webnovel

Mabuk

"Sialan kamu ya, Rik! Kenapa malah nonton bokep! Ini tugas masih banyak yang belum beres. Erik! Woy! Setan mesum Erik! Dengerin aku ngomong nggak, sih!"  aku sesungutan berteriak di depan wajahnya, tapi dia tetap pokus menatap layar ponsel. Aku tahu dia memakai earphone tapi bukan berarti dia tuli sepenuhnya.

"Santai, dong. Kalo tetangga kebangun gimana coba? Lagian aku udah bayar kamu ya, Rai. Jadi kerjain lah sendiri." jawabnya santai tanpa melepaskan pandangannya pada film jepang seri terbaru itu.

Berhari hari galauin Fiya, ujung ujungnya terobati film p*rno juga. Dasar ya, kalau orang mesum otaknya emang udah gesrek secara lahiriah.

"Liat jam, dong! Ini udah tengah maleemm...." sahutku geram. "Bantuin, kek!"

"Sorry, lagi klimaks. Ahhh ...." desahan menjijikannya membuatku merinding geli.

Jorok banget sih. Nganuan kok diatas kasur. "Sialan! Gak punya malu banget, ya! Ke kamar mandi, kek."

"Ahh... berisik."

Ck, aku memutuskan beranjak dari kamarnya dan pergi ke balkon. Menunggu Erik selesai dengan aktivitas s*ksualnya. Aku menghirup udara malam untuk mengusir lelahku sejenak, karena tumpukan tugas yang Erik berikan dan juga pegal pegal hasil beberes gudang sekolah tadi sore. Ah, sepertinya enak kalau sambil merokok.

Aku bukan perokok aktif, hanya kalau sedang stres atau lelah, biasanya aku menghisap sebatang rokok di malam hari. Tentu saja saat Mamah sudah tidur.

Sejujurnya, Erik maupun Fiya sama saja. Sama sama teman yang memuakkan. Tapi tidak ada alasan untukku untuk tidak berteman dengan mereka. Mereka pribadi yang cukup menyenangkan, meskipun memang sifat kami sangat jauh berbeda.

Aku meletakkan rokokku di tepian tralis pembatas balkon dan merogoh ponselku yang sedari tadi bergetar. Aku heran kenapa Mamah menelpon lagi, padahal aku sudah izin tadi sore. Tapi, eh...

Bukan mamah yang menelponku. Ini... telpon dari Preinan.

"Hallo, Prei... ada a..."

"Raiga...." suara seraknya terdengar sangat aneh.

"Prei? Hei, kenapa... Prei, hallo! Kamu denger aku, kan?."

Untuk sesaat telponnya sangat hening. Aku sedikit bingung tapi aku coba menunggunya berbicara lagi.

"Rai... kenapa kamu nggak anter aku pulang. Hiks."

Hah?! Dia ngelantur apa sih.

"Kamu mabuk, ya? Sekarang kamu dimana? Biar aku jemput kamu kesana."

"Aku... nggak tahu. Disini gelap. Nggak ada orang."

Ah, sial.

"Kamu masih sadar, kan? Coba share lokasi kamu lewat ponsel. Aku bakal samperin kamu sekarang!."

Tanpa menunggu lagi, aku langsung beranjak masuk dan mengambil kunci motorku yang ada di atas tv. Serta menyambar jaket yang aku taruh dikasur.

"Mau kemana?."

"Ada urusan sebentar, nanti aku balik lagi." jawabku cepat.

"Eh, nggak nggak! Nggak bisa. Jangan pulang sekarang. Tugasnya kan masih banyak." Erik mencegatku di ambang pintu.

"Bukan mau pulang, ck. Sebentar, kok."

"Mau kemana? Aku ikut!."

"Gak usah nyebelin, deh. Minggir!."

"Aku ikut atau kamu nggak pergi sama sekali!." ancamnya.

Aku menghela napas dan memilih menyerah. "Yaudah, oke!."

......

Aku membonceng Erik bersamaku menuju tempat yang Preinan kirim. Tempatnya tidak jauh, tapi cukup menyeramkan karena jalanannya gelap dan sunyi.

Untung aku bawa Erik. Kalau tidak, mungkin bulu kudukku sudah menari nari karena takut.

Tapi yang membuatku pusing sekarang adalah, nanti bagaimana aku bisa anterin Preinan pulang? Hah... gak mungkin bonceng tiga.

Aku berhenti di tepi trotoar saat sebuah bangunan megah dengan lampu gemerlapan terlihat di depan mata.

"Turun, kita udah sampe."

"Eh, kamu ngapain ke tempat kayak gini? Mau dugem?." wajah Erik mendadak curiga.

"Aku mau nyari Preinan, kamu nunggu disini atau ikut kedalem?." tanyaku cepat sembari melepas helm.

"Ikut!."

"Yaudah, ayo."

....

Tanpa ragu, aku masuk ke dalam tempat l*knat itu. Mataku melanglang buana, menyusuri setiap celah gelap untuk mencari sosok Preinan. Bau alkohol dan asap rokok menguap memenuhi ruangan. Aku menyusupi setiap celah kerumunan orang. Tapi tidak ada tanda tanda keberadaan dia disini.

