3 Escape

Rose terjaga kala suara nyaring di luar gedung memasuki indra telinganya. Pukul sebelas malam, sesuai angka yang tercetak pada jam digital di atas nakas. Sembari mengeratkan jubah tidurnya, Rose berjalan gontai menuju jendela kamar. Gorden putih disibak perlahan, tidak terlalu lebar. Hanya mengizinkan sebelah matanya mengintip ke luar.

Nihil.

Perkelahian yang tergambar di kepalanya tak lebih dari sekumpulan remaja labil saling adu pukul karena berebut minuman keras atau perempuan. Semoga saja. Ia enggan berurusan dengan sesuatu yang lebih berbahaya dari itu. Preman bertato atau bahkan anggota geng mafia. Rose bergidik ngeri. Dua pilihan sebelumnya sama-sama buruk.

Setelah menanti di depan jendela selama beberapa menit, tidak ada tanda-tanda keributan lain terjadi. Rose menghela napas lega. Mengingat-ingat percakapan kedua tetangganya kemarin membuat wanita itu parno. Bisa saja keributan itu dilakukan oleh orang teler. Kalaupun memang ada perkelahian preman atau mafia, setidaknya ada pihak keamanan yang berjaga. Paling tidak mereka akan memberikan peringatan untuk kabur pada para penghuni apartemen sebelum dihajar membabi buta.

Rose mengedikkan bahu, berusaha masa bodoh. Namun dering telepon di nakas memaksanya tidak bisa masa bodoh lagi. Telepon biasanya berbunyi di saat-saat darurat seperti ini. Semoga saja tidak ada kaitannya dengan preman atau mafia seperti yang menari-nari dalam otaknya.

"Halo."

"Nona Rose dari lantai 2 unit nomor 6?"

"Iya, benar. Ada apa, ya, dini hari seperti ini ribut sekali di luar?"

"Nona sebaiknya menginap di unit lain sekarang. Di luar sedang terjadi perkelahian hebat antar anggota geng. Polisi masih belum datang dan kami khawatir terjadi apa-apa pada Nona karena tinggal sendirian."

Penjelasan panjang customer service itu sudah cukup menjelaskan betapa gentingnya situasi saat ini.

"Saya tidak punya kenalan."

"Akan saya sambungkan dengan beberapa yang masih terjaga, Nona. Semoga Anda tidak keberatan."

Sambungan telepon sejenak dijeda. Rose bukannya tidak keberatan, tetapi mungkin orang yang ia tumpangi merasa keberatan. Para penghuni lain pasti juga akan menyalahkan sistem keamanan apartemen yang buruk ini. Seharusnya mereka sudah mengabari polisi sejak jauh hari karena rumor perkelahian sudah beredar sejak beberapa hari ke belakang.

Meninggalkan kamar ini, hatinya jadi tidak enak.

Dua menit berselang, teleponnya kembali berdering. Customer service memberikan saran unit milik keluarga Pak Edward. Dengan langkah gontai, Rose meninggalkan kamarnya setelah memastikan lampu dan kompor sudah mati. Sejak awal, ia tidak memiliki niat menumpang di tempat orang lain.

"Jadi kamu menyuruh perempuan di lantai dua itu ke sini?! Kamu juga sampai menunggu kedatangannya di luar seperti ini! Dasar suami bodoh!"

Benar saja. Menumpang di tempat orang lain itu menyebalkan. Apalagi yang istrinya galak dan pencemburu.

"Kasihan dia, Sayang. Dia tidak punya siapa pun sekarang," elak Pak Edward.

"Kamu kasihan pada perempuan lain, tapi tidak kasihan sama istri sendiri yang tiap hari dimarahi mertua!"

"Bukan begitu maksudku, Sayang...."

Rose menghela napas. Mendengarkan pertengkaran suami istri seperti ini akan berdampak buruk pada dirinya. Ia tidak ingin menjadi salah satu dari ibu-ibu penggosip yang selalu punya bahan gibahan. Terlebih lagi ia yang mungkin akan jadi bahan gibahan. Apa pun yang terjadi, rumah sendiri adalah yang terbaik. Walaupun ia harus bergulat dengan kekhawatiran perkelahian antar geng di luar sana.

Satu helaan napas lagi. Berpikir positif! Mungkin itu hanya perkelahian anjing yang memperebutkan tulang atau pasangan kawin. Rose turun kembali ke lantai dua dengan keyakinan tak ada hal buruk yang terjadi. Itu adalah keyakinan beberapa detik yang lalu sebelum menemukan seorang pria bersimbah darah di lantai kamarnya.

"Sialan!"

***

avataravatar