22 Akhirnya Terjawab Tapi Tak Ada "Seandainya"

Gue terdiam cukup lama, lalu mengiyakan pertanyaan tante Anila dengan menganggukkan kepala.

"Baiklah, tante mulai baca ya."

**

"Halo selamat malam?"

"Iya, selamat malam."

"Benar ini, saudari Isyana Asmara Raya?"

"Iya benar, mbak. Ini dari mana ya?"

"Kami dari rumah sakit Sentra Medika mbak. Maaf sebelumnya, kalau saya mengabarkan ini."

"Mengabarkan tentang apa, mbak?"

"Apa benar orang tua anda bernama Bharata Yoda Asmara dan Sinta Yuniarsih?"

"Iya benar mbak, mereka berdua orang tua saya. Apa terjadi sesuatu dengan papa mama saya?"

"Iya mbak, orang tua anda mengalami kecelakan di jalan raya bogor."

"Kecelakaan?"

"Iya mbak, dan maaf kami pihak rumah sakit tidak bisa menyelamatkan kedua orang tua anda."

"Maksud mbak, apa ya?"

"Orang tua anda telah mengalami kondisi kritis saat menuju rumah sakit, dan kami meminta maaf karna tidak bisa menyelamatkan keduanya."

"Maksud mbak apa ya sebenarnya?"

"Orang tua anda telah meninggal."

"Meninggal?..."

***

Setelah mendengar catatan tentang percakapan ditelfon yang dibacakan oleh tante Anila, tubuh gue benar-benar lemas dan seperti dihantam sebuah benda keras pas di dada. Walau gue gak ingat karna gue belum melihat langsung catatan yang gue tulis, tapi setidaknya gue tahu kalau pihak rumah sakit mengabarkan tentang papa dan mama yang telah meninggal karena kecelakaan.

Air mata langsung jatuh tak terbendung, lalu Wisnu beranjak dari duduk menghampiri dan menopang tubuh gue yang rapuh.

"Setelah itu gimana, nek?" tanya gue masih sambil menangis.

"Nenek melanjutkan telfon yang masih tersambung di tangan kamu nduk."

"Apa yang mereka bilang, nek?"

"Nenek shock mendengar berita itu nduk, di seberang telfon sana nenek memperoleh kabar tentang papa mama kamu yang meninggal, dan disamping nenek saat itu ada kamu yang terbaring lemah pingsan karna kabar tersebut. Otak dan hati nenek serasa lepas dari tubuh nenek, hari itu benar-benar kejutan bagi nenek." ucap nenek sambil meneteskan air mata.

Saat mendengar kalimat nenek, gue bisa merasakan bagaimana terpukulnya nenek saat itu. Tapi gue belum siap membaca sendiri catatan yang pernah gue tulis tersebut.

"Tapi, nek. Apakah benar papa mama sudah meninggal? Lalu di mana Ara selama masa koma itu? tanya gue.

"Benar nak, tante yang memandikan jasad mamamu dan om Anggada yang memandikan jasad papamu." jawab tante Anila.

"Mbak Ara koma selama 2 bulan di rumah sakit Sentra Medika, mbak." jawab Wisnu.

"Kamu tahu Wis? "

"Iya mbak, aku sempet beberapa hari nemenin mbak di rumah sakit."

"Lalu selanjutnya bagaimana, nek? "

"Setelah sambungan telfon terputus, nenek meminta tolong ke tetangga sebelah rumah kamu untuk mengantar nenek membawa kamu ke rumah sakit Sentra Medika. Sepanjang perjalanan kamu tidak sadar-sadar, sampai dokter memberitahukan bahwa kamu pingsan dan berlanjut koma tanpa sadar terlebih dahulu."

Gue masih terdiam dan fokus mendengarkan cerita nenek, sambil membayangkan bagaimana sakit dan terpukulnya nenek saat itu.

"Lalu, nenek menghubungi om dihari itu dan meminta kami datang menggunakan pesawat agar cepat sampai, Ra. Kami memutuskan membawa jenazah mas Bharata dan mbak Sinta ke kampung untuk di makamkan. Dan meninggalkan kamu selama dua hari dengan penjagaan pihak rumah sakit, karna kondisi kamu tidak memungkinkan untuk ikut dibawa ke kampung." ucap om Anggada.

"Lalu, siapa yang membalas chat Ara saat Ara memberitahukan tentang Ara yang telah mulai kuliah, nek?" tanya gue dengan deraian air mata.

"Nenek nduk yang membalasnya, karna nomer ponsel papa mama kamu selalu nenek bawa, dan selalu nenek aktifkan. Maafkan kami ya, nduk. Telah menutupi kebenaran tentang orang tua kamu. Nenek hanya tak ingin kamu merasa sedih yang berlarut sampai berbulan-bulan seperti waktu itu." ucap nenek dengan deraian air mata.

***

Author POV.

