkesan egois, membuatnya rela melakukan apapun.

"Terimakasih, sayang," Ariel mengecup lembut kening Fiya yang basah.

Gadis itu tersenyum, dia bahagia karena telah membuat kekasihnya merasa puas. "Apapun buatmu sayang."

.....

Erik menepuk nepuk jok motor belakangnya beberapa kali. Memberi isyarat pada Abi agar ia ikut duduk. Berulang ulang dia membujuk Abi, tapi Abi tak bergeming. Dia terdiam di dekat Erik, menimbang nimbang apakah dia harus ikut atau tidak.

Sementara Preinan dan Raiga menatap dua sejoli itu dengan geram. Tingkah mereka berdua persis seperti sepasang kekasih yang sedang marahan. Yang satu membujuk dan yang satu lagi keras kepala.

Preinan mendecak. "Ayo, dong Bi. Ikut apa nggak? Jangan diem aja." tampak Preinan mulai jengkel dengan diamnya Abi.

Abi mendengus keras, lalu dengan kesan terpaksa ia akhirnya naik di belakang Erik. "Iya iya, aku ikut."

Mereka berempat berencana pergi ke sebuah toko buku bersama, karena tuntutan guru seni budaya yang mengharuskan mereka membeli peralatan melukis dan kanvas berukuran A3 untuk praktik lusa nanti. Abi tidak terlalu antusias seperti Preinan karena dia tidak pandai melukis. Dia lebih suka memainkan alat musik atau seni tari modern dari pada duduk dan memegang kuas selama berjam jam.

"Pegangan," Seru Erik pada Abi yang terlihat menaruh tangannya di paha.

"Harus banget, ya?" Abi mendelik.

"Nggak juga, aku cuma gak mau aja kamu jatuh terus ketabrak mobil sedot tinja dari belakang." sahut Erik dengan sedikit guyonan garingnya. Yang ajaibnya, membuat kedua tangan Abi melingkar sempurna di perutnya yang terbalut jaket.

"Aku udah pegangan, puas?!"

Erik terkekeh, kemudian ikut mengelus punggung tangan Abi yang ada di perutnya. "Good boy,"

...

Dua motor terparkir di dekat sebuah grosir besar, yang pernah Raiga dan Preinan kunjungi sekitar sebulan yang lalu. Tempat dimana mereka menyatakan perasaan mereka kala itu. Tidak terasa, hubungan keduanya kini menginjaki bulan pertama.

"Biar aku sama Erik aja yang nyari barang buat praktek, kalian bisa keliling sama lihat lihat, oke?" Raiga memberi saran. Lalu ketiganya mengangguk bersama.

Erik dan Raiga pergi ke sebuah sudut dimana banyak terpajang kanvas putih berbagai ukuran dan juga peralatan lukis lainnya. Sementara Abi lebih memilih pergi ke kafetaria yang ada di dekat pintu masuk dan membeli beberapa cemilan, meninggalkan Preinan yang sibuk memilah barisan buku yang ada di rak.

Belasan menit berlalu, beberapa lembar buku yang tak bersegel sudah Preinan tilik dan baca, tapi ketiga orang yang tadi bersamanya mesih belum kembali. Dia mengembalikan buku bersampul biru ke tempatnya semula. Kemudian kembali mondar mandir melihat apakah ada yang menarik di jajaran rak paling atas.

Kakinya berjinjit, dan melompat kecil saat tangannya tak kunjung sampai pada sebuah buku yang ia incar. Sempat ia berpikir mungkin lebih baik memanggil seorang pelayan di sana, tapi tiba tiba sebuah uluran tangan dengan mudahnya mengambil buku yang ia inginkan.

Preinan berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang di depannya jika saja ia tidak buru buru mundur dan menempelkan punggungnya pada rak. Peristiwa ini, sama persis dengan kejadian sebulan yang lalu yang masih ia ingat dengan baik.

"Kamu mau buku ini?" Raiga mengayunkan buku yang ada di tangannya. Membuat Preinan berhenti melamun.

Preinan mendadak tersenyum senyum sendiri, entah kebetulan atau tidak, rasanya seperti de javu saat Raiga menatapnya dari dekat seperti ini. Dengan lancang, dia melingkarkan tangannya di leher Raiga lalu mengecup bibirnya dengan lembut. Alis Raiga mengerut. Menerima perlakuan manis dari kekasihnya tanpa alasan, membuat dia sedikit kebingungan.

"Happy Mooniversary, Rai." ucapnya halus saat ciuman mereka terlepas. "Apa ... Kamu mau jadi pacarku untuk bulan berikutnya?" mata abu abunya berbinar. Dengan senyuman yang tersimpul manis, dia menembak Raiga untuk jadi pacarnya lagi.

