webnovel

Sebuah Imaji

Alunan lembut saxophone yang mengalunkan lagu 'Bukti' milik Virgoun menjadi lagu pengiring Wedding Entrance Ceremony Bhiru dan Langit hari itu. Mengiringi setiap langkah demi langkah Bhiru dan Langit yang bergandengan tangan dengan syahdu. Berdua menyusuri hamparan panjang karpet merah bertaburan kelopak mawar putih menuju pelaminan. Keduanya dengan rona penuh kebahagiaan tak henti-hentinya tersenyum menyapa para tamu undangan yang berdiri menyambut kedatangan mereka berdua. Diikuti oleh dua bocah perempuan yang menggemaskan dengan dress merah jambu selutut yang bertugas memegang ujung veil milik Bhiru yang membentang panjang di belakang gaun pengantinnya.

Tanpa terasa, Bhiru menitikan air matanya sambil menatap Langit, suaminya. Setelah lima tahun berpacaran, akhirnya mereka berdua menikah juga dalam balutan ceremonial yang begitu indah dan tak akan terlupakan hingga akhir hayat mereka. Bahkan sambil terus melangkah, Langit menarik Bhiru agar lebih merapat dengannya lalu mengecup dahinya dengan begitu manis hingga menuai sorakan riuh dari para tamunya.

Namun manisnya kecupan itu tiba-tiba dipisahkan oleh sesuatu yang tiba-tiba dilemparkan oleh Kumala ke arah mereka berdua dan tepat mengenai bibirnya hingga Bhiru mengaduh dengan gaduh.

"Aduh!"

Bhiru yang kembali ke alam nyata, menatap tajam ke arah Kumala yang tadi melemparnya dengan ballpoint. Tapi sahabatnya itu malah memberinya kedipan-kedipan mata penuh isyarat.

"Apa?" Bibir Bhiru bertanya tanpa suara pada Kumala yang duduk di seberangnya.

"Pak Ranu lagi nanyain kamu," ujarnya berbisik dengan nada tegang.

Bhiru tersentak lalu melayangkan pandangannya ke seluruh orang yang kini memandangnya dengan geli lalu pandangannya berakhir ke tempat atasannya itu berada. Di mana pria itu duduk bersandar dengan melipat kedua tangannya di dada, menatap Bhiru dengan tatapan tajam.

"Ya pak?" Bhiru bertanya dengan roman was-was karena ia tertangkap basah tengah melamun di tengah-tengah meeting.

"Otak kamu ngapain saja sampai nggak memperhatikan saya bertanya apa?" ujar pak Ranu dengan nada sinis dan masih menatap Bhiru dengan tatapan tidak senang. Tentu saja.

Bhiru mengusap tengkuknya yang tiba-tiba berkeringat dingin sambil menjawab, "Ma—maaf, pak. Saya salah karena kurang memperhatikan. Mohon diulangi lagi pak pertanyaannya."

Ia begitu ketakutan karena ia benar-benar telah melakukan kesalahan. Berkhayal sampai lupa daratan padahal ia sedang berada dalam meeting mingguan divisi di perusahaan.

Alih-alih membentak Bhiru yang sering ia lakukan pada setiap bawahannya yang tak becus, Ranu Tama, atasan Bhiru yang terkenal 'killer' itu malah menghela nafas untuk meredakan kekesalannya.

"Meeting kita akhiri dan Bhiru setelah ini ke ruangan saya," katanya kemudian dengan mengejutkan, sambil beranjak bangun dari kursinya dan meninggalkan ruang meeting. Membuat Bhiru kebingungan namun membuat seluruh peserta meeting sontak menghela nafas lega.

"Melamun apa sih dari tadi?" Kumala bertanya dengan wajah geli. "Lamunan jorok ya? Sampai kamu senyum-senyum nggak jelas seperti tadi," tuduhnya kemudian sambil membereskan barang-barangnya di atas meja meeting.

"Iiiih...jorok apaan! Sumpah nggak ada Kum!" Bhiru membela diri.

"Terus kenapa tadi sampe senyum-senyum gitu? Sampai-sampai kamu nggak dengar pak Ranu nanyain kamu apa?"

"Eh emang pak Ranu tadi nanyain apa? Aku minta diulang, eh dia malah ngambek terus bubarin meeting." Bhiru mengerucutkan bibirnya karena sebal mengingat kejadian memalukan di ruang meeting tadi.

Kumala menghela nafas sambil tersenyum geli.

"Nanyain surelnya kantor cabang Thailand yang kemarin itu? Yang menanyakan kejelasan soal barang mereka yang masih tertahan di pelabuhan," jelas Kumala dengan nada serius.

"Ooh..."

"Mendingan kamu sekarang cepat ke ruangan pak Ranu deh. Tahu sendiri dong adatnya dia kayak gimana kalo kita bikin salah. Kamu bakal digencet sampe gepeng." Kumala mengingatkan sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah ngeri Bhiru.

Tapi alih-alih mengkhawatirkan nasibnya, Bhiru malah menertawakan kata 'gepeng' yang terlontar dari mulut Kumala.

"Memangnya aku pisang, bisa dibikin gepeng?" balas Bhiru sambil tertawa cekikikan.

"Tunggu apa lagi? Sanaaa..." Kumala mendorong punggung Bhiru agar bergegas pergi.

"Oke. Doain aku selamat ya, Kum." Bhiru bergegas menuju ke ruangan bosnya.

Dengan ribuan rasa was-was dan langkah yang beraaaaat sekali seolah ada bola besi yang terikat di kedua kakinya, Bhiru melangkah menuju ke ruangan pak Ranu yang sering disebut teman-temannya dengan freezer. Bukan hanya karena hembusan AC nya yang terlalu dingin tapi juga karena aura pemiliknya yang membuatnya kian terasa dingin. Sedingin rumah para penguin di Kutub Utara dan atasannya itu adalah rajanya penguin.

Menghela nafas sedalam mungkin, kedua kaki Bhiru berhenti tepat di depan pintu. Sebelum mengetuk pintunya, Bibir Bhiru berkomat-kamit membaca doa sambil memejamkan kedua matanya. Berharap bosnya yang ganteng namun dingin itu tiba-tiba melunak padanya. Minimal tidak akan membentaknya. Cukup diberi tatapan tajam saja rasanya bagai menembus hingga ke ulu hati.

"Kenapa kamu komat-kamit?" Jenar sekretaris pak Ranu yang terkenal judes tiba-tiba menegur di sampingnya.

"Baca doa lah. Masa baca UUD 45?!" timpal Bhiru agak kesal karena Jenar mengganggunya saat sedang berdoa.

"Ooh, kirain lagi baca mantra jaran goyang buat pak Ranu biar nurut," tukasnya lagi dengan wajahnya yang selalu jutek namun Bhiru hafal betul gaya bercanda Jenar yang sering gagal diterima oleh teman-teman yang lain.

"Amit-amit deh demi Sabang sampai Merauke, buat apa aku berniat memelet pak Ranu. Biarin saja dia galak begitu. Kantor kalau bosnya nggak galak itu nggak seru, Nar." Bhiru beralasan dengan nada enteng.

"Dasar tukang ngeles. Jujur saja deh, sekarang dengkul kamu pasti lagi lemes-lemesnya kan? Gaya-gayaan happy punya bos sadis. Sudah sana ketuk pintunya. Kamu sudah ditungguin dari tadi." Jenar menunjuk ke arah sosok bos mereka yang sedang berdiri berkacak pinggang menghadap ke arah mereka berdua dari balik dinding kaca. Tatapan matanya begitu tajam, seolah-olah bisa membuat dinding ruangan yang serba kaca menjadi pecah.

Sambil menelan ludahnya, Bhiru lalu mengetuk pintunya dengan tiga kali ketukan tak berirama dan tak lama kemudian terdengar sahutan bernada datar yang cukup keras, "masuk!"

Bhiru lalu menarik nafas lagi hingga berkali-kali sebelum memutar kenop pintunya. Ia takut jika telah berada di dalam ia bakal lupa bagaimana caranya bernafas. Bukan karena pesona pak Ranu yang begitu kuat. Tapi karena mungkin saja bosnya itu bakal melampiaskan kemarahannya padanya.

Ketika pintu dibuka, hembusan udara dingin dari dalam langsung menerpa tubuh Bhiru yang seketika itu menggigil.

Brrrrr...

Jika tahu udara yang berhembus dari dalam ruangan pak Ranu akan sedingin ini, Bhiru tidak akan menanggalkan dan meninggalkan blazernya di kursinya.

"Permisi, Pak." Bhiru mencoba melebarkan senyumnya yang kaku dan malah membuatnya terlihat seperti ikan mati di depan wajah pak Ranu yang kini sedang menatapnya tajam tapi tak kunjung mempersilahkannya duduk.

Merasa kedua lututnya lemas, Bhiru lalu berinisiatif menarik kursi di depan meja pak Ranu lalu duduk dengan perlahan.

"Siapa yang suruh kamu duduk?" ujar pak Ranu tiba-tiba hingga membuat Bhiru mengangkat sebelah pantatnya dari busa kursi yang tadinya ia rasakan empuk.

"Ya sudah saya pingsan saja kalo begitu," balas Bhiru dengan bibir cemberut namun malah membuat bosnya itu seolah akan tersenyum namun sengaja ditahan dengan mengatupkan bibir rapat-rapat.

Melihat reaksi bosnya yang sepertinya mulai jinak, Bhiru jadi sedikit lebih tenang.

Tapi ternyata ia keliru.

"Ya udah. Jangankan pingsan, kamu mau mati juga boleh," kata bosnya itu dengan nada sadis.

Astaga! Ini orang lambe-nya benar-benar ya! Sadis. Batin Bhiru menjerit.

"Tapi sebelum mati kamu harus jelaskan dulu soal surel dari Bangkok kemarin," tambah pak Ranu sambil mengangkat tinggi-tinggi kertas ditangannya hingga menutupi sebagian wajahnya.

Next chapter