Dia dimana, sih!

Aku buru buru pergi ke sudut ruangan dimana toilet berada. Ku buka satu persatu bilik disana. Tapi dia tetap tidak ada. Aku menghela napas berat sembari mengacak rambutku karena bingung harus mencari kemana.

"Hei... sendirian aja, nih. Mau aku temenin nggak?."

"Hhh... maaf aku lagi nunggu orang lain...."

Suara itu!

"Preinan!." aku menemukannya, dia berada di sudut sempit bersama seorang wanita dan juga Abi yang terlihat bersandar di sisi lainnya.

Buru buru aku tarik tangannya dan membawanya ke tempat yang lebih leluasa. Meski sedikit kebingungan, dia tidak protes padaku.

"Ah, akhirnya ketemu juga ...." Erik menghela napas lega.

Aku sebenarnya merasa bingung dan kesal. Kenapa dia bisa sampai datang ke tempat seperti ini. Tapi aku tidak bisa begitu saja memarahinya tanpa alasan.

"Prei... kenapa kamu bisa ada di sini? kenapa kamu minum minum sampe mabuk kayak gini? kamu udah gila, ya!." aku memegangi kedua lengannya agar dia tetap berdiri seimbang. Dia tidak menjawab tapi wajahnya mendadak berubah murung.

"Oke. Kamu bisa jelasin nanti. Sekarang, biar aku anterin kamu pulang."

"Tunggu!." Teriak Abi yang datang menyusul kami.

"Rik, kamu urus dia, yah. Biar aku sama Prei keluar duluan." pintaku sedikit memaksa. Dan langsung melenggang keluar.

"Ehhh, Rai...."

"Anterin pipis...." rengekan Abi menjadi hal terakhir yang aku dengar sebelum aku pergi.

.....

Aku menggandeng tangan Prei keluar, dan berjalan menuju tempatku memarkir motor. Baru beberapa langkah kaki kami berjalan dia tersandung dan jatuh ke bawah. Aku menarik lengannya untuk naik, tapi dia seperti kehilangan keseimbangan. Mau tak mau, aku harus menggendongnya dari sini.

Aku membungkuk di depannya dan langsung menarik lengannya supaya melingkar di leherku. Dan dengan sekali hentakan aku berhasil membuat tubuhnya bertengger di punggungku. Huh...

"Aku bisa jalan sendiri." protesnya pelan.

"Kalo bisa, kenapa barusan jatuh?."

"Mm...."

...

"Rai..."

"... apa."

"Kamu, kenapa mau dateng... pas aku nyuruh kamu ke sini?."

"Hm? Emang kenapa?." tanyaku.

"Kamu itu... terlalu baik."

Meski bicaranya sedikit pelan dan tidak jelas. Tapi aku bisa mendengarnya dengan baik.

"Jangan bicara terus. Kamu tambah berat." ucapku sambil menghentakan tubuhnya untuk naik lebih tinggi.

"Maaf...."

"Nggak apa apa, ini bahkan udah ketiga kalinya aku gendong kamu."

"Bukan... bukan itu."

Aku menautkan alis dan sedikit menoleh ke arahnya.

"Maaf... waktu itu, aku nggak sempat bilang terima kasih.  Aku terlalu pengecut." gumamnya pelan sembari mengeratkan pelukannya pada leherku. "Aku minta maaf juga kalo... aku... selalu  bersikap kekanak kanakan...."

.

Aku memutuskan membawanya ke rumahku, khawatir kalau kalau dia memang punya masalah dirumahnya, yang membuat dia memilih pergi dan mabuk mabukan. Prei menyandarkan kepalanya di bahuku selama diperjalanan. Mungkin, dia tertidur. Jadi aku memegangi kedua tangannya yang melingkar di perutku agar tidak terjatuh dari motor.

..

Tokk!!! Tokk!!! Tokk!!!

"Mah...!" aku berteriak memanggil Mamah di depan pintu.

Aku harap, dia belum tidur.

Tak berselang lama, suara kunci diputar terdengar dari dalam dan pintu terbuka perlahan. Mamah yang berdiri di balik pintu terlihat kaget saat melihatku.

"Itu, siapa?." tanya Mamah dengan mata yang mengarah pada orang yang sedang aku gendong.

"Dia... temen Rai. Boleh ya dia nginep disini." jawabku agak terbata bata.

Mamah masih menatapku dengan curiga, dan terlihat menghela napas panjang sebelum akhirnya menepi dari pintu.

"Yaudah, bawa masuk."

Aku menggendongnya masuk dan langsung berjalan ke arah kamarku. Mamah terlihat memperhatikanku saat aku melangkah masuk ke dalam kamar.

"Jangan aneh aneh ya, Rai." ucapan Mamah barusan membuatku langsung menoleh.

"Iya...." jawabku ringan.

Lagipula, hal aneh aneh apa yang bisa aku lakukan malam malam begini.

Pintu kamar aku tutup dan aku kunci. Aku menjatuhkan tubuh Prei di kasur dan langsung melepas kedua sepatunya. Dia terlihat sedikit bingung saat aku membuka kemeja yang dia pakai. Dan bermaksud ku ganti dengan pakaian yang baru.