Raiga tertawa. Melihat tingkah Preinan yang manis dan menggemaskan membuatnya mencubit kedua pipi Prei dengan gemas. "Aku mau," kemudian cubitan itu berganti belaian lembut. "Aku mau jadi pacar kamu sampe tahun berikutnya,"

Bibir Raiga mendekat, melum*t lembut mulut kekasihnya yang basah. Suasana begitu hening hingga percumbuan diantara mereka selesai.

"Ayo, kita rayain,"

Preinan tersenyum semringah. Dengan cepat, dia menganggukan kepala.

.....

Erik mendekati Abi yang masih sibuk menjilati es krim berwarna pink di tangannya. Dia menaruh kantong belanjaan di depan Abi, lalu duduk di sampingnya.

"Nih," Abi menyodorkan sebungkus es krim rasa coklat.

Erik menerima bungkusan itu lalu membukanya dengan antusias. "Kok, kamu tahu kalo aku suka rasa coklat, kamu stalk aku, yah?" Ujar Erik kepedean.

Abi memutar bola matanya dengan malas, "Kalo aku kasih rasa kecoa pun, kamu pasti bilang gitu juga, kan?"

Erik terkekeh, dia mengunyah es krimnya penuh semangat. Entah sihir apa yang Abi suntikan di makanan beku yang ia santap ini, tapi rasanya jauh lebih enak dari es krim coklat lain yang pernah ia makan.

"Aku serius. Aku bener bener suka makan es krim coklat, persis kayak aku suka sama kamu," ujar Erik yang seketika membuat Abi membatu di tempat.

Sesuatu di dadanya berdebar. Entah itu serangan jantung atau gejala hipertensi, tapi perasaan itu sukses membuat wajahnya memerah dan panas. Buru buru ia dinginkan kembali kepalanya dengan melahap penuh sisa es krim yang ia pegang. Sebelum Erik melihatnya.

Preinan dan Raiga berjalan mendekat. Keduanya ikut duduk di sebrang Abi dan Erik.

"Udah semua, kan?" Raiga menatap Erik yang masih sibuk menjilati stik es krim.

Erik mengangguk cepat. Kemudian keempat orang itu memutuskan untuk pergi dan pulang. Di perjalanan, Preinan mendekap erat tubuh Raiga dari belakang. Sembari menghirup tengkuk Rai yang beraroma khas.

"kita rayain mooniversary-nya di rumah ya, Rai," Preinan memberi usul.

Raiga menengok sekilas, kemudian kembali menatap aspal jalan di depannya. "Di rumahku? Kenapa nggak di luar, aja. Di rumah, kan nggak ada apa apa."

"Gak apa apa. Di rumah kamu aja. Kita makan bareng sama Mamah kamu juga." Preinan tetap pada pendiriannya.

Raiga menghela napas. Kemudian mengusap punggung tangan Preinan yang melingkari perut bawahnya. "Yaudah. Terserah kamu aja," ucapnya dengan senyuman tipis di wajah.

Sementara itu, Abi yang dibonceng oleh Erik kini duduk dengan kikuk dan canggung. Kalimat terakhir yang Erik ucapkan padanya tadi membuat dia menjadi salah tingkah. Dan memilih memegangi pahanya di banding berpegangan pada Erik seperti sebelumnya. Membuat senior itu merasa aneh.

"Nggak pegangan lagi?" tanyanya memecah keheningan di jalan.

Abi memalingkan wajah. Dia terdiam beberapa saat hingga Erik akhirnya menoleh untuk mencari tahu. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Nggak apa apa." jawab Abi dingin.

"Kalo nggak pegangan nanti kamu jatuh, lho."

"Jatuh ya jatuh, aja. Nggak masalah, tuh." Abi mengelak. Dan mengacuhkan ucapan Erik.

Dengan sengaja, Erik memutar pegal gasnya dalam dalam, membuat laju motornya seketika menggila. Karena terkejut dan takut jatuh, Abi refleks memeluk tubuh Erik dengan kencang. Membuat pria jangkung itu mendengus geli. Dan menoleh menatap wajah juniornya yang kaget dan ketakutan.

"Katanya, jatuh ya jatuh, aja. Tapi, kok malah pegangan." goda Erik yang langsung membuat Abi geram.

"Berisik!"

....

Jam menunjuk ke arah 7 malam. Preinan masih sibuk menata rambutnya di cermin dan merapikan pakaian yang ia kenakan. Bersiap siap untuk pergi ke ramah Rai. Seorang pelayan terlihat mendekat dan bertanya makanan apa yang ingin dia makan malam ini, tapi Preinan buru buru menolaknya.

"Aku mau makan di luar,"

"Tapi, tuan besar sudah menunggu tuan di ruang makan." ucap pelayan itu tiba tiba, membuat alis Preinan mengerut.

"Papah pulang? Sejak kapan?" kini perhatiannya beralih penuh pada pelayan wanita yang menundukan kepalanya itu.