Di ruang keluarga ini, semua orang meneteskan air mata. Pertanyaan yang selama ini diutarakan akhirnya menemukan jawabannya. Rahasia yang selama ini tersimpan, akhirnya dibuka dan dikemukakan. Ketidaktahuan seseorang yang membuat dia salah menilai, akhirnya terjawab.

Seorang gadis menangis di dekapan adik sepupunya, dan seorang nenek menangis di dekapan sang menantu. Lalu pria dewasa menghampiri kedua anak muda yang saling menangis dan memberikan pelukan ke mereka. Tangis si gadis semakin pecah, karna pelukan dari seorang pria dewasa yang seolah mengingatkan ia tentang suatu memori yang selalu ia rindukan.

***

Ara POV.

Cerita nenek di ruang keluarga berakhir dengan permintaan maaf beliau ke gue, karna menutupi kebenaran tentang papa mama. Lalu setelah itu, om Anggada menyarankan kami semua untuk menenangkan diri, terlebih diri gue yang baru saja mendengar cerita tersebut. Nenek memberikan box hitam yang tadi diambil oleh Wisnu ke gue sambil mengatakan sesuatu,

"Ceritamu selama kurang lebih 3 bulan ada di dalam box ini, nduk. Jika kamu telah siap, bacalah! Tapi jika belum, jangan kamu paksakan. Dan ada catatan kami yang bergantian menjaga kamu selama masa koma di rumah sakit, ada dari nenek, om Anggada, tante Anila, om Rama, tante Anjani, dan Wisnu. Bacalah jika kamu benar-benar siap!"

Setelah menerima box hitam dari nenek, gue berpamitan dan meninggalkan ruang keluarga untuk memasuki kamar. Dan di sini, gue terduduk di tepian tempat tidur sambil mendekap box hitam pemberian nenek. Gue masih shock tentang kebenaran bahwa papa mama telah tiada, kenangan terakhir yang sempat gue catat seperti memberikan tanda-tanda bahwa mereka telah berpamitan ke gue.

Ucapan selamat ulang tahun yang papa mama ucapkan sambil memeluk tubuh gue erat sebelum pergi keluar rumah. Kecupan kening dan doa terbaik dari papa mama untuk gue, kebahagia papa mama yang mengangap gue adalah hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan, semua ingatan tersebut terasa sesak di hati gue.

Andai gue tahu arti dari langkah kaki mama yang tiba-tiba terhenti saat itu. Pasti gue gak akan mengijinkan mereka berdua untuk keluar lagi dari pintu utama. Dan mungkin, saat ini gue masih bisa memiliki kenangan indah bersama mereka. Mungkin, gue gak akan seperti orang gila yang selalu bicara sendirian di apartemen untuk menceritakan hari gue ke mereka.

Andai gue gak meminta dan memohon ke mama untuk tak memberikan lagi kue ulang tahun lagi di ulang tahun gue ke depannya, mungkin mama masih ada di sini. Mungkin ini kesalahan gue mengucapkan itu, hingga membuat mereka berbalik arah lagi setelah memeluk dan mengucapkan selamat ulang tahun ke gue.

Andai gue menerima saja mereka memperlakukan dan menganggap gue seperti anak-anak, mungkin gue gak akan merasakan sedih yang seperti ini. Seandainya, seandainya, seandainya, dan banyak seandainya yang ada dipikiran gue.

Tapi cerita nyata tidak ada kata seandainya, jika gue selalu mengucapkan kata seandainya, maka gue gak mempercayai takdir Tuhan. Gue akan terjebak dalam penyesalan ataupun angan-angan yang tak mungkin terwujud, gue harus kuat menerima jawaban dari pertanyaan gue selama ini.

Inilah jawaban dari semua pertanyaan gue tentang papa mama, walaupun merasa sakit, kecewa, menyesal, dan tak percaya dengan kenyataannya. Tapi gue tetap harus menyakini suatu hal, bahwa semua ini terjadi karna atas ijin dari Tuhan.

Sesering apapun gue mengucapkan kalimat awal dengan seandainya, tak akan mampu membuat papa mama hidup kembali. Tak akan mampu membuat mereka memeluk dan mencium kening gue lagi. Sejenak gue membuka selembar kertas yang tadi dibaca oleh tante Anila, tulisan di kertas tersebut benar-benar berantakan.

Inilah alasan yang membuat tante anila membaca terbata-bata tadi, karna tulisan gue benar-benar berantakan, seberantak hati dan pikiran gue saat menerima telfon tersebut waktu itu.

Trinnnng, bunyi pesan masuk.

Pikiran gue yang penuh teralihkan dengan bunyi notifikasi ponsel yang terletak di atas meja rias. Bergegas gue berdiri dari tepian tempat tidur menuju meja rias dan mengecek isi pesan tersebut.

"Ra, kapan kamu balik Jakarta?"

From : Dewa Kampus

avataravatar
Next chapter