"Kamu... mau ngapain, Rai..." dia menepis tanganku dari pakaiannya.

"Baju kamu bau minuman. Biar aku ganti pake baju milikku." jawabku sambil melepas kancing bajunya kembali.

Aku berhasil melucuti kemeja yang dia pakai, hanya tinggal memakaikannya baju yang baru ku ambil dari laci. Tapi kenyataannya aku malah mematung di tempat. Melihat tubuh ramping Prei yang rata dan putih mulus. Membuatku meneguk ludah dengan berat.

Entah perasaan apa yang membuat tengkukku tiba tiba merinding. Mungkin ini semacam rasa kagum yang luar biasa, dari pemandangan langka yang jarang ku temukan.

Bahkan nipple nya pun berwarna merah muda.

Mata abu abunya yang sayu kini menatap ke arah mataku. Aku mendekatkan wajahku padanya. Hingga hawa panas dari napasnya bisa aku rasakan di pelipisku. Harum dari parfum yang menawan berbaur manis dengan aroma alkohol yang menguap dari mulutnya. Membuatku meneguk ludahku lagi.

"Rai...." gumamnya pelan saat jemariku menyentuh ujung bibirnya yang basah.

"Boleh... aku cium?." tanyaku lembut.

"Rai..." dia menjauhkan tanganku dari wajahnya. "Jangan begini. Kau membuatku takut." jawabnya dengan mata yang terlihat gemetar.

"Sedikit... cuma sedikit. Aku janji."

Dia masih terlihat takut tapi tidak menolak perilaku ku lagi. Aku menyusupkan tanganku kebawah lehernya dan menyempitkan jarak diantara kami. Aku mulai menancapkan ciumanku pada mulutnya yang setengah terbuka. Dia sedikit mengerang dan memegangi lenganku dengan erat kala gigi nakalku secara sengaja menggigit tipis lidahnya. Rasanya begitu luar biasa sampai aku menginginkan hal yang lebih.

Aku beralih mengitari pangkal lehernya yang kurus. Dan menancapkan beberapa hisapan manis di sana. Preinan sedikit berontak saat aku melakukannya, tapi aku tidak akan mau berhenti begitu saja. Aku mengunci kedua lengannya yang mulai memukul mukul dadaku. Dan menghimpit tubuhnya dengan tubuhku agar dia tidak lagi leluasa bergerak.

"Rai... kamu bilang cuma sedi..." huh, bibirnya mulai meracau lagi. Buru buru aku isi goa panasnya itu dengan ciuman yang lebih agresif.

Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya, tapi entah bagaimana naluri seksualku keluar begitu saja. Dengan lembut aku menghisap seluruh saliva yang memenuhi rongga mulutnya kemudian aku teguk sendiri. rasanya begitu manis.

Jari jari nakalku mulai merayapi dada dan perutnya yang halus. Menyentuh dan sedikit bermain main dengan titik yang menegang di dadanya hingga berubah kemerahan. Dia menarik ciumannya. Dan mendorong dadaku menjauh.

Alisnya bertaut dan wajahnya terlihat marah. Untuk sesaat aku menghentikan semua kegiatanku.

"Kamu marah?." tanyaku dengan sedikit menjauhkan diri.

"Kamu bohong. Kamu tadi bilang hanya minta sedikit." sahutnya dengan wajah yang berubah merah.

Aku terkekeh dengan seringai nakal dan mendekatkan wajahku pada telinganya. "Maksudku... sedikit lebih banyak."

Dia meneguk ludah berat dan mulai memejamkan mata. Bersiap untuk serangan nafsuku berikutnya. Aku menjilat, melum*t dan menghisap daun telinganya hingga dia mengerang dan mengeratkan genggamannya di dadaku.

"Aghhh...." desah Preinan.

Aku lanjutkan dengan menyusuri tengkuk, hingga sampai ke buah kecil di tengah ruas lehernya. Aku lumatkan salivaku lalu menghisapnya kembali layaknya menikmati lolipop. Berulang ulang sampai jakunnya memerah bengkak.

Tangan nakalku tak cukup hanya dengan memutar titik di dadanya. Kini mereka kembali merayap, menggelitik halus perutnya yang rata dan mulai menyelusup masuk ke dalam sesuatu yang ada dibalik celana.

"Prei... apa boleh aku lanjutin?." tanyaku dengan nafsu yang sudah memuncak.

Hhhh...

Respon yang hening. Aku mengangkat kepalaku sejenak dan mendapati dia yang sudah tertidur pulas. Aku urungkan niat sesatku dan menutup resleting celananya kembali.

Ku kira sudah cukup kami bermain malam ini.

Aku menarik selimut di ujung kaki dan menutupi kedua tubuh kami yang saling berdekapan. Aku membawa kepalanya ke dalam dadaku. Dan memeluknya sepanjang malam.

Aku harus memikirkan kembali perilaku brutalku ini. Kalau saja dia tidak mabuk dan pasrah seperti sekarang. Mungkin aku sudah di hajar.

Next chapter