webnovel

1. Kenyataan pahit!

"Mas!" teriak Alina dengan mata yang terbuka lebar. Rantang makanan yang sedari tadi ia tenteng kini spontan jatuh, lalu berhamburan di lantai.

Bibir Alina bergetar serta napas yang mulai naik turun memburu, cukup menjelaskan bahwa saat ini dirinya sedang diliputi amarah. Amarah yang bergejolak, karena menyaksikan orang yang ia cintai sedang bercumbu mesra dengan wanita lain. Alina meremas ujung bajunya dengan kuat.

Abas yang terkejut mendengar teriakan Alina. Langsung mendorong keras tubuh sekretarisnya, agar beranjak dari pangkuannya. Mereka berdua tampak gelagapan. Baik Abas ataupun Sandra, mereka berdua saling merapikan pakaiannya dengan cepat.

Alina bukanlah bocah kecil yang tak tahu apa yang sedang mereka berdua lakukan saat ini. Niat hati, datang ke perusahaan itu untuk memberikan Abas kejutan, dengan membawakan makanan kesukaannya.

Namun kenyataannya, dirinyalah yang mendapatkan kejutan hebat yang menghantam hati dan perasaannya berulang kali. Jantung Alina terasa diremas dengan kuat. Sakit! Rasanya sakit sekali.

Begitu sakitnya hingga terasa seperti ingin menerkam hidup-hidup ke-dua manusia tersebut. Menjambak dan menampar wajah wanita yang menggunakan pakaian minim yang menampilkan pantat dan payudara sintalnya itu. Alina tak habis pikir, kenapa Abas bisa mempekerjakan wanita yang hanya mengandalkan kemolekan tubuh mereka dari pada otaknya.

"Sayang! Mas bisa jelaskan ini. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" ujar Abas terbata sambil memperbaiki kancing celananya. Pria itu mulai berdiri dan ingin mendekati Alina. Tapi dengan cepat tangan Alina terangkat. Menahan langkah kaki Abas untuk mendekat.

Sebuah senyum sinis terbit di bibir Alina. "Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi, Mas! Sekali lagi, Mas. Sekali lagi kamu menghancurkan kepercayaan aku! Apa kamu lupa, hah? Apa kamu lupa, kalau kamu berjanji tidak akan mengulangi semua ini lagi. Tapi nyatanya apa, Mas? Apa!" sungut Alina penuh emosi.

Alina memundurkan langkahnya saat Abas mulai melangkah maju. Mata Alina memandang pria itu nanar, membuat Abas panik luar biasa.

"Sayang! Dengarkan aku dulu! Dia!" Abas menunjuk wajah sekretarisnya. "Dia yang menggoda aku. Aku sudah berusaha menolak! Tapi dia terus menggodaku dengan tubuhnya itu," kilah pria itu membuat Alina semakin jijik.

Sandra menatap Abas kaget. Menggelengkan kepalanya pelan seolah memberi isyarat pada Alina. Bahwa yang di katakan pria itu adalah bohong belaka.

Jika wanita lain akan menangis menyaksikan kejadian pahit ini. Alina justru menekan rasa sakitnya, tak ia biarkan setetes pun air matanya jatuh. Walau sesak di dadanya hampir membuatnya gila.

"Setelah apa yang kamu lakukan padaku dulu. Aku pikir kamu akan berubah, Mas! Ternyata aku salah. Seorang tukang selingkuh, sampai kapanpun akan tetap menjadi tukang selingkuh. Aku membencimu, Mas!" makinya dengan lantang.

Alina menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan pasokan oksigen ke dalam paru-parunya. Menutup matanya yang telah memanas sejenak, lalu menatap Abas kembali dengan tatapan pilu.

"Aku lelah, Mas. Aku lelah berusaha untuk mengerti kamu. Tapi nyatanya, kamu selalu menyakiti perasaanku. Aku rasa pertunangan kita cukup sampai di sini saja. Mulai saat ini kita jalani kehidupan kita masing-masing!" Alina membalik tubuhnya, melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan yang menjadi saksi bisu sakit hatinya siang ini.

Dengan cepat Abas menggejar Alina, menahan tangan gadis itu, sebelum ia mencapai pintu. Alina yang tersentak kaget, langsung berbalik dan menepis kasar tangan Abas yang menggenggam lengannya.