"Tadi, sekitar 15 menit yang lalu,"

Tanpa menyahut, Preinan bergegas menuruni tangga dan berlari menuju ruang makan. Matanya dengan teliti mencari sosok orang yang bertubuh tinggi dan gagah itu.

"Papah?" panggilnya, saat mendapati sosok ayahnya duduk di salah satu kursi, dengan memegang selembar kertas koran.

Lembaran itu dilipat, kemudian ia taruh di samping. Kini perhatiannya ia pokuskan pada anaknya yang berdiri di ujung meja makan.

"Ayo, kita makan malem sama sama." serunya dengan menyunggingkan seulas senyuman. Wajahnya terlihat lelah karena bekerja, namun sorotan matanya begitu tegas dan penuh ambisi.

"Papah, kapan pulang?"

"Barusan. Papah ada waktu luang malem ini, makanya Papah pulang. Emang kenapa?" alis kendurnya menaut. "Kamu nggak seneng?"

Preinan menggelengkan kepala. "Seneng, kok. Cuma, Prei nggak bisa nemenin Papah makan. Preinan mau pergi,"

Pria tua itu menghela napas, kemudian bangkit dan berjalan menuju anaknya.

"Kita udah lama nggak bicara. Emang kamu nggak mau ngobrol sebentar sama Papah, hm?"

"Tapi, aku bener bener nggak bisa, Pah."

"Karena cowok itu, kan?" Ronald menatap anaknya dengan penuh perhatian. Preinan terdiam. Dia harap Papahnya tidak tahu tentang hubungannya dengan Rai.

"C-cowok yang mana?" tanya Prei dengan nada putus putus.

"Raiga Banabi, 17 tahun, tinggal di komplek Raya nomor 15, tinggal sama ibunya yang buka usaha kue kering rumahan." tutur Ronald sembari melangkah lebih dekat pada anaknya, mambuat kaki Preinan otomatis mundur karena merasa terpojok. "Dan ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Cowok yang itu, kamu kenal, kan?" lanjutnya dengan penuh penekanan.

"P-papah tahu dari mana?" Preinan begitu terkejut. Dia masih tak menyangka Papahnya tahu semua hal tentang kekasihnya.

"Papah bahkan tahu kamu selalu makan apa dan pergi tidur jam berapa. Jadi, bukan hal sulit buat nyari tahu soal anak yang deket sama kamu akhir akhir ini,"

Tenggorokan Preinan terkecat. Tubuhnya seketika menegang kala Papahnya meremas kedua pundaknya dengan kuat.

"Jauhin dia." suaranya begitu tegas. Dengan sorot mata yang tajam, dia berhasil membuat Preinan terintimidasi. "Papah bisa carikan teman yang lebih baik. Pacar yang cantik dan hal apapun yang kamu mau. Asalkan kamu mau putusin dia,"

"Putus?" Preinan menepis kedua lengan ayahnya. Kemudian menatap balik dengan sorot mata yang tak kalah berani. "Papah tahu? Seumur hidup aku nggak pernah bahagia meskipun papah kasih aku segalanya!"

Preinan mendekatkan wajahnya dan mendelik tajam pada mata pria tua yang bertubuh tinggi dan tegap itu. "Atas dasar apa Papah larang aku buat milih pasanganku sendiri?! Papah itu selalu nggak ada. Yang Papah tahu cuma nyari uang uang dan UANG!!! Papah nggak berhak ngatur ngatur hidupku,"

Plak!!!

Tamparan keras mendarat sempurna di pipi kirinya. Panas dan perih. Membuat mata Preinan ikut berair. Dia memegangi pipi kirinya seraya menoleh kembali pada sang Papah yang terlihat sangat marah.

"Jangan kurang ajar, kamu. Kamu berani ngelawan Papah cuma demi cowok tengil kayak dia? Hah?!" kemarahan Ronald memuncak. Tangan yang semula ia gunakan untuk memeluk dan membelai anak semata wayangnya itu, kini berubah menjadi senjata yang menyakitkan.

Pria tua itu meluapkan semua kemarahannya dan membuat Preinan tersudut tak berdaya. Air mata yang tertahan kini tumpah membanjiri pipi Preinan. Dengan perasaan sakit yang menyayat hatinya, dia buru buru lari dan pergi dari rumah itu.

.....

Raiga melirik kembali jam di tangannya. Menerka nerka kapankah Preinan sampai di rumahnya. Sudah 15 menit terlewat dari janji temu yang mereka buat. Cemas dan khawatir tentu saja memenuhi hatinya, terlebih ponsel Preinan tidak bisa ia hubungi.

Tok!!  Tok!!  Tok!!

Suara pintu yang di ketuk dari luar membuat wajah Raiga berubah senang dan lega. Buru buru, ia beranjak dan berlari ke arah pintu.

"Maaf, aku sedikit terlambat," seru Preinan dengan seutas senyum getir.

Next chapter