Alina mulai merasa jijik disentuh lelaki itu lagi. "Dengarkan Mas dulu, sayang. Mas mohon!" pinta Abas. Tapi hati Alina yang terlanjur sakit, tak mau mendengarkan sepatah pun ucapan dari kekasih yang akan menjadi calon kekasihnya itu. Alina memilih pergi meninggalkan tempat itu secepatnya, meninggalkan ruangan yang menjadi saksi bisu kesakitannya.

Alina juga sudah tak mau lagi mendengarkan segala ocehan yang keluar dari mulut Abas. Hanya akan meninggalkan luka di hatinya, dan tertoreh semakin dalam. Dimana harapan yang ia gantungkan pada pemuda itu kini hancur tak bersisa, dikikis oleh penghianatan yang luar biasa.

Bodohnya lagi, kenapa tidak sejak dulu saja Alina bertindak, kenapa ia terus memaafkan Abas hingga ia harus mengalaminya lagi, saat ini.

Dulu Alina pernah memergoki Abas di dalam kamar hotel, dengan seorang wanita yang ia sendiri tak tahu, Abas mendapatkan wanita itu dari mana.

Abas memohon, dan bersujud. Dengan segala kata cinta yang ia lontarkan. Meminta agar Alina memaafkannya. Entah karena alasan cinta atau memang Alina yang bodoh, akhirnya Alina memaafkan. Menganggap semua yang terjadi hanyalah kesalahan satu malam seorang pria dan wanita dewasa saja.

Ke-dua kalinya. Alina kembali memergoki Abas sedang bercumbu mesra dengan sahabatnya sendiri. Menyisakan bekas merah di tubuh gadis itu. Membuat hati Alina kembali sakit. Namun, lagi-lagi dengan mudahnya ia memaafkan hanya dengan kata maaf yang keluar dari mulut tunangannya itu.

Kali ini tidak lagi. Alina tidak akan pernah mau memaafkan Abas untuk ke-3 kalinya. Baginya ketiga kali itu bukan lagi sebuah kekhilafan. Tapi kebiasaan! Alina tak pernah bisa membayangkan bagaimana nasib rumah tangganya, jika ia tetap bertahan dengan pria yang selalu mendua. Alina tak sanggup.

Alina melangkah meninggalkan gedung pencakar langit tempat mantan tunangannya itu bekerja. Dengan langkah gontai serta hati yang tercerai-berai, ia tak berharap Abas mengejar dirinya. Karena walaupun pria itu melakukan hal itu, itu juga tak akan mengubah suasana hatinya saat ini.

Takdir memang suka bercanda, hingga terkadang kita tak sanggup lagi tertawa. Seperti yang dirasakan Alina saat ini. Lima tahun hubungan yang terjalin diantara mereka bukanlah waktu yang singkat. Alina merasa semua perjuangannya selama ini menjadi sia-sia belaka.

Abas yang terlalu hebat meyakinkannya, atau Alina yang begitu naif?

Alina terus melangkah gontai, pikirannya mengambang. Beberapa taksi yang lewat ia abaikan begitu saja. Gadis itu juga tak tahu tujuannya kini mau kemana?

Alina seperti orang yang hilang semangat, hanya berjalan mengikuti kemana kaki ingin melangkah. Hingga akhirnya ia tak sadar jika langkah kakinya yang tadi lurus kini sedikit demi sedikit ia berjalan ke kiri trotoar. Dimana kendaraan melaju dari arah berlawanan.

Pikiran Alina yang kosong membuat ia tak menyadari bahaya yang akan terjadi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang.

Tin! Tin! Tin!

Untung saja saat jarak mobil dan tubuh Alina yang semakin dekat, klakson mobil itu kembali berbunyi dengan nyaring, membuat Alina tersadar.

"Astagfirullah," ucapnya.

Dengan refleks yang cepat, gadis itu berlari kedepan dengan cepat. Membuat ia bernafas lega. Terhindar dari nasib buruk.

"Bodoh! Apa kamu mau bunuh diri! Kalau mau bunuh diri jangan di jalan, nyusahin saja!" umpat pengendara dengan kesal. Lalu beranjak pergi meninggalkannya seorang diri.

"Astagfirullah al'azim," ujar Alina mencoba menenangkan diri.

Sebab jantungnya saat ini berdegup kencang. Andai saja ia tak cepat sadar, mungkin nasib dirinya sudah seperti ranting pohon yang terinjak. Berulang kali Alina beristighfar di dalam hati. Ia merasa bersyukur Tuhan masih sayang padanya. Walau hatinya juga sedikit tersentil dengan umpatan dari pengendara tadi.

Next